Oleh: Fahrul Abd. Muid/Penulis adalah Dosen ‘Ulumul Qur’an-Fakultas Ushuluddin IAIN Ternate
PUASA, MENURUT definisi para ahli fikih, adalah “menahan diri dari segala sesuatu yang merusak dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah” (al-imsak ‘ani al-mufthirat al-ma’hudat bi qashdin qurbah). Dalam definisi tentang shaum, ada kata “al-imsak” yang dijumpai disana.
Maka, dalam kajian bahasa arab, kata dasarnya adalah “amsaka” yang dapat disusul dengan huruf ‘an atau huruf bi. Dalam kata “imsak ‘an” artinya anda menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu, sehingga yang namanya “imsak ‘an” adalah self-restraint. Sedangkan pada kata “imsak bi” artinya anda berpegang teguh kepada sesuatu yang dijadikan sebagai gantungan atau pegangan.
Misalnya, dalam salah satu do’anya, Imam Zainal ‘Abidin, cucu Nabi Saw, “Wa la ‘umsiku illa bihablihi” (aku tidak berpegang teguh kecuali pada tali Allah).” Sehingga, kadang-kadang dalam kajian bahasa arab selain menggunakan kata “imsak bi”, dapat juga digunakan kata yang sejenisnya yakni “tamassuk bi” artinya, anda sedang berpegang teguh kepada sesuatu.
Maka, hakikat puasa yang kita laksanakan di bulan Ramadhan ini terletak pada puasa “imsak ‘an” (menahan diri) dan “imsak bi” (berpegang teguh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya). Anda dapat ber-imsak ‘an, tetapi anda ternyata tidak ber-imasak bi. Semisal, anda menahan diri dari makan dan minum pada saat berpuasa, tetapi bukan karena anda berpegang teguh kepada ajaran Tuhan.
Anda ternyata hanya ingin melangsingkan tubuh, untuk mempercantik diri anda, dan menjaga pola makan anda. Hal seperti ini berarti anda tidak sedang berpuasa, melainkan anda sedang melaksanakan program diet. Karena, anda ternyata menahan diri untuk tidak mengkritisi atasan anda yang keliru itu, karena anda tidak ingin dia tersakiti perasaannya dan pasti memarahi anda dan jutsru akan berakibat dia akan mencopot anda dari jabatan anda sebagai bawahannya.
Maka, yang akan terjadi pada diri anda adalah dengan tetap menahan diri anda agar kemudian anda berusaha untuk menyenangkan hati atasan anda. Begitu atasan anda turun dari jabatannya, anda segera melemparkan kritik anda kepadanya.
Dengan demikian, maka dalam hal ini anda bukan orang yang berpuasa, tapi anda masuk dalam kategori sebagai penjilat kelas kakap di kantor anda.
Disini, boleh jadi anda “imsak bi”, kelihatannya anda seperti berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tetapi pada saat yang sama anda tidak ber-imsak ‘an. Semestinya yang “imsak bi” itu dengan sendirinya anda juga “imsak ‘an”, kenyataannya tidak kawan.
Ada orang yang sangat keras meneriakkan kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tetapi keras juga dia dalam mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham dengannya. Ia tidak dapat menahan dirinya untuk menghargai pendapat orang lain dan yang bersangkutan bahwa dirinya yang laing benar (truth claim).
Dengan anda menahan lapar dan dahaga dari terbit fajar sampai tenggelam matahari, anda kelihatan berpegang teguh kepada ketentuan puasa. Tetapi anda tidak sanggup menahan diri dari memfitnah orang lain, mengumpat, menggunjing, ghibah, dan mencaci maki orang lain.
Maka, kata Nabi Saw, anda bukan sebagai al-Shawwam (orang puasa), tetapi anda hanyalah al-Jawwa’ (orang lapar).
Dan, tentu saja ada orang Islam yang berpuasa tidak memperhatikan “imsak ‘an” dan tidak ‘imsak bi” dalam melaksanakan puasanya. Inilah orang Islam yang mempertuhankan hawa nafsunya, dan tidak mempunyai nilai-nilai yang baik untuk membimbing hidupnya.
Anda justru mengalami kekosongan hidup (existential vacuum). Hidupnya sama sekali tidak bermakna, seperti layang-layang yang putus talinya. Ia pergi kemana sesuai arah mata angin yang bertiup karena tidak ada lagi pegangan atau sandaran hidupnya. Akan tetapi, tentu saja ada juga orang Islam yang mencakup keduanya dalam mencapai “imsak ‘an dan “imsak bi”. Mereka adalah yang benar-benar berpuasa “al-Shawwam”, yakni mereka adalah orang-orang yang bertakwa kepada Allah Swt.
Jadi, tanda orang takwa yang pertama, seperti tanda “al-Shawwam” adalah “imsak bi”, ia mempunyai sebuah keyakinan kebenaran dari Tuhan-Nya yang dipegang secara teguh untuk selamanya. Ia akan berusaha agar tetap tegak lurus ke depan atau konsisten di atas keyakinan yang benar-benar ia yakini itu. Sekali ia memutuskan sesuatu itu benar, maka ia akan mempertahankan kebenaran itu dengan seluruh hidupnya.
Ia memiliki sebuah prinsip kuat dan kokoh dalam hatinya, dan dirinya sama sekali tidak dapat dibeli dengan uang atau dengan materi lainnya, dan pada saat yang sama dirinya juga tidak dapat untuk ditakut-takuti dengan kekuatan apa pun dan oleh siapa pun. Dan, tidak ada sosok seorang manusia yang memiliki keyakinan tentang kebenaran itu dari Tuhan-Nya yang betul-betul ia yakini sepanjang hayatnya, kecuali keyakinan yang ada pada diri manusia yang Agung yakni Nabi Muhammad Saw.
Ketika Abu Thalib paman Rasulullah Saw dengan berurai air mata, menyuruh ponakannya, Nabi Muhammad Saw untuk menghentikan pelaksanaan dakwahnya, Nabi Saw berkata, “wahai pamanku”, sekiranya mereka dapat meletakkan matahari di tangan kananku, dan Bulan di tangan kiriku, aku tak akan berhenti sedikitpun untuk berdakwah. Maka, untukku hanya ada satu pilihan, Allah memenangkan perjuanganku ini atau aku binasa di dalamnya.
Ketika seorang sahabat meminta wasiat kepada Nabi Saw, beliau berkata singkat, “nyatakan Tuhanku adalah Allah Swt, kemudian bersiteguhlah dalam pernyataanmu itu.”Ketahuilah, kata Ali bin Abi Thalib RA dalam menasehati para pengikutnya, “Sesungguhnya Allah Swt sangat membenci “al-mutalawwin”. Janganlah kalian meninggalkan kebenaran satu kali 24 jam dan wajib hukumnya anda membela kebenaran itu walaupun sangat besar resiko yang anda harus terima, dan bukan anda membela siapa yang bayar kawan. Maka, “al-mutalawwin” artinya orang yang berganti-ganti warna. Seperti manusia bunglon, ia mengubah warnanya hanya karena mencari selamat atas dirinya dan tetap saja mengorbankan orang lain.
Pada zaman Yunani, ada kelompok manusia yang diberi nama dengan “sophist” yang kemudian melatih murid-muridnya secara unik. Mula-mula mereka ini ditugaskan untuk menyusun pidato yang membela habis-habisan keyakinan tertentu (misalnya, Tuhan itu ada). Setelah itu, mereka disuruh menyampaikan pidato yang sebaliknya (misalnya, Tuhan tidak ada). Bila mereka berhasil dalam kedua-duanya, mereka dinyatakan lulus dengan predikat Cum Laude. Kaum “sophist” ternyata mendidik manusia seperti bunglon, karena itu, Socrates dan Plato sangat mengecam didikan mereka.
Pada zaman sekarang ini, sikap manusia bunglon ini sering disebut dengan pragmatisme. Yang mendidik kita tidak lagi Gorgias, Isocrates atau kaum “sophist” lainnya. Pendidik kita saat ini adalah lingkungan kita yang sangat pragmatisme (fulus, fulus dan fulus) dalam pikiran manusia bunglon hari ini. Ketika kita melihat orang disisihkan karena ia berpegang teguh kepada keyakinannya.
Sementara itu, kita saksikan para pencari muka naik ke atas yang penuh dengan kemunafikan diwajahnya. Jika, anda berpegang teguh pada norma-norma agama dipandang dengan cemoohan. Misalnya, hanya karena ada seorang wanita yang memakai kerudung/jilbab, seorang wanita itu harus dikeluarkan dari sekolahnya yang melarang memakai jilbab atau dari tempat pekerjaannya, tidak jarang bahkan dipukuli pekerja wanita. Karena anda ingin menegakkan kebebasan berpendapat atau berekspresi, maka anda kemudian dituduh sebagai orang ekstremis, fundamentalis, liberal dan radikalis.
Paham idealisme Plato yang tetap saja relevan hari ini telah disingkirkan oleh ajaran atau doktrin sophisme Gorgias.
Dalam realitasnya, dengan kuatnya daya tarik pragmatisme, maka akan muncul prinsip ketidak konsistenan dalam setiap orang yang beragama hari ini. Anda tidak konsisten antara keyakinan dengan tindakan dalam kehidupan anda kawan.
Anda tidak konsisten antara perbuatan dengan perkataan anda kawan. Misalnya, anda menganjurkan hidup sederhana kepada orang lain, sambil anda justru sibuk menumpuk harta kekayaan. Anda meminta rakyat kecil membayar pajak dan mereka harus bekerja menjadi buru pabrik, sembari menumpas sumber penghasilan dan merampas hak-hak tanah milik mereka. Anda menganjurkan kebersihan moral, sambil anda melakukan skandal.
Atau anda menyakini bahwa perbuatan korupsi itu tercela, tetapi anda tetap melakukannya dengan alasan yang dicari-cari. Jadi, puasa anda ber-imsak bi adalah untuk mempertahankan keyakinan dari Tuhan-Nya. Ini berarti anda melatih diri untuk menghindari kepribadian “al-mutalawwin” (bunglon) dan anda juga mempertahankan sikap konsistensi anda kawan. Maka, “imsak bi” adalah tanda “al-Shawwam” (orang puasa) dan hal ini tanda orang-orang yang konsisten dalam bertakwa kepada Allah Swt.
Menarik untuk menutup tulisan ini dengan satu riwayat, yang juga pernah dikisahkan oleh Imam Al-Ghazali. Pada zaman Nabi Saw, ada dua orang perempuan yang sangat kepayahan dalam melakukan puasanya. Mereka begitu lapar dan dahaga, hampir-hampir pinsang. Maka mereka meminta izin kepada Nabi Saw untuk berbuka puasa saja di siang hari. Nabi Saw kemudian menyuruh dua perempuan itu agar kalian muntah saja.
Sehingga, segera orang melihat kedua perempuan itu memuntahkan darah dan daging busuk yang keluar dari muntahannya itu.
Ketika orang-orang yang menyaksikan peristiwa tersebut merasa heran atas kedua wanita tersebut, lalu Nabi Muhammad Saw bersabda, “Mereka berpuasa dari apa yang diharamkan oleh Allah Swt (yakni makan dan minum), tetapi mereka juga membatalkan puasanya dengan yang diharamkan oleh Allah, yakni mereka yang sedang berpuasa di bulan Ramadhan sambil duduk-duduk, tetapi melakukan ghibah dan menggunjingkan kejelakan orang lain.” Itulah daging busuk yang mereka makan kawan.
Karena puasa bukan hanya menahan anda untuk tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan badan suami-sitri di siang hari saja kawan. Allah Swt telah menjadikan puasa sebagai penghalang, selain dari makan, minum, dan tidak berhubungan.
Maka puasa juga menghalangi anda untuk tidak melakukan dari hal-hal tercela, yakni perbuatan atau perkataan yang dapat merusak puasa. Alangkah sediktinya yang puasa, dan alangkah banyaknya yang lapar saja. Semoga bermanfaat tulisan ini. Wallahu ‘alam bishhsawab.(*)