CATATAN SEJARAH politik yang memilukan Sang Idola yang dulu dieluk-elukan, kini semakin ramai menjadi polemik public tidak hanya di Indonesia tetapi juga dunia Internasional. Barisan organisasi relawan pendukung Projo, termasuk sejumlah tokoh politik sibuk pasang badan melakukan pembelaan.
pun ikut terseret karena menjadi bagian dari keberlanjutan Jokowi mantan Presiden ke 7 RI. Masuknya Jokowi yang disebut Raja Jawa dalam daftar finalis “Person of the Year 2024” oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project sangat mengejutkan dan mendapat perbincangan krusial dikalangan public.
Project investigasi ini dilakukan terhadap praktik kejahatan korupsi yang terorganisir dan terstruktur di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Anehnya diskursus tersebut ternyata menuai pro-kontra, sebagian menganggap hasil rilis OCCRP tidak memiliki bukti kuat dan alasan yang jelas.
Mantan Presiden Jokowi sendiri secara tiba-tiba merespon dengan membantah bahwa itu tuduhan yang tidak mendasar, melakukan fitnah, menyebar berita bohong, bahkan membuat freming jahat. Namun bagi sebagian kelompok yang memiliki sikap berlawanan justru mengakui hasil publikasi OCCRP terutama kalangan masyarakat sipil.
Mereka terus berupaya mendorong agar proses penegakan hukum segera diambil oleh KPK untuk membuktikan apakah Jokowi benar-benar melakukan kejahatan korupsi memperkaya diri dan keluarga atau tidak.
Meskipun disisi lain kita juga tidak nafikan atau menutup mata, karena sebagai Presiden berkuasa selama 10 tahun ( dua periode) pasti ada hasil-hasil pembangunan yang sudah dicapai. Apakah capaian itu memuaskan masyarakat atau sebaliknya menimbulkan kekecewaan, semua tergantung penilaian mereka masing-masing.
Sementara bagi pendukung fanatic tentu menyatakan rasa puas. Dan terbukti melalui penilaian persepsi public approval rating kepemimpinan Jokowi sampai saat ini masih tetap terbaik.
Hal ini terkonfirmasi pula oleh Saiful Mujani research consulting (SMRC) approval rating Jokowi mencapai 79%. Indikator keberhasilan tersebut dapat kita cermati bahwa dalam era kepemimpinanNya gagasan dan kebijakan selalu berorientasi untuk kemajuan Indonesia. Mulai dari pembangunan infrastruktur secara besar-besaran, gerakan reformasi birokrasi berbasis digital, dan hilirisasi industry.
Demikian pula kebijakan mengenai pemerataan pembangunan di seluruh kawasan nusantara tidak lagi bersifat jawa centeris. Melainkan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Meski pun komitmen dan cita-cita untuk mewujudkan masyarakat berkeadilan, menikmati hasil pemerataan pembanguan serta kehidupan yang layak masih jauh dari harapan.
Akselerasi kebijakan Jokowi terus berupaya meyakinkan kita dengan mendorong transformasi ekonomi dilakukan melalui pemanfaatan potensi infrastruktur digital sebagai salah satu motor penggerak. Sehingga pemerintah mampu membuat proyeksi tentang potensi pertumbuhan ekonomi digital Indonesia pada tahun 2025 akan mencapai 146 milyar dolar AS.
Kita tetap mengakui angka-angka keberhasilan Jokowi dalam pembangunan relative dirasakan oleh rakyat. Tetapi fakta menunjukan pula bahwa terjadi kesenjangan pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur pembagunan antar daerah masih terlalu jauh. Atau dengan kata lain belum merata ke seluruh pelosok tanah air.
Untuk menjawab kondisi ini pemerintah meluncurkan program pembangunan tol laut. Dengan harapan pengadaan tol laut di satu sisi bukan saja dapat menurunkan atau mengendalikan disparitas harga barang yang terlalu tinggi.Tetapi juga lebih mempercepat tingkat konektivitas antar pulau di daerah agar kelangkaan pasokan barang bisa teratasi.
Keberadaan tol laut sekaligus merupakan sumber kekuatan dan pergerakan pertumbuhan ekonomi poros maritim. Karena akses masyarakat semakin mudah untuk memperoleh distribusi barang dan jasa dengan harga murah dan terjangkau.
Ternyata dampak kehadiran tol laut juga belum banyak membantu penurunan tingkat kemahalan ekonomi di kawasan timur. Sepertinya Jokowi mengalami kesulitan menyusun formulasi kebijakan yang tepat untuk merespon fakta di lapangan, dimana harga barang di pasar terus melonjak naik. Dan hal ini dikeluhkan oleh masyarakat hampir di seluruh daerah tanpa mengenal dia orang kaya atau miskin.
Sebab bebannya akan kembali lagi ke rakyat dalam bentuk pembayaran pajak.
Dibidang politik, penegakan hukum, dan demokrasi menunjukan potret kebijakan Jokowi penuh catatan problematik. Banyak kalangan menilai pemilu presiden tahun 2024 adalah paling terburuk sepanjang sejarah politik kita selama 5 tahun terakhir.
Akibat keinginan memperpanjang masa jabatan Presiden tiga periode untuk melanggengkan kekuasaan politik dinasti, Jokowi tidak lagi mengenal rasa malu melakukan cawe-cawe. Bahkan sudah tidak lagi berkuasa masih juga melakukan intervensi lewat pemilihan kepala daerah.
Sekalipun ambisi Jokowi mengindors dukungan terhadap beberapa pasangan calon seperti di Jakarta, Tangerang, dan Bandung terbukti gagal dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Langkah serius penuh kontroversi ini dinilai oleh para analis dimaksudkan dengan target untuk mengamankan posisi politik Gibran hingga pemilu 2029.
Kita juga tahu Jokowi mencederai demokrasi dengan mengamputasi kekuasaan dan independensi MK untuk meloloskan Putra Mahkotanya Gibran melalui Paman Usman agar memperoleh legitimsi yuridis untuk ditetapkan sebagai calon wakil Presiden mendampingi Prabowo.
Kemudian konsekwensinya Anwar Usman selaku Ketua MK harus membayar mahal, karena Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan putusan itu melanggar kode etik dan sanksinya diberhentikan dari jabatan. Tindakan Jokowi ini justru membuka ruang bagi berkembang praktik korupsi politik.
Menurut mantan Hakim Agung RI, mendiang Artidjo Alkostar, sifat bahaya korupsi politik jauh lebih dahsyat daripada korupsi biasa. Korupsi politik bukan cuma merusak sendi-sendi penegakan hukum, melainkan dapat mengintimidasi hak-hak demokrasi rakyat yang seharusnya dihargai dan dihormati.
Pola kejahatan korupsi politik dalam lingkaran kekuasaan bisa terjadi melalui penyuapan/gratifikasi, perdagangan pengaruh, jual beli suara, nepotisme, dan pembiayaan kampanye. Memang semua bentuk kejahatan korupsi tersebut kemungkinan pemainnya tidak tunggal, apalagi terkait dengan kekuasaan politik.
Pasti ada grand desain sejak awal, sebab dalam banyak kasus penyuapan misalnya bukan sesuatu yang terjadi secara mendadak tetapi telah direncanakan jauh sebelumnya dengan sasaran atau target yang jelas.
Kita belajar dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang dibuat di DPR terutama menyangkut kepentingan bisnis penguasa atau kelompok oligarki tertentu. Katakanlah undang-undang Cipta Kerja digugat oleh kaum buruh. Ternyata hasil uji materi di MK sebagian dapat diterima. Sehingga pemerintah dan DPR diminta untuk menyusun UU ketenagakerjaan yang baru dan dipisahkan dari Omnibus law.(Tempo.CO)
Bukan hanya itu saja, bahkan dalam hal jabatan-jabatan strategis yang berhubungan langsung dengan pengelolaan sumberdaya alam termasuk Migas. Itu biasa menjadi incaran para politisi untuk memperdagangkan pengaruh dan memudahkan aksi politik transaksional. Hal tersebut mengindikasikan bahwa praktik patgulipat yang mengakibatkan terjadi kejahatan korupsi merugikan negara semakin sulit dihindari.
Kebijakan Jokowi yang diduga terlibat dalam sejumlah kasus korupsi diungkapkan oleh Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu. Menurut beliau berbagai kasus korupsi di era kepemimpinan Jokowi selama dua periode yakni dari 2014-2024 dapat dipetakan ke dalam lima klaster. Dugaan korupsi pertama adalah melanggengkan kekuasaan dinasti.
Modus kejahatan ini mulai dilakukan dengan cara menutup kasus pelanggaran denda kebakaran hutan 3,3 juta hektar tanah sawit. Berbagai kasus besar terkait korupsi diredam sedemikian rupa agar luput dari perhatian public, tapi mudah dinegosiasi dibalik pintu. Langkah kedua membungkam dan memenjarakan lawan-lawan politik yang dianggap menggangu kepentingan politik dinasti.
Sementara kasus korupsi menjerat para menteri yang menjadi mitra kualisi justru diabaikan. Sehingga tak boleh heran jika sejumlah kasus korupsi besar melibatkan penyelenggara negara apalagi tokoh partai politik, maka dipastikan akan menguap begitu saja, bahkan proses penegakan hukum akan terhenti.
Kita masih ingat bagimana kasus impor garam, minyak goreng, HPH, BTS, akhirnya mengendap tak tahu kemana. Demikian juga kasus penyelundupan nikel yang disebut almarhum Faisal Basri melibatkan Airlangga Hartato dan Boby Nasution. Belakangan santer kasus blok Medan ikut menyeret Mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba. (Tribunnews. COM).
Mungkin masih banyak lagi skandal kejahatan korupsi yang menyeret Jokowi dan keluarga. Berdasarkan sejumlah laporan masyarakat dan aktivis prodemokrasi yang telah disampaikan.
Maka sekarang tinggal KPK saja apakah berani atau tidak membongkar dan membawa bukti-bukti ke Meja Hijau untuk memproses secara hukum.
Kita tidak bisa menyalahkan OCCRP, meski mereka memberikan klarifikasi tidak punya bukti khusus mengenai kejahatan korupsi Mantan Presiden Jokowi. Sebab yang memiliki kewajiban menyelidiki, menyidik dan membuktikan di pengadilan adalah kewenangan, tugas dan tanggungjawab KPK sesuai laporan pengaduan yang disampaikan oleh berbagai kelompok masyarakat sipil.
Kalau memang keadaan sudah sedemikian parah bagi proses pemberantasan korupsi. Lalu kita akan bertanya semua ini dosa politik siapa? Karena meletakan nama Jokowi sejajar dengan eks Presiden dictator Bashar-Al Ashad dan Presiden Kenya William Ruto bukan tanpa alasan.
Boleh kita merasa tidak puas atas penilaian itu, tetapi faktanya bahwa proses dan mekanisme pengambilan keputusan melibatkan berbagai pihak, mulai dari panel yuri ahli, akademisi, masyarakat sipil, dan jurnalis dilakukan secara profesional, ungkap Drew Sullivan salah satu penerbit OCCRP. Lembaga yang berpusat di Belanda ini memiliki reputasi internasional dan berpengalaman selama 13 tahun mencermati praktik kejahatan korupsi di seluruh dunia.(*)