PENGGUNAAN ISTILAh naturalisasi dalam tulisan ini hanya bersifat analogi untuk menginspirasi pendidikan kita agar dapat mengejar ketertinggalan. Sekalipun kita ketahui, kata naturalisasi lebih familiar dengan dunia persepakbolaan ketimbang pendidikan.
Naturalisasi merupakan salah satu program terobosan PSSI yang bertujuan untuk membenahi system persepakbolaan tanah air. Program ini juga sempat mengundang polemic dikalangan pengamat dan penggemar bola kaki.
Seiring berjalannya waktu pro-kontra ini pun mulai mereda. Maka public kita kembali bangkit untuk memberikan dukungan penuh, sehingga kehadiran para pemain naturalisasi tidak sekedar menambah stok kekuatan skuad garuda muda.
Tetapi mampu membawa perubahan dan harapan baru untuk mengangkat citra persepakbolaan kita yang sedang terpuruk bukan hanya dimata public Indonesia, tapi juga dunia internasional.
Dan ini benar-benar dibuktikan oleh pelatih Sinta Yong, karena dia sukses mengantarkan anak-anak asuhnya meraih kemenangan ketika berlaga di pra kualifikasi piala dunia AFF. Timnas U 23.
Pada hal sebelumnya pernah kalah dengan cina dan jepang, namun berhasil menahan imbang pada saat melawan Australia.
Terakhir penampilan memukau Marselino ternyata sukses membalikan keadaaan sehingga timnas mampu menaklukan Arab Saudi dengan skor 2.0 tanpa balas.
Pertanyaannya adalah mungkinkah dunia pendidikan kita bisa meniru atau menjadikan base praktis yang dikembangkan oleh Erik Tohir melalui program naturalisasi untuk memperbaiki kualitas sepak bola Indonesia, why not.
Memang kita tahu, selama ini dunia pendidikan tidak mengenal istilah naturalisasi guru karena belum ada landasan yuridisnya.
Namun secara konsep, bukan berarti terminology naturalisasi ini dilarang sama sekali atau haram hukumnya apabila digunakan Hanya saja gagasan naturalisasi guru dalam pendidikan butuh penyesuaian tafsir yang lebih dinamis, tidak kaku, dan pemberlakuannya sesuai konteks yang dibutuhkan.
Jadi kemungkinan secara praktis tentu akan sama seperti yang diterapkan selama ini terkait program naturalisasi diberbagai cabang olah raga termasuk sepak bola.
Argumentasinya sangat sederhana sebab yang bisa dilakukan naturalisasi adalah pemain asing warga keturunan Indonesia, tetapi menetap hidup dan tinggal di negara lain.
Atau tidak mempunyai hubungan darah sekalipun asalkan sudah tinggal di Indonesia diatas 5 tahun maka dibolehkan untuk dilakukan naturalisasi. Dengan memenuhi sejumlah persyaratan sebagaimana di atur dalam undang-undang no 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.
Hal ini berarti istilah naturalisasi dalam sepak bola akan mengalami proses metamorphosis atau perubahan makna bukan bentuk secara fisik. Melainkan naturalisasi dalam konteks bagaimana mendatangkan guru turunan Indonesia yang tinggal di negara lain, memiliki skill dan keunggulan kemampuan professional untuk mengajar di tanah air.
Sebenarnya dapat juga dilakukan dalam bentuk kerjasama pertukaran guru, studi ke luar negeri, dan pelatihan atau magang. Sehingga dibutuhkan kebijakan yang lebih longgar agar proses naturalisasi guru yang bertujuan untuk meningkatkan mutu dan daya saing pendidikan benar-benar dapat terlaksana dengan baik.
Sejarah pernah mencatat, Malaysia dulu belajar dari Indonesia karena kekurangan sumberdaya guru. Pada akhir 1960 an, pemerintah Malaysia melakukan gebrakan populis untuk meminta bantuan agar Indonesia turut terlibat dalam mengatasi kekurangan guru di negara jiran tersebut.
Kebijakan ini sekaligus menunjukan bahwa kualitas pendidikan Indonesia ketika itu memang sangat diperhitungkan di dunia internasional terutama dikawasan Asia Tenggara. Itulah sebabnya mereka selangkah lebih maju dalam upaya pembenahan system pendidikan melalui proses naturalisasi guru yang diimpor dari Indonesia.
Umumnya guru yang ditransfer pada waktu itu masa kontrak kerjanya hanya belaku sampai 3 tahun. Mereka ditugaskan untuk mengajar di sekolah-sekolah menengah yang menggunakan bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar.
Karena itu mereka memperoleh tugas khusus memperbaiki dan mengajarkan tata bahasa Melayu dikalangan siswa yang telah terbiasa berinteraksi dengan menggunakan bahasa Inggris. Disamping itu, para guru juga diminta oleh pemerintah Malaysia agar dapat merevieu dan merekonstruksi kembali kurikulum science yang dinilai sudah ketinggalan jaman.
Tentu hal tersebut diakui sebagai salah satu bentuk kerjasama antara pemerintah Indonesia-Malaysia terkait program pengiriman guru ke luar negeri. Kini kisah sukses itu hanya menjadi nostalgia lama yang pernah dicatat dalam sejarah pendidikan Indonesia.
Sebab kenyataan yang dihadapi saat ini sudah berbanding terbalik, karena perkembangan mutu pendidikan kita semakin tertinggal jauh dengan negara-negara lain termasuk Malaysia yang dulu sempat belajar dari Indonesia. Rendahnya mutu pendidikan kita dilihat berdasarkan hasil skor PISA (Program for International Student Assesment). Untuk tahun 2022 peringkat Indonesia naik posisi 5-6 bila dibandingkan tahun 2018 hanya mampu menempati urutan ke 67 dari 80 negara.
Salah satu penyebab yang membuat mutu pendidikan kita terus terpuruk dan tidak kompetitif atau naik kelas adalah akibat dari model pendekatan pembelajaran yang diterapkan sangat keliru. Terutama ketika anak masuk di jenjang pendidikan dasar dipaksakan harus menguasai keterampilan membaca, menulis, dan berhitung (calistung), diikuti pemberian tugas dan PR secara masif.
Mereka diperkenalkan kurikulum yang begitu banyak dan waktu belajar sangat padat. Akhirnya siswa terkesan menganggap sekolah menjadi tempat menakutkan, karena begitu banyak tugas yang harus diselesaikan. Mestinya guru harus selalu berusaha menciptakan suasana kekeluargaan, persahabatan, agar tumbuh rasa cinta terhadap sekolah, bebas berekspresi, berbagi cerita, suka-duka, dan pengalaman.
Pendekatan pembelajaran tersebut memang tidak salah, tetapi terlalu cenderung bersifat pemaksaan, bahkan membebani anak hanya ingin memenuhi ambisi guru dan orangtua karena pasti merasa bangga anaknya sudah tahu membaca, menulis, dan berhitung.
Untuk kepentingan hasil belajar jangka pendek mungkin tercapai, namun perlu guru juga menyadari langkah ini tidak sehat untuk menjaga kestabilan aktivitas belajar anak jangka panjang justru sulit diwujudkan. Sejak awal, tarulah 3 tahun pertama mungkin kita akan menyaksikan pertumbuhan semangat belajar di sekolah begitu produktif.
Tiba-tiba terus hilang entah kemana, karena perkembangan ditahun-tahun berikut prestasi anak itu terjun bebas akibat sudah mulai bosan, malas, bahkan mungkin tidak ingin belajar sama sekali. Sementara di negara-negara lain pada saat yang sama malah mengalami pertumbuhan dan kemajuan semakin pesat, disaat kita tertinggal dan kalah dalam persaingan.(*)