BAYANGKAN sebuah benteng kokoh yang selama berabad-abad berdiri tegak menahan segala badai, namun kini mulai menampakkan retakan-retakan halus akibat arus modernitas yang tak terbendung.
Begitulah kondisi masyarakat Ternate saat ini—sebuah masyarakat yang dikenal dengan kekukuhan memegang nilai-nilai adat dan agama, namun kini dihadapkan pada fenomena yang menggerogoti fondasi tersebut secara perlahan namun pasti.
Kota Ternate, mutiara di timur Indonesia yang pernah menjadi episentrum penyebaran Islam dan pusat Kesultanan yang megah, kini menghadapi tantangan kebudayaan yang tak terduga.
Nilai-nilai adat dan ajaran Islam yang selama berabad-abad menjadi tulang punggung identitas masyarakat Ternate, kini berhadapan langsung dengan budaya pesta yang semakin populer di kalangan generasi muda.
Budaya pesta yang kita saksikan saat ini merupakan warisan kolonial yang tertinggal dari masa pendudukan Belanda dan Spanyol di tanah Maluku Utara. Meski para penjajah telah angkat kaki dari bumi Moloku Kie Raha berkat perlawanan gigih Kesultanan Ternate dan Tidore, namun jejak budaya mereka tetap melekat.
Awalnya, pesta dalam masyarakat Ternate lebih bermakna kultural. tarian lenso, soya-soya, dan katreji yang dipersembahkan kepada Sultan sebagai bentuk penyambutan atau ungkapan syukur atas hasil panen. Namun kini, makna tersebut telah bergeser jauh.
Yang kini menjadi keresahan masyarakat adalah metamorfosis pesta menjadi ajang hura-hura dengan dentuman musik keras yang berlangsung hingga fajar menyingsing. Tak ada lagi batas jelas antara laki-laki dan perempuan, konsumsi minuman beralkohol pun menjadi pemandangan umum, menampilkan perilaku yang jauh menyimpang dari nilai-nilai adat dan agama.
Lebih memprihatinkan lagi, fenomena ini kerap dipertontonkan di ruang publik yang mudah diakses berbagai kalangan, termasuk anak-anak dan remaja. Media sosial pun turut menjadi katalisator, menanamkan persepsi bahwa budaya pesta semacam ini adalah sesuatu yang lumrah, bahkan patut dibanggakan.
Pertentangan dengan nilai-nilai adat Ternate tak bisa dimungkiri. Sejak zaman dahulu, masyarakat Ternate dikenal dengan adat istiadat yang sangat menjunjung tinggi kesopanan, penghormatan kepada orang tua, dan keselarasan hidup bermasyarakat. Segala bentuk kemaksiatan, kemubaziran, dan perusakan moral sangat dikecam dalam tradisi adat setempat.
Budaya pesta kontemporer dengan segala atributnya seperti perilaku bebas, konsumsi alkohol, dan hingar bingar musik adalah manifestasi pengabaian terhadap nilai-nilai kesopanan dan kehormatan yang telah diwariskan turun-temurun. Selain itu, pemborosan materi untuk kesenangan sesaat jelas bertentangan dengan prinsip kesederhanaan dan kebijaksanaan dalam falsafah hidup masyarakat Ternate.
Dari kacamatan Islam, agama mayoritas masyarakat Ternate, fenomena ini juga menimbulkan keprihatinan mendalam. Islam mengajarkan untuk menjaga jarak dari segala bentuk kemaksiatan dan perilaku yang dapat merusak moral dan akhlak. Kebisingan yang mengganggu ketenangan, perilaku bebas, dan konsumsi minuman beralkohol bertentangan dengan ajaran agama.
Belum lagi percampuran tanpa batas antara laki-laki dan perempuan yang dalam pandangan Islam dianggap sebagai pintu masuk menuju kemaksiatan yang lebih besar.
Tak hanya soal nilai, budaya pesta juga bertabrakan dengan regulasi yang ada. Perda Nomor 4 Tahun 2014 tentang ketertiban umum dengan tegas melarang penggunaan jalan umum untuk keperluan pribadi tanpa izin. Meski perizinan kerap diberikan, namun seharusnya disertai dengan ketentuan yang lebih rinci agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dampak psikologis yang ditimbulkan pada generasi muda tak kalah mengkhawatirkan. Krisis identitas menjadi ancaman nyata bagi mereka yang hidup di persimpangan nilai. Di satu sisi, mereka dibesarkan dengan ajaran adat dan agama yang menjunjung tinggi kesopanan dan ketaatan, namun di sisi lain, mereka dipaparkan pada budaya pesta yang menampilkan nilai-nilai yang kontradiktif.
Kebingungan dalam menentukan jati diri adalah konsekuensi logis dari benturan nilai ini.
Tak hanya itu, budaya pesta yang identik dengan ekspresi berlebihan dan tak terkendali berpotensi merusak kemampuan pengendalian diri pada generasi muda. Depresi dan kecemasan juga menjadi risiko nyata, terutama bagi mereka yang terlibat dalam konsumsi minuman beralkohol dan perilaku berisiko lainnya. Motivasi belajar pun tergerus seiring waktu dan energi yang tercurah untuk aktivitas-aktivitas tersebut.
Dalam ranah sosial, degradasi moral menjadi ancaman serius. Kebiasaan bersentuhan dengan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai adat dan agama lambat laun bisa membentuk persepsi bahwa hal tersebut adalah kewajaran.
Kenakalan remaja berpotensi meningkat, mulai dari perilaku seksual berisiko hingga penggunaan narkoba dan tindakan kekerasan. Hubungan keluarga pun terancam retak akibat konflik nilai antara generasi muda dan orang tua yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional.
Dalam perspektif akademis, budaya pesta turut berkontribusi pada penurunan prestasi belajar akibat menurunnya motivasi dan gangguan kesehatan. Konsumsi minuman beralkohol dan pola tidur yang terganggu dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan, mulai dari gangguan hati hingga penurunan daya tahan tubuh.
Para pakar budaya memandang fenomena ini sebagai bagian dari “benturan budaya” akibat globalisasi dan modernisasi. Apa yang terjadi di Ternate adalah fenomena umum di daerah-daerah berbudaya tradisional kuat ketika berhadapan dengan arus modernisasi.
Generasi muda berada di persimpangan, antara mempertahankan identitas budaya lokal atau mengadopsi budaya global yang dianggap lebih modern. Keinginan untuk dianggap modern dan tidak ketinggalan zaman serta gengsi sosial menjadi pendorong utama partisipasi dalam budaya pesta. Perubahan budaya adalah keniscayaan, tetapi harus dilakukan tanpa mengorbankan nilai-nilai inti yang menjadi identitas suatu masyarakat.
Dari perspektif psikologis, fenomena conformity atau konformitas, di mana individu cenderung mengikuti perilaku kelompok untuk mendapatkan penerimaan sosial, bahwa masa remaja beranjak dewasa muda adalah masa pencarian identitas dan eksperimentasi, budaya pesta kerap menjadi mekanisme pelarian dari stres dan tekanan hidup, meski cenderung tidak sehat.
Lantas, apa yang harus dilakukan? Penguatan pendidikan agama dan adat menjadi kunci, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Untuk membentengi generasi muda dari pengaruh negatif. Pengawasan orang tua pun perlu ditingkatkan, terutama terhadap aktivitas anak di luar rumah dan di media sosial.
Penyediaan kegiatan alternatif yang positif dan menarik seperti olahraga, seni, dan aktivitas keagamaan juga penting untuk mengalihkan perhatian generasi muda dari budaya pesta.
Pemerintah daerah perlu menegakkan regulasi terkait izin kegiatan hiburan dan penjualan minuman beralkohol, disertai sanksi tegas bagi pelanggar. Kampanye kesadaran tentang dampak negatif budaya pesta juga perlu digalakkan melalui berbagai kanal, dari media massa hingga kegiatan kemasyarakatan.
Benturan nilai yang terjadi di Ternate sesungguhnya adalah refleksi dari dilema yang dihadapi banyak masyarakat tradisional di era globalisasi bagaimana mempertahankan nilai-nilai luhur warisan leluhur sambil tetap merangkul perubahan zaman.
Diperlukan keseimbangan dan kebijaksanaan untuk menjembatani jurang antara tradisi dan modernitas, sehingga generasi muda dapat menemukan jati dirinya tanpa harus kehilangan akar budayanya.
Masyarakat Ternate kini berdiri di persimpangan sejarah. Pilihan yang diambil hari ini akan menentukan apakah nilai-nilai adat dan agama yang telah mengakar selama berabad-abad akan terus hidup dan berkembang, atau justru tergerus dan terlupakan.
Saatnya semua pihak baik pemerintah, pemuka adat, pemuka agama, orang tua, dan masyarakat umum bersatu padu melindungi generasi muda dari pengaruh negatif budaya pesta dan menjaga agar identitas Ternate sebagai masyarakat yang kuat dalam nilai-nilai adat dan Islam tetap lestari di tengah derasnya arus perubahan zaman.
Tantangan ini bukan semata soal menolak atau menerima budaya baru, tetapi tentang bagaimana mendefinisikan ulang tradisi dalam konteks kekinian tanpa kehilangan esensinya.
Dengan kesadaran kolektif dan tindakan nyata, masyarakat Ternate bisa menjadi teladan bagaimana sebuah masyarakat berhasil mempertahankan identitas kultural-nya sembari merangkul modernitas, sebuah keseimbangan yang elegan antara menghormati masa lalu dan menyambut masa depan.(*)