Oleh : Munadi Kilkoda
SEJAK 2020 DITETAPKAN menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional, angka kemiskinan di Halteng berdasarkan data BPS 2023, berada di urutan kedua tertinggi di Maluku Utara atau rata-rata 12 persen lebih.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Dalam kurang waktu 10 tahun terakhir Halteng berada di urutan ke 5-6 hingga tahun 2023 dari 10 kabupaten-kota di Maluku Utara.
Eksploitasi SDA dilakukan secara masif sejak tahun 2010, namun dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama yang hidup di lingkar tambang tidak terbangun dengan baik.
Daya dukung lingkungan semakin menurun, ditandai dengan banjir yang terjadi semakin intens setiap tahun, dampaknya juga semakin meluas.
Kerusakan lingkungan terus meningkat. Terutama DAS Kobe, sungai Waleh, Woe Sna, Ake Saki, dan sekarang Boki Maruru dan Sungai Sageyen. Sungai ini sebelumnya merupakan sumber hidup masyarakat. Namun sejak dilakukan penambangan, kerusakannya sulit dihindari.
Sedimentasi di bagian pesisir terjadi secara meluas, menyebabkan ekosistem laut menjadi hancur dan berakibat masyarakat kehilangan akses untuk melakukan kegiatan melaut maupun kegiatan sosial lainnya.
Kualitas udara terus menurun terutama di kawasan industri. Bahkan dalam satu riset, kualitas udara di Weda Tengah sudah melampaui ambang baku mutu. Menyebabkan penderita ISPA terus meningkat setiap tahun.
Ruang hidup masyarakat hilang sejak ditetapkan Teluk Weda masuk dalam PSN. Proyek ini berkonsekuensi pada perluasan penguasaan lahan untuk pembangunan kawasan industri. Belasan ribu luas KI IWIP ditambah dengan KPI untuk perusahan lain, menyebabkan sumber-sumber kehidupan masyarakat terancam hilang. Apalagi delinasi yang ditargetkan berada di kawasan pesisir atau APL.
Laju pertumbuhan penduduk meningkat drastis, tidak saja membawa pengaruh positif terhadap dinamika masyarakat di Halteng. Namun sebaliknya berbagai masalah sosial juga ikut hadir bersamaan dengan kehadiran penduduk tersebut. Yang kita saksikan mulai dari angka kriminalitas yang tinggi, penyebaran miras, narkoba, KDRT, maupun penyakit sosial lainnya.
Peningkatan penduduk ini juga berdampak pada kebutuhan ruang yang terus meningkat. Disaat yang sama penguasaan lahan oleh perusahan jauh lebih tinggi sehingga menyebabkan terjadi ketimpangan yang makin jauh. Ketimpangan ini jika tidak dikelola dengan baik, akan menjadi bencana berupaya konflik dikemudian hari.
Tidak ada pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Fagogoru dalam hal hak atas tanah, wilayah, sumberdaya alam. Lemahnya pengakuan tersebut membuat masyarakat adat menjadi kelompok paling rentan kehilangan hak mereka ketika wilayah Ulayat mereka ditetapkan masuk dlm konsesi tambang atau kebijakan yang berbasis hutan dan lahan lainnya.
Masyarakat adat Fagogoru juga perlahan-lahan kehilangan kemampuan untuk mempertahankan tradisi dan pengetahuan lokal mereka untuk mengelola dan memanfaatkan hak yang dibawa sejak lahir untuk keberlanjutan hidup.(*)