PUASA ITU RETRET

Oleh : Moksen Idris Sirfefa, Anggota Dewan Pakar MN KAHMI

ISTILAH RETRET sedang populer di masyarakat. Hal itu terkait kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang ‘menyeret’ para menteri dan wakil menteri maupun para kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota) ke Akademi Militer (Akmil) Magelang.

Sebelumnya, para menteri dan wakil menteri dimobilisasi ke kediaman sekaligus padepokan Garuda Yaksa di Hambalang milik presiden Prabowo. Seolah-olah Prabowo ingin menunjukkan kepada para pembantunya bahwa kuda-kuda yang (bertwatak) liar itu bisa dikendalikannya. Jadi, “jangan coba-coba korupsi!”, kira-kira begitu pesannya.

Kegiatan retret pertama kali dilakukan di era presiden SBY. Kebetulan sebagai staf kepresidenan, saya mengikutinya dua kali, di istana Cipanas dan istana Tampaksiring. Saat itu para gubernur dan para Menteri dikumpulkan dan diberi arahan, diskusi, saling melempar masalah dan dipecahkan bersama-sama. Tantangan dan peluang apa yang dihadapi di daerah, disampaikan dan didiskusikan bersama presiden dan para menteri. Intimasi pun tak terelakkan antara presiden dan bawahannya itu. Semuanya mencair dalam suasana kekeluargaan.

Retret berasal dari kata Inggris, _retreat_ artinya menarik diri ke belakang, mundur, atau menengok ke belakang. Retret merupakan sebuah periode pengalaman menyendiri atau pun pengalaman mengasingkan diri seseorang secara sendiri atau bersama dengan sebuah kelompok/komunitas. Terkait dengan komunitas pejabat ini tentu saja presiden Prabowo tidak bertujuan memiliterisasi para pembantunya dan pejabat daerahnya, tetapi minimal memperkenalkan salah satu tradisi militer yang paling penting bagi setiap pemimpin, disiplin.

Para pejabat itu ditarik ke belakang, jauh dari keramaian dan kemewahan rumah mereka, keluarga mereka di kota ke tempat yang asing bagi mereka. Mereka harus jauh dari kasur empuknya dan tidur di tenda. Mereka memakai pakaian seragam yang sama, mengikuti materi, latihan di lapangan, duduk di rumput dan berbaris rapi dan melakukan gerakan-gerakan otot dan olahraga adalah pelajaran tentang keadilan dan kesetaraan.

Yang terpenting adalah saling bertukar pikiran maupun saling bertukar perasaan. Ada daerah yang pendapatan per kapitanya tinggi, sumberdaya alamnya kaya, sementara ada daerah yang pendapatan per kapitanya rendah, daerahnya tandus, kurang subur, terisolasi dan jauh dari pusat kekuasaan, sehingga perlu kebijakan khusus, penguatan kapasitas fiskal lewat transfer pusat atau kerjasama antardaerah.

Para peserta retret minimal mampu saling memahami mengapa daerah-daerah yang jauh dan marjinal itu selalu bersuara keras ke Pusat. Akhirnya muncul perasaan solidaritas antar kepala daerah dan tumbuh jiwa korsa mereka sebagai pemimpin dan ujung tombak pelayanan pembangunan di daerah.

Fisik dan mentalnya mereka di Lembah Tidar yang terpencil. Suatu bentuk latihan (_riyadhah_), internalisasi diri dan pengisolasian diri dari keseharian mereka yang selalu dilayani dengan sejumlah fasilitas dan kemudahan. Menteri, wakil menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota kembali menjadi pribadi tanpa embel-embel. Semua kembali mendaku (Jawa :_ingsun_), menjadi diri yang otentik.

Dalam situasi seperti itu, setiap pribadi akan merenung bahwa “aku datang dari rakyat sebagai pribadi kemudian menjelma menjadi pejabat untuk kembali bergumul dengan kehidupan rakyat.” Di tempat yang asing itu, mereka “menarik diri” dari pangkat dan jabatan dan merefleksi diri, merenung tentang amanah yang dipikulkan di pundaknya. Di Lembah Tidar, mereka belajar hidup prihatin, agar saat memimpin nanti, mereka tidak heran, tidak kaget dan tidak sombong (_ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh_) yang rata-rata merupakan mentalitas pejabat di negeri ini.

Dengan retret, mereka tidak gampang heran karena disanjung, tidak kaget karena punya duit dan tidak sombong punya kuasa. Sering terlihat ada pejabat yang melakukan inspeksi mendadak, teriak-teriak dan membentak-bentak anak buahnya, bahkan ada yang menendang atau menggebrak meja bawahannya. Seyogyanya menjadi pemimpin yang tegas bukan seperti itu. Ia pasti dicap pemimpin yang sombong, pemimpin yang mentang-mentang.

Retret bertujuan membentuk setiap pribadi kembali menjadi diri otentik. Diri otentik adalah pribadi yang jiwanya telah lepas dari segala kekotoran (_fujûr/amorality_) yang kemudian dipenuhi dengan ketaatan (_taqwa/obedience_) kepada Tuhan. Takwa kemudian menjadi pengendali, akhlak yang mengotrol perilaku. Takwa ibarat tali pengekang nafsu (kuda) agar tidak liar arah larinya. Setiap pejabat negara di pusat dan daerah harus dikekang oleh tali takwa itu, karena sebaik-baik bekal seorang pemimpin adalah takwa. Tanpa ketakwaan, seseorang pemimpin bisa menjadi Fir’aun, Namrudz atau Qarun.

Semua agama memiliki tradisi retret, yakni menarik diri dari keramaian dan kemewahan duniawi. Penganut Budha, Kristen, Islam punya tradisi ini, yaitu pengalaman menarik diri dari keramaian, menyendiri atau mengasingkan diri.

Salah satu sekte Budhisme, Viveka, mengajarkan pengasingan diri secara fisik (_kaya viveka_) dan pengasingan diri secara mental (_citta viveka_), kalangan gereja Katolik biasa memilih retret di biara yang sepi, juga kalangan Protestan dari sekte Anglikan. Tradisi Kejawen, _tirakatan_ adalah retret menahan hawa nafsu dan melakukan laku spiritual untuk mencapai tujuan tertentu.

Retret Kejawen ini adalah berpuasa, berpantang atau mengasingkan diri ke tempat yang sunyi. Dari sini menunjukan bunyi diktum perintah puasa “Hai orang-orang beriman, berpuasalah kamu sebagaimana diperintahkan kepada orang-orang sebelum kamu, semoga kamu tergolong orang-orang yang bertakwa” (Qs. Al-Baqarah : 183) menemukan konteksnya.

Sebelum menerima wahyu pertama, pemuda suku Qurays bernama Muhammad telah melakukan tradisi retret. Ia menarik diri dari hiruk-pikuk metropol Mekkah (_tahannuts_) menuju suatu tempat yang sunyi dan menyendiri (_khalwat_) disana. Ia menempati sebuah gua sempit dan terpencil, bagaikan biara kecil di ketinggian kurang lebih 700 mdpl.

Gunung Cahaya yang jaraknya 13 kilometer dari pusat kota Mekkah itu menjadi tempat retret yang sangat cocok. Dari sana ia merenung, berefleksi tentang hakikat diri, dari mana, mengapa, untuk apa dan kemana? Wahyu pertama, “bacalah” (_Iqra’_) adalah perintah membaca. Bacalah dirimu, potretlah dirimu (_ibada’ binafsik_) dan alam sekitarmu selaku ciptaan Tuhanmu.

Peduli pada dirimu penting tapi jangan sampai anda tidak peduli dengan lingkungan sekitarmu. Teologi ekologi dan sosial ini patut direnungkan. Anda kenyang sendiri sementara lingkungan di sekitar anda lapar (dan anda tidak perduli) sama kualitas dengan para pendusta agama (Qs. Al-Ma’ûn : 1-7).

Kaum sufi menangkap _khalwat_ Nabi di Gua Hira’ dengan mengisolasi diri dari keduniawian (_‘uzlah_). Mereka lebih mengutamakan kehidupan yang sakral (ukhrawi) dibandin kehidupan profan/duniawi (_zuhud_). Mereka hidup penuh keprihatinan (_qana’ah_) pada kehidupan gemerlap dunia.

Para sufi itu sebenarnya menjalankan retret spiritual atau rohani untuk dekat dengan Tuhan sebagai ketaatan pribadi, tetapi kekeramatan atau tingkatan (_maqâm_) kesufian yang dicapainya memiliki efek kemasyarakatan yang luar biasa. Mereka menjadi mata air perubahan sosial. Hal itu tergambar dalam kiasan perjalanan spiritual Nabi Musa a.s dan sosok Khidir a.s (Qs. Al-Kahfi : 66-70).

Secara komunitas, praktek retret juga dilakukan oleh sebagian umat Islam. Mereka keluar (_khurûj_) dari rumah, rela meninggalkan kemewahan dan kenyaman bersama keluarga mereka untuk mencari keridhaan Tuhan.

Seorang teman anggota DPRD yang terlibat dalam komunitas Jama’ah Tabligh menceritakan bahwa teman-teman di dalam komunitasnya ada yang berprofesi sebagai guru, pedagang, pelaut, dokter, anggota TNI, perwira polisi, dosen, advokat, notaris, hingga atlet.

Mereka retret ke Australia, Papua Nugini, Brunei, Malaysia, India, Pakistan hanya berbekal sehelai sorban, gamis, sekantong tas kain dengan beberapa potong pakaian saja. Tidak perlu banyak membawa bekal karena sebentar mati pun yang dibawa hanya sehelai kain kafan dan amal kebaikan yang bukan bendawi. Misi penting mereka adalah mengajak orang lain menyiapkan bekal untuk akhirat.

Ibadah puasa adalah retret atau jalan pengasingan, menarik diri dari keramaian dan kemewahan profan duniawi. Retret yang satu ini menggembleng rohani setiap pribadi merasa prihatin dengan kemiskinan, kelaparan, kebodohan, nestapa dan kepapahan orang-orang yang terpinggirkan. Perintah puasa (surat Al-Baqarah ayat 183) turun setelah wahyu pertama (surat Al’Alaq ayat 1-5), berjarak satu tahun.

Satu tahun adalah waktu yang singkat untuk menguatkan hati kaum muslimin awal (_assabiq al-‘awwalûn_), yang terdiri dari orang-orang terpandang, orang-orang yang miskin dan lemah tapi berperan penting dalam penyebaran dan pengukuhan Islam pada masa awal Islam.

Puasa adalah pengisolasian diri dari sifat-sifat tidak terpuji, tidak makan-minum dan berhubungan seks di siang hari merupakan _riyadhah_ yang menganalogikan diri peserta retret (_shâimîn_) sama dengan orang-orang yang masih hidup susah, terlunta-lunta tak punya tempat tinggal, pengangguran, miskin dan terpinggirkan.

Solidaritas kemanusiaan itu diajarkan lewat perjuangan (_mujâhadah_) yakni menunda kenikmatan sesaat untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Menunda kenikmatan sesaat merupakan rahasia seseorang dengan Tuhannya. Orang lain tidak perlu tahu seseorang berpuasa atau tidak. Ibadah puasa menjadi sangat rahasia, karena hanya diri seorang hamba dan Tuhannya yang tahu (bahkan saling mengetahui). Sebuah hadits qudsi populer berbunyi :

_“Setiap amal anak Adam dilipatgandakan. Satu Kebajikan dilipatgandakan 10 sampai 700 kali, kecuali puasa. Puasa itu untuk Aku (Tuhan) dan Aku-lah yang membalasnya. Dia meninggalkan kesenangannya dan makannya karena Aku.”_ (HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a).

Sebuah Nabi S.a.w, menyatakan:

_“Ada dua kebahagiaan bagi mereka yang menjalani retret puasa, kebahagiaan saat berbuka puasa/hari raya dan kebahagiaan bertemu Tuhan di akhirat.”_ (HR. Muslim).

Puasa bertujuan menjadikan setiap pribadi memiliki keterikatan dengan Tuhannya, sehingga timbul kepribadian teofanik dalam dirinya. Puasa bertujuan agar setiap hamba memiliki tali kekang takwa. Tanpa takwa, kekacauan merajalela, korupsi makin menjadi-jadi, praktek bernegara disfungsional akibat maladministrasi dan ketidakpatuhan pada aturan.

Sampai pada titik ini, timbul pertanyaan, apakah Presiden Prabowo memahami dan menghadirkan tim pengajar dan tim fasilitator yang memahami retret mereka dalam perspektif spiritual atau tidak? Jangan-jangan setelah retret, mereka nyanyi-nyanyi, joget-joget dan semua pelajaran retret kembali menjadi hambar dan ambyar, tak mengefek pada praktek kehidupan berbangsa dan bernegara.(*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *