LINGKUNGAN BIROKRASI pemerintahan kita terlalu kuat dengan perilaku dan budaya kerja yang tidak sehat. Tidak heran jika banyak terjadi penyimpangan (malpraktik administrasi) disana.
Gejala ini mudah dibaca karena terindikasi ketika melayani kebutuhan public. Masyarakat seringkali mengeluh setiap saat berurusan di kantor-kantor tertentu harus melalui proses pelayanan yang panjang dan berbelit. Butuh waktu lama, bahkan mungkin menunggu berhari-hari sampai bosan.
Tetapi masyarkat masih tetap sabar karena benar-benar mengangap keperluan itu sangat penting. Pada hal urusannya cuma soal tanda tangan dokumen yang kebetulan berkaitan dengan tupoksi jabatan, bikin KTP, keterangan izin mendirikan usaha, atau berbagai jenis keterangan lainnya. Sementara kita sekarang sedang berada ditengah perkembangan IT yang luar biasa.
Teknologi digital mampu mendesain program dan system aplikasi semakin memudahkan orang melakukan pelayanan secara cepat, terjangkau dan murah.
Praktik layanan birokrasi berkinerja tinggi, pekerjaan semacam ini sebenarnya tidak perlu lama menunggu. Mungkin hanya membutuhkan waktu singkat paling lama 1 sampai 2 jam sudah dapat diselesaikan.
Namun kenyataan terjadi justru sebaliknya, para oknum birokrat sebagai penyelenggara pembangunan dan pelayan masyarakat mencari-cari alasan supaya oring yang membutuhkan itu paham. Atau dengan bahasa isyarat sengaja dibuat pelayanan itu panjang dan berbelit agar bisa ada celah berkelit untuk mendapat imbal jasa.
Prinsipnya yang penting tahu sama tahu (TST). Maka tak salah kemudian muncul istilah kalau masih bisa dipersulit untuk apa dimudahkan. Disinilah parahnya perilaku dan budaya kerja pegawai kita sehingga prinsip birokrasi yang melayani secara efektif dan efesien dengan tujuan mencegah berbagai bentuk penyimpangan sulit diwujudkan. Karakteristik birokrasi kita benar-benar kehilangan rasionalitas, ketaatan dan kepatuhan meski sudah tertuang dalam peraturan resmi masih tetap juga dilanggar, (baca:Max Weber).
Apalagi menyangkut layanan sektor jasa lain yang bernilai ekonomis dan bisnis berupa proyek dan investasi dengan plafon anggaran menggiurkan. Ini yang paling sering dikeluhkan oleh investor asing dan pengusaha domestic. Sebab segala urusan hanya berjalan mulus tanpa hambatan kalau sudah terjadi transaksi yang jelas.
Maka istilah fee atau keuntungan 10 % untuk proyek pembangunan tertentu adalah kebiasaan dan perilaku yang sudah menggurita sejak lama, sampai sekarang masih sulit dihilangkan. Malahan angka pelaku kejahatan korupsi terus merajalela dan semakin meningkat.
Bahkan jika perlu dilakukan secara berjamaah mulai dari bawahan rendah hingga ke pejabat penyelenggara negara. Kita menghadapi kondisi birokrasi yang penuh praktik mafia, mengandalkan kekuatan orang dalam (Ordal) guna meloloskan kepentingannya. Demikian pula berbagai bentuk kejahatan korupsi baik berupa suap, gratifikasi, pemerasan, pencucian uang (mony loundry) dengan memanfaatkan jabatan atau kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Kita sedang menghadapi apa yang disebut darurat korupsi, karena sudah masuk kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Kecederungan orang melakukan kasus kejahatan korupsi bukan cuma soal keberanian dan kesempatan untuk merampok uang negara. Tetapi juga erat kaitannya dengan kepercayaan, kejujuran, dan tanggungjawab. Terkecuali ketiga factor ini benar-benar sudah tidak ada lagi dalam diri seseorang. Jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya banyak factor yang diduga akan dapat mempengaruhi orang untuk melakukan korupsi. Salah satu diantaranya adalah gaya hidup hedonis.
Fenomena ini menjadi tren ditengah persaingan sosial masyarakat yang tidak sehat. Kita terkadang kehilangan kewarasan berpikir sehingga bertindak di luar azas kepatutan dan kewajaran, tanpa malu-malu menggunakan berbagai cara yang penting tujuan bisa tercapai.
Kecenderungan melakukan perbuatan korupsi itu terjadi juga disebabkan karena tidak bisa mengendalikan diri ingin cepat-cepat hidup kaya. Mental birokrat yang korup biasa punya penampilan agak cepat berubah dari keadaan sebelumnya. Apalagi jabatan baru yang ditempati itu sangat strategis berhubungan dengan pengelolaan anggaran dan keuangan negara.
Posisi seperti ini sering disebut jabatan basah dan menjanjikan, sehingga siapapun yang duduk akan mudah tergoda. Orang yang sebelumnya sebagai pegawai biasa hidup dengan keadaan seadanya, ekonomi pas-pasan, tetapi prinsip dan kejujuran tak perlu diragukan. Tetapi begitu diberikan kesempatan ternyata tergoda juga imannya.
Maka tidak salah kata orang, sehebat apapun prinsip dan kualitas iman seseorang nanti akan teruji dengan sendiri setelah menerima tugas tersebut. Apakah dia bisa lolos dari tantangan, godaan, dan cobaan yang begitu menyilaukan atau tidak nanti waktulah yang akan menjawab semua ini.
Masih segar dalam ingatan kita kasus jual beli jabatan yang menyeret mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba dan sejumlah Kepala Dinas dengan nilai transaksi bervariasi. Hasil OTT KPK terhadap kasus penyalahgunaan kekuasaan ini menambah daftar panjang sejumlah nama Kepala Daerah yang terlibat dalam kejahatan korupsi jual beli jabatan. Pengungkapan kasus tersebut sekaligus menunjukan bahwa system meritokrasi untuk pengembangan karir kepemimpinan terutama bagi mereka yang berprestasi di lingkungan birokrasi telah dilumpuhkan akibat surplus kekuasaan yang terlampau berlebihan.
Mungkin setiap orang tentu memiliki alasan berbeda dalam melakukan kejahatan korupsi. Kalau dianalisa menggunakan teori GONE yang ditulis oleh Jack Bologna, disingkat menjadi Greedy (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan).
Teori ini mengatakan bahwa pada dasar perbuatan korupsi merupakan karakter orang bermental serakah, dan tak pernah puas. Itulah sebabnya di dalam diri setiap koruptor tidak mengenal rasa cukup. Kapan dan dimana ada kesempatan yang menggiurkan pasti akan berulah. Kejahatan korupsi dalam birokrasi bukan semata-mata karena gajinya kecil, melainkan pula factor keserakahan.
Jika ini kemudian menjadi alasan pemerintah menaikan gaji supaya lebih gede untuk memenuhi kebutuhan agar para penyelenggara negara hidup lebih sejahtera, patut kita beri apresiasi atas niat baik itu.
Namun menaikan gaji dengan harapan supaya korupsi dapat dicegah atau dihilangkan sama sekali, mungkin alasan tersebut terlalu premature. Ternyata fakta membuktikan semakin dinaikan gaji, tapi korupsi tak pernah berhenti bahkan terus meningkat.
KPK yang selama ini kita andalkan sebagai lembaga anti raswa yang tujuannya untuk memberantas korupsi, malah sejumlah komisioner justru terlibat dalam tindakan kejahatan korupsi. Pada hal kita ketahui para komisioner KPK ini digaji oleh negara rata-rata setiap bulan sudah mencapai ratusan juta rupiah.
Salah satu contoh misalnya gaji Ketua KPK terdiri dari gaji pokok dan komponen tunjangan lain. Standar gaji pokok setiap bulan Rp. 5.040.000, sehingga tampak besaran gaji pokok yang diterima memang kecil bila dibandingkan dengan tunjangan.
Posisi sebagai ketua perbulan menerima tunjangan jabatan sebesar Rp. 24.818.000, tunjangan kehormatan Rp. 2.396.000, tunjangan perumahan Rp.37.750.000, tunjangan transportasi Rp.29.546.000, tunjangan asuransi kesehatan dan jiwa Rp.16.325.000, dan tunjangan hari tua Rp. 8.063.500. Rupanya belum puas juga, maka beberapa waktu silam kita sempat mendengar KPK hendak mengusulkan kenaikan gaji hingga mencapai Rp. 300 juta , tapi bagaimana tindak lanjutnya kita tunggu saja jawaban pemerintah.
Berdasarkan laporan ICW Iindonesia Corruption Watch) sepajang tahun 2023 tercatat 791 kasus korupsi menyeret sebanyak 1.695 tersangka dengan total kerugian negara mencapai 28,4 triliyun. Angka tersebut menunjukan tren kerugian negaranya menurun bila dibandingkan tahun 2022 sebesar 42,7 triliyun. Fakta ini sekaligus membuktikan bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi Indonesia tahun 2024 juga ikut menurun sebesar 3,85 dibanding tahun 2023 3,92. Sedangkan menurut data Transparansi Internasional merilis skor Ideks Pesrsepsi Korupsi mencapai 34.
Artinya dalam aspek pemberantasan korupsi Indonesia masih tetap stagnan menempati peringkat 115 dari 180 negara. ICW juga mengungkapkan 138 kepala daerah di Pilkada 2024 terlibat kasus korupsi, pernah menjadi tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, terlapor atau pernah disebut dalam persidangan kasus korupsi (baca: Tempo).(*)