“Tak ada yang romantis dari seorang perempuan yang bekerja seperti laki-laki untuk menyelamatkan anak-anaknya dari kematian. Ia tangguh dalam bekerja. Tapi Sedikit kepedulian yang diberikan untuknya. Ia hanya ingin dicintai dan dikasihi.” (Amina Wadud,)
—-
IDUL ADHA selalu identik dengan kisah pengorbanan Ismail dan ketaatan Ibrahim pada Tuhannya. Seperti cerita-cerita Islami lainnya yang menempatkan kaum lelaki yang yang meng-hegemonik (berkuasa).
Karena itu, kisah Idul Adha dalam bingkai kehidupan Ibrahim menempatkan perempuan sebagai aktor pelengkap atau mengecilkan perannya.
Bagi saya, tak ada yang salah dari sejarah itu. Namun, ketika kisah kurban dijauhkan dari perempuan, potensi penyelewengan sejarah yang berujung pelecehan pada perempuan berpotensi terjadi.
Itu sebabnya, penting memahami sejarah kurban dari perspektif perempuan. Karena sejarah kurban ialah sejarah perempuan .
Saya ingin mengawali esai ini dengan meng-haiglaight peran besar Siti Hajar dan Siti Sarah. Dan dibagian akhir, menjelaskan bagaimana merekonstruksi sejarah kurban yang lebih netral dan memberi porsi pada peran yang seimbang yang selama ini lebih didominasi pada figur sentral Ibrahim dan Ismail.
Pertama, peran besar seorang Ibu bernama Siti Hajar. Di balik ketakwaan Ismail untuk dikorbankan, terdapat peran besar Hajar. Di tengah-tengah kerasnya kehidupan Makkah, membesarkan dan mendidik Ismail seorang diri, tanpa suami. Adalah sebuah pengorbanan.
Kala Ismail bayi, Ibrahim membawa Hajar dan Ismail berpindah ke Makkah dan meninggalkan mereka dengan beberapa potong roti dan seguci air. Hajar sempat bertanya “mengapa ia harus pindah dan ditinggalkan,” tetapi Hajar menerimanya.Mengorbankan kebahagiaan yang baru sebentar ia rasakan, atas nama menjalankan perintah Tuhan. Buah pendidikan keimanan, Hajar inilah membentuk Ismail.
Kedua, Hari dimana hajar melepaskan putra satu-satunya kepada Ibrahim. Mengapa? Hajar lah yang mengasah pedang dan memastikan pedang tersebut benar-benar tajam agar tak menyakiti anak kesayangannya. Sebuah pengorbanan dari tangan yang membesarkan Ismail selama 7 tahun tanpa suami, tangan itu pula yang mengasah pedang untuk menyembelih anak kesayangannya.
Ketiga, sa’i ialah apresiasi Tuhan atas manisnya iman Hajar. Hari Raya Kurban identik dengan Lebaran Haji. Salah satu rukun haji dan umrah yang harus dijalankan ialah sa’i . Sa’i bermula tatkala Hajar kehabisan air dan makanan, ia lalu melihat air di arah timur yang ternyata hanya fatamorgana. Hajar pun berlarian antara bukit Sofa dan Marwah hingga 7 kali, tetapi tak pula mendapatkan air.
Demikian perjuangan Hajar menjaga Ismail yang diakui Allah Swt dan diabadikan dalam ibadah haji dan umrah, termasuk upaya Hajar menolak godaan setan agar tidak mengasah pedang dengan melemparkan batu, jadi bagian dalam ritual haji yang disebut jumrah wustha (pertengahan).
Tak berlebihan kiranya menyebut Lebaran Haji sebagai sejarah perempuan.
Lalu, di mana peran Siti Sarah? Istri pertama Ibrahim As. Adakah peran Sarah dalam peristiwa besar tentang ibadah kurban, haji, dan umrah?
Sarah, perempuan tercantik masa itu, rela berkorban dengan mengatakan sebagai adik Ibrahim, bukan istri. Jika ia tidak berbohong, Raja Mesir yang terkenal doyan mengambil istri-istri yang cantik akan mengambil Sarah dari sisi Ibrahim.
Pengorbanan Sarah lainnya ialah mengizinkan Ibrahim menikahi Hajar agar mendapatkan keturunan karena Ibrahim telah berusia 100 tahun. Atas pernikahan itu, lahirlah Ismail.
Restu Sarah atas pernikahan Ibrahim dan Hajar telah mengangkat derajat budak perempuan setara dengan perempuan merdeka. Hajar ialah seorang perempuan budak, hadiah Raja Mesir untuk Ibrahim.
Pernikahan ini menunjukkan bahwa status perempuan budak ataupun merdeka ialah sama-sama perempuan yang memiliki kedudukan mulia dan layak sebagai manusia utuh, bukan setengah akal.
Sarah dan Hajar sama-sama menunjukkan tingkat keimanan yang tinggi. Indahnya iman Sarah, Allah akhirnya menghadiahkan kehamilan yang kelak lahir darinya Nabi Ishaq As. Saya tidak bisa membayangkan, bisa jadi sejarah kurban, sa’i dalam haji dan umrah atau melempar jumrah, mungkin tidak akan ada, bila Sarah tak meridhoi pernikahan Ibrahim dan Hajar.
***
Dari beberapa fakta tersebut, maka dalam beberapa dekade terakhir, akademisi Muslim dengan haluan teologi Womanist, teori kritis, dan teologi pembebasan, telah memberikan kritik terhadap dominasi Ibrahim dalam konteks Idul Adha, terutama tentang ketidak pedulian perspektif tradisional Islam terhadap aspek-aspek kekerasan yang nampak dalam cerita Ibrahim.
Berbeda dengan kajian teologis dalam tradisi Yahudi yang telah banyak membahas aspek kekerasan dalam cerita penyembelihan Ishaq dan penghapusan peran perempuan di dalamnya .
Apa yang bisa kita lakukan untuk mengenyahkan struktur kekerasan yang mendominasi narasi Idul Adha kita?
Memperluas fokus naratif Idul Adha dengan menempatkan kisah-kisah Hajar dan Sarah RA secara sejajar dengan kisah Ibrahim dan Ismail AS adalah hal pertama yang dapat kita lakukan untuk mengeliminir struktur kekerasan tersebut. Fokus terhadap kisah-kisah Hajar dan Sarah RA, disamping fokus terhadap cerita Ibrahim dan Ismail AS, memiliki dua fungsi.
Pertama, perluasan fokus tersebut akan menempatkan Ibrahim dan Ismail AS sebagai pelaku sejarah yang tak lepas dari dinamika keseharian yang jauh dari sempurna.
Kedua, perluasan fokus naratif terhadap Hajar dan Sarah RA juga akan menggarisbawahi pengorbanan dan eksploitasi perempuan yang seringkali disembunyikan di balik layar demi kisah-kisah kenabian yang tanpa cela.
Fungsi kedua dari fokus terhadap Hajar dan Sarah RA inilah yang dapat diterapkan untuk membuka mata kita akan pola-pola pengorbanan dan eksploitasi perempuan lainnya yang disembunyikan, dijustifikasi, dan dipandang sebagai hal yang alamiah demi melestarikan kapitalisme dan patriarki.
Idul Adha sejatinya bukan hanya tentang pengorbanan Ibrahim dan Ismail AS, melainkan juga tentang perjuangan, pengorbanan, Hajar dan Sarah RA.
Idul Adha menyampaikan pesan kesetaraan kepada kita, di mana seorang perempuan budak kulit hitam yang diasingkan bersama putranya ke padang pasir tandus oleh keluarga tuannya adalah juga seorang perempuan yang perjuangannya untuk bertahan hidup dilestarikan menjadi salah satu ritual haji yang dilakukan oleh jutaan orang setiap tahunnya.
Perempuan yang namanya tak pernah disebut di dalam al-Qur’an itu, adalah juga satu-satunya perempuan yang dikuburkan di samping Ka’bah.
Idul Adha pada intinya adalah pelajaran tentang betapa label normatif tidaklah sama dengan kesempurnaan, dan tentang kesetaraan sejati yang tidak datang dari hukum tertulis maupun status sosial-politik, melainkan dari pengakuan Tuhan terhadap derajat kemanusiaan mereka yang marjinal. Wallahu’alam.(*)



