LINGKARAN SYAITAN PENCEGAHAN POTENSI KORUPSI OLIGARKI DI PARLEMEN

Oleh : Ramli Yusuf/Akademisi IAIN Ternate

TULISAN ini dimulai dengan suatu pertanyaan pesimis apakah anggota DPR yang kita harapkan masih sanggup mewakili dan memperjuangkan aspirasi rakyat? Ataukah keinginan menjadi politisi hanya sekedar merubah nasib agar terpilih sebagai anggota dewan.

Sekaligus berjuang membangun kekuatan bersama oligarki di parlemen terutama untuk melindungi kepentingan transaksional  tertentu baik bersifat pribadi atau kelompok. Dalam konteks ini sulit rasanya idealisme seorang politisi mampu dipertahankan.

Sekalipun kita tahu bahwa memperjuangkan idealisme bukan forumnya di dewan. Sebab ruang yang terhormat itu syarat dengan kepentingan politik praktis dan kebutuhan pragmatis. Sehingga siapapun masuk dalam wilayah ini pasti akan tergoda.

Pada hal jauh sebelum terpilih menjadi anggota DPR mungkin terkenal sangat vocal dan kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Tetapi setelah duduk sebagai anggota parlemen sikap oposisi dengan suara lantang seharusnya terus dilakukan untuk melaksanakan fungsi pengawasan  justru secara perlahan mulai meredup, bahkan hilang sama sekali ibarat macan ompong.

Begitulah misteri bekerjanya politik transaksional sebagai bagian tak terpisahkan dari perilaku para oknum politisi di DPR. Tanpa kita sadari disinilah sumber awal praktik korupsi politik dimulai. Makanya banyak kalangan menilai kasus korupsi yang sering melibatkan politisi di DPR karena menggunakan pengaruh atau berkolaborasi dengan konglomerat untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Dalam catatan ICW sebanyak 354 orang dari 580 anggota DPR atau 61% politikus adalah pebisnis. Anggota DPR yang baru dilantik periode 2024-2029 didominasi oleh mereka berlatar belakang profesi sebagai pengusaha. Temuan ini terlihat jelas mulai dari Partai Democrat, total 44 kader yang masuk dalam parlemen 24 merupakan pebisnis. Sementara Partai Gerindra 86 orang, 65 memiliki usaha bisnis.

Golkar sebanyak 102 orang, 60 termasuk pengusaha. Kemudian Partai Amanah Nasional 29 pengusaha dari 48 anggota dewan. Menyusul Partai Nasdem 41 adalah pebisnis  dari 69 kader. PDI-P sebanyak 63 berprofesi pengusaha dari 110 kader. Sedangkan PKB 68 anggota DPR 42 berasal dari pengusaha. Dan terakhir PKS 30 orang merupakan pelaku bisnis dari 53 kader.

Mengacu pada data tersebut, ada dua kemungkinan yang dapat dijelaskan; (1) jauh sebelum menjadi anggota DPR mereka mungkin sudah sukses membangun emperium bisnis. Maka setelah terpilih, kewenangan dan kekuasaan itu tidak hanya digunakan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat saja.

Melainkan juga memperkuat jaringan sebagai salah satu strategi bagi pengembangan bisnis mereka yang lebih besar. (2) anggota yang masuk ke partai tanpa seleksi melalui system pengkaderan politik secara ketat baik aspek ideologi partai maupun kemampuan kepemimpinan.

Kalau kondisi seperti ini, maka godaan korupsi politik lebih terbuka lebar sehingga upaya pemberantasan semakin sulit. Ibarat lingkaran syaitan, DPR yang diharapkan untuk mengawasi penyelenggaraan pembangunan dan pelayanan public pemerintah agar tidak terjadi penyimpangan malah menjadi bagian dari pelaku korupsi.

Institusi partai juga harus bertanggungjawab karena turut memberikan kontribusi dan peluang bagi tumbuhnya praktik politik praktis dalam pemilu dengan ekonomi biaya tinggi. Dimana setiap calon anggota DPR yang mengikuti kontestasi electoral dibutuhkan dukungan sumberdaya material mumpuni.

Bagi yang tidak memiliki kekuatan pendanaan yang cukup mungkin dapat memanfaatkan hubungan kedekatan atau menggunakan jasa pengusaha tertentu melalui komitmen dan perjanjian transaksional. Inilah awal mula kecenderungan korupsi politik, karena seorang politisi dengan keadaan terpaksa harus berani mengambil keputusan sekalipun nekad berutang atau bahkan menggadaikan harta kekayaan yang dimiliki. Maka jangan heran pasca pemilihan umum legislative banyak calon anggota DPR yang tidak lolos kemudian mengalami gangguan jiwa akibat stress berat.

Fenomena budaya politik semacam ini akan menimbulkan perburuan rente. Konsekwensi dari mahalnya biaya politik akan dikembalikan melalui kebijakan partisan, sehingga tak heran dampaknya bisa meluas hingga korupsi anggaran public hanya memenuhi sikap loyalitas terhadap partai.

Hasil riset ICW menunjukan pada tahun 2022 sebanyak 319 anggota DPR ditetapkan sebagai tersangka korupsi, dan mereka semua adalah pelaku bisnis. Menurut Hardiansyah Hamzah, jauh sebelum itu dominasi anggota legislative berlatar belakang konglomerat sudah terjadi pada DPR 2019-2024. Ketika itu wajah parlemen sangat jelas memiliki gen politik pebisnis. Hal ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa produk legislasi yang dihasilkan syarat dengan kepentingan bisnis.

Salah satu contoh misalnya UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, adalah potret kebijakan politik yang mencerminkan mayoritas kelompok pebisnis di DPR, ungkap Hardiansyah. Memang logikanya sangat sederhana, jika sebagian besar anggota legislative itu berasal dari pengusaha maka dapat dipastikan UU yang dihasilkan akan mendukung kepentingan bisnis mereka, bukan mewakili kepentingan rakyat.

Kondisi tersebut menjelaskan kepada kita bahwa hubungan antara politik dan bisnis laksana dua sisi dari satu mata uang yang tak bisa dipisahkan. Penyalah gunaan kekuasaan dengan memperdagangkan pengaruh politik untuk melindungi kepentingam bisnis merupakan perbuatan korupsi.

Itulah bahaya ologarki membangun jaringan bisnis dan menguasai DPR. Salah satu ekses negatif termasuk mahalnya mahar atau ongkos politik yang harus disetorkan ke partai, membiayai kompanye dan perbaikan citra politisi yang hendak mengikuti pertarungan electoral dalam Pilkada atau Pileg. Beberapa komponen pembiayaan ini membutuhkan pengeluaran ratusan juta hingga milyaran rupiah.

Kesempatan tersebut kemudian digunakan oleh para calon untuk menyasar kantong-kantong pengerukan terhadap pengusaha berdasarkan perjanjian imbal jasa nanti setelah terpilih. Iklim kehidupan kepartaian kita juga ikut terseret ke dalam pusaran kejahatan korupsi. Paling tidak memungkin peluang bagi para calon anggota DPR untuk berani melakukan penyimpangan yang mengarah pada perilaku koruptif.

Kita mungkin masih ingat dulu public sempat terkejut dengan usulan Program Pengembangan Daerah pemilihan(UP2DP) atau dana aspirasi. Pintu masuknya menggunakan instrumen Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN) nilainya sebesar 11,2 triliyun.

Jika dibagi maka setiap anggota DPR akan memperoleh 20 milyar rupiah dan ini diputuskan dalam rapat parpurna. Publik menilai bahwa dana aspirasi dianggap sebagai model korupsi berjamah gaya baru yang dilakukan seluruh anggota DPR. Tak berselang lama kemudian pada tanggal 22 mei 2014 Mahkamah Konstitusi membatalkan UU nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), dan UU nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Dalam amar putusannya MK menegaskan telah membatalkan kewenangan DPR terutama terkait Badan Anggaran untuk dapat membahas mata anggaran dalam RAPBN secara teknis bersama pemerintah yang mencakup kegiatan dan jenis biaya (satuan tiga) pada tiap-tiap Kementerian atau lembaga pemerintah.

Keputusan MK ini sekaligus merupakan langkah untuk mematikan gerak-gerik dan impian mereka mengeruk anggaran negara melalui dana aspirasi. Strategi memperjuangkan kepentingan dana aspirasi juga dimaksudkan agar mereka tetap eksis menguasai parlemen. Bahkan jauh lebih penting lagi adalah bagaimana memanfaatkan anggaran yang begitu besar demi memelihara dan meraih dukungan suara semakin banyak di dapil masing-masing.

Sebenarnya mereka perlu menyadari, karena pertarungan untuk menaklukan kursi DPR bukan sekedar mengandalkan kekuatan pendanaan semata. Tetapi juga dibutuhkan kemampuan pertarungan ide, gagasan, kapabilitas, integritas kepemimpinan dan uji kedewasaan kenegarawanan sebagai pejabat negara.(*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *