CINTA berasal dari bahasa Yunani yang disebut “agape. Cinta itu harus lahir dari ketulusan dan kesucian hati. Tentu cinta tak pilih kasih, tak mengenal batas usia, tanpa dibatasi ruang dan waktu, tak pernah egois, juga tidak mementingkan diri sendiri.
Ibarat lilin rela membakar dirinya hanya untuk menerangi jalan orang lain menuju hidup bahagia dan damai. Sebab kekuatan cinta yang tulus dan suci akan dapat mengalahkan segalanya. Karena cinta berhubungan dengan perasaan sehingga tak bisa juga dibohongi, dipaksa ataupun diperjual belikan, terkecuali hanya cinta palsu.
Inilah makna cinta yang sesungguhnya. Begitu dahsyatnya pengaruh raca cinta mampu mengikis kesombongan, dan bahkan melintasi sekat-sekat perbedaan baik politik, agama, status social ekonomi, dan budaya. Cinta itu anugrah, maka berbahagialah, sebab kita sengsara bila tak punya cinta. Tulis Dul Sumbang lewat lagunya tentang arti kehidupan.
Dalam Islam kita kenal dengan istilah Al-wuduud artinya mengasihi. Sedangkan mengasihi berarti kita berusaha sekuat tenaga untuk memberikan kasih sayang yang tulus kepada seseorang yang dicintai, tanpa sedikitpun mengingat kesalahannya.
Mengasihi juga mengandung pengertian mendahulukan kepentingan atau kebutuhan orang lain daripada diri sendiri. Esensi cinta kasih adalah refleksi sifat Tuhan yang harus kita syukuri, kita hargai dan kita hormati sebagai anugrah, karena disitulah letak kemuliaan manusia.
Kasih “agape” menggambarkan kehendak hati, yang murah hati, dan tak dapat dikuasai yang selalu menginginkan kebaikan orang lain tanpa peduli, apa yang dilakukan orang itu. Dinyatakan dalam wujud kasih yang diberikan cuma-cuma tanpa mengharapkan balasan dan tidak mempertimbangkan nilai pemberiannya.
Menurut teologi Kristen kasih atau agape bersumber dari pemberian Tuhan kepada dunia ini tanpa pamrih. Kata ini terutama dipakai oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus pasal 13 menggambarkan betapa pengorbanan seperti yang pernah dilakukan oleh Yesus Kristus dengan kematiannya diatas Kayu Salip untuk menebus dosa manusia.
Tulisan ini tidak mendiskusikan soal perbedaan teologi antara Islam dan Kristen, terutama menyambut natal dan tahun baru.
Karena menyangkut prinsip ketauhidan sudah terdapat penegasan dalam Al-quran Surat Alkafirun : “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. Namun yang kita perbincangkan adalah bahwa dalam konteks kehidupan social perbedaan keyakinan tidak mesti menghalangi kita untuk membangun relasi kemanusiaan yang penuh keakraban dan persaudaraan.
Kita berusaha memaknai kata-kata cinta, kasih sayang, dan damai, adalah cermin dari nilai-nilai kehidupan universal. Dimana semua agama mengajarkan hal itu. Kasih sayang merupakan buah dari rasa cinta. Dan cinta hanya akan tumbuh dalam jiwa yang damai. Bukan jiwa yang penuh dendam, konflik, dan permusuhan.
Beberapa bulan terakhir ini kita sedang menyaksikan perkembangan situasi geo politik global kian memanas dan memperihatinkan kita semua. Konflik perang Rusia-Ukraina belum selesai, muncul lagi Israel Palestina, bahkan meluas sampai ke Lebanon, Surya, dan Yaman. Perang yang disebut oleh banyak kalangan sebagai tindakan genosida yang dilakukan oleh Israel.
Paus Fransiskus mengecam keras dan menilai ini adalah bentuk kekejaman bukan perang membela diri. Banyak anak-anak yang menjadi korban akibat serangan tersebut. Kecaman ini disampaikan sehari setelah seorang menteri Israel secara terbuka menampik himbauan Vatikan agar masyarakat global mempelajari apakah serangan militer di Gaza merupakan Genosida terhadap rakyat Palestina. (Kompas.com)
Kita hari ini terutama umat kristiani di Indonesia merayakan Natal dan tahun baru tetap dalam suasana aman, nyaman, dan damai. Tetapi bagaimana dengan nasib saudara-saudara kita yang ada di sejumlah negara timur tengah dan eropa timur yang penuh peperangan.
Kita mungkin masih ingat Paus Fransiskus ketika berkunjung ke Indonesia pernah menyampaikan pesan agar umat katolik tak pantang menyerah dalam menjalani kehidupan sebaik-baiknya, bahkan jika tak ada-apapun lagi yang dimiliki. Lawatan ini juga dinilai sebagai bentuk pengakuan Paus Fransiskus terhadap status Indonesia menjadi miniature keragaman dan toleransi.
Sebenarnya yang kita butuhkan saat ini adalah nilai-nilai cinta, kasih sayang, hidup rukun, aman, damai, dan sejahtera menjadi kunci perekat dalam memperkuat semangat solidaritas social menuju pembagunan peradaban umat manusia. Sebab nilai-nilai ini secara perlahan semakin tergerus akibat kesombongan dan keserakahan. Maka dalam kesempatan merayakan hari besar keagamaan melalui natal dan tahun baru ini (nataru), kita kembali melakukan perenungan tentang apa arti kehidupan.
Menurut Nabi, sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain (Hadits). Kita ingin melihat hubungan antar manusia, baik secara individu, kelompok maupun pun masyarakat harus benar-benar terjalin dengan harmonis. Nilai-nilai ini juga sejalan dengan pesan Al-kitab, “Kasih itu sabar dan murah hati; kasih tidak cemburu, tidak memegahkan diri, dan tidak sombong. Kasih tidak berperilaku tidak sopan, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak pemarah, dan tidak menyimpan dendam”(Korintus 13:4-5).
Cinta dan kasih sayang perlu kita budayakan dalam lingkungan keluarga, tetangga juga masyarakat luas. Sebagai anak diajarkan bagaimana nilai nilai kasih sayang harus selalu dikedepankan terutama dalam pergaulan hidup keseharian. Sikap peduli terhadap sesama manusia tanpa membeda-bedakan asalnya dari suku mana dan agama apa. Tetapi yang dilihat adalah seperti apa kesulitan atau kesusahan yang dihadapi.
Mungkin di tetangga kita sebagian orang dalam keadaan susah mencari rezki untuk menghidupi keluarga, anak tidak bisa berobat karena orangtua tidak punya duit, atau putus sekolah akibat tidak mampu lagi dibiayai keluarga.
Sebagian diantara mereka juga terpaksa harus menjalani kehidupan sebagai anak jalanan. Mereka bahkan tidak tahu hari ini makan apa, dan besok cari dimana. Mereka mungkin bertanya dalam hati sampai kapankah penderitaan ini akan berakhir. Ada pula yang bekerja keras membantu orangtua mencari nafkah hanya untuk mempertahankan hidup agar tidak diremehkan orang karena hanya menjadi peminta-minta.
Ini merupakan problem social yang setiap hari kita saksikan. Pada hal disisi lain mungkin diantara kita justru hidup dalam suasana surplus kasih sayang, rukun, aman, damai, dan sejahtera. Tetapi tidak bagi mereka, hampir tak pernah merasakan kasih sayang secara utuh, termasuk mengharapkan belas kasihan orang lain.
Sementara nilai-nilai tersebut baru dinikmati oleh segelintir orang-orang berada. Belum menetes secara merata sampai kebawah menjangkau masyarakat kecil, dan miskin. Ternyata sebagian masyarakat kita juga turut mengalami krisis cinta dan kasih sayang dalam suasana kehidupan yang damai akibat rapuhnya fondasi bangunan kemanusiaan. Selamat merayakan Natal dan Tahun baru bagi saudara-saudara kita kaum Kristiani.(*)