Lionel Messi Sang Penulis Sejarah di Era Sepak Bola Modern

Oleh: Hilman Idrus/Pecinta Sepak Bola

JIKA menyebut kota Rosario, Santa Fe, Argentina, semua orang pasti mengingat nama aktivis politik legendaris Argentina, Ernesto “Che” Guevara.

Karena, sosok pejuang revolusi, serta pakar teori militer asal Argentina yang berhaluan Marxis dan juga tokoh utama revolusi Kuba itu lahir di kota Rosario.
Namun kini, kota Rosario tidak hanya menceritakan tentang Che Guevara, melainkan seorang bocah ajaib yang berasal dari keluarga sederhana, yang menjelma menjadi legenda sepak bola, dia adalah Lionel Andres Messi.

Jika nama Che Guevara dikenang karena berjuang meruntuhkan imperalisme dan mendirikan sosialisme. Berbeda dengan Lionel Messi, di pinggiran kota Rosario ia tumbuh sebagai bocah dengan kekurangan hormon pertumbuhan dalam tulangnya, tapi begitu mencintai sepak bola.

Kondisinya bahkan disebut jauh berbeda dengan legenda timnas Argentina, Diego Armando Maradona sejak kecil. Maradona yang kala itu terpengaruh dengan steroid dan berkembang menjadi remaja yang gempal. Sementara Lionel Messi tetap bertubuh mungil saat bergabung di akademi La Masia Barcelona.

Tetapi siapa sangka, bocah dengan masalah hormon pertumbuhan tulang yang sempat diminati klub River Plate untuk dilatih di akademinya itu, menyongsong masa depan cerah dan disebut sebagai satu-satunya pemain terbaik dalam sejarah sepak bola.

Kisah Lionel Messi tentang kesabaran dalam menghadapi problem hormon pertumbuhan mengingatkan kita pada kisah pimpinan Turki Usmani, Muhammmad al-Fatih yang mengusung cara berpikir suprarasional dengan penuh kesabaran dan semangat untuk menaklukkan Konstantinopel. Tentu persepsi ini memang kontras dengan apa yang dilakukan al-Fatih di Turki dengan ibadah ritual dan keilmuannya.

Tapi, potret semangat Lionel Messi dalam menghadapi kondisi kesehatan dengan ketabahan dan terus berlatih sepak bola, demi menggenggam cita-cita sebagai pesepakbola profesional memang patut diacungi jempol.

Disclaimer, penulis tidak bermaksud menyandingkan Lionel Messi selevel Muhammad al-Fatih dalam hal ketokohan, tapi lebih pada semangatnya dalam mendobrak segala rintangan yang dihadapi demi sebuah era kejayaan.

Seperti al-Fatih yang merentang harapan demi menaklukkan Konstantinopel, sama halnya Lionel Messi, meskipun sejak kecil divonis menderita kekurangan hormon pertumbuhan, namun hal tersebut tidak menyurutkan cita-citanya untuk menjadi pemain sepak bola profesional seperti Diego Armando Maradona.

Setiap saat ia tetap berlatih keras, agar ia mampu menjadi pemain terbaik di klub semasa kecilnya. Newel’s Old Boys. Dengan berharap klub memberi kompensasi membiayai seluruh biaya perawatan yang dibutuhkannya.

Dengan berlatih keras setiap hari, membuat impiannya tercapai, adalah klub terbaik Argentina, River Plate merupakan klub besar pertama yang menunjukkan ketertarikannya terhadap Lionel Messi karena bakat yang dimilikinya.

Hanya sayangnya, Argentina diterpa krisis moneter yang ikut mempengaruhi keuangan klub, memaksa petinggi River Plate kala itu tak sanggup menyanggupi biaya pengobatan Lionel Messi yang ditaksir $800 per bulan.

Ketidaksanggupan River Plate membiayai pengobatan Lionel Messi kecil apakah membuatnya putus asa? Tentu tidak, ia terus berlatih, hingga sang Ayahnya Jorge Messi memutuskan untuk mendaratkan ia di kota Catalonia pada usia 13 tahun tepat pada tahun 2000 silam, berkat permintaan sejumlah kerabat sang ayahnya di kota yang disebut sebagai pabrik pemain bintang asal Spanyol tersebut.

Gayung pun bersambut, bertepatan dengan momentum Barcelona sedang mencari talenta-talenta muda berbakat di Eropa dan Amerika Latin. Barcelona akhirnya menunjukkan ketertarikan kepada Lionel Messi dalam sebuah pertandingan uji coba.

Dan’ ia pun membuat pelatih Barcelona B kala itu, Carles Rexach berdecak kagum, saat ia memborbardir pertahanan lawan lewat dribel dan kecepatannya, serta mencetak lima gol yang mengejutkan semua penonton atas bakat besarnya.

Aksi memukau di lapangan menghapus problem keuangan yang sempat dialaminya. Barcelona melalui rekomendasi Carles Rexach akhirnya siap menyanggupi menangani biaya medis. Berawal dari sinilah, lembar cerita kesuksesan Lionel Messi memulai babak baru, hingga ia disebut sebagai salah satu legenda terbaik yang dimiliki Barcelona.

Dan’ di Barcelona lah, Messi menghapus dominasi Real Madrid di La Liga Spanyol, serta menjelma menjadi predator paling berbahaya sepanjang sejarah La Liga Spanyol. Selama 17 tahun berkostum Barcelona, Messi sanggup monorehkan tinta emas sebagai pemain tersubur La Liga dengan 474 gol dan menyumbang 34 trofi untuk Barcelona.

Menilik pencapaian Lionel Messi saat berada di Barcelona, tentu menghadirkan kekaguman, betapa tidak. Dengan posisi sebagai penyerang sayap, ia mampu membukukan gol melampaui seorang striker murni, dan bukan hanya soal menyetak gol, ia juga menasbihkan diri sebagai raja assist sepanjang sejarah La Liga dengan total 202 assist dari 485 laga yang dimainkan bersama Barcelona.

Angka ini tentu membuat pecinta sepak bola dunia terperanjat, lantaran idealnya rekor tersebut (raja assist), seharusnya melekat pada pemain yang berposisi sebagai gelandang. Tapi, di luar dugaan, semuanya digondol Messi, terlebih sebagai pencetak gol terbanyak di Liga Spanyol yang kemudian dinilai mustahil bakal disalip oleh pemain lain.

Kisah Lionel Messi bersama Barcelona memang telah usai pada 2021 lalu, saat Barcelona resmi melepaskannya lantaran secara financial tak sanggup lagi membayar gajinya. Tapi era kejayaan Lionel Messi tentu belum berakhir, bak seorang penyihir, setelah resmi berpisah dengan klub kebanggaannya, Barcelona, ia mampu menghipnotis penggemar Ligue 1 Prancis.

Sejak menandatangani kontrak berdurasi 2 tahun bersama Paris Saint-Germain (PSG), ia ikut andil menyumbang 2 trofi Ligue 1 Prancis dan 1 Piala Super Prancis di lemari PSG. Pencapaian di PSG dilengkapi dengan Piala Dunia FIFA pada tahun 2022, sekaligus mengatup pencapaiannya sebagai pesepakbola profesional.

Sama halnya pencapaian di PSG, sejak mentas di liga utama sepak bola Amerika Serikat bersama Inter Miami pada Juli 2024 lalu, ia kembali menyumbang 2 trofi untuk tim milik legenda Mancester United, David Beckham serta mencatatkan namanya sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah Inter Miami dengan 56 gol.

Rekor demi rekor yang dicetak Lionel Messi pada tiga klub berbeda, menghadirkan penilaian positif, bahwa ia memang ditakdirkan sebagai seorang legenda dalam dunia sepak bola dengan daya magisnya, sekaligus menulis sejarah di era sepak bola modern.

Catatan-catatan sejarah yang ia torehkan; baik di klub maupun di timnas, memantik para bocah di segala penjuru dunia terinspirasi dan ingin menaruh harap bakal mengikuti jejak karirnya. Bukan hanya anak-anak di akademi setiap klub sepak bola, melainkan para pecinta sepak bola terus menerus melempar pujian kepadanya.

“Saya menghadapi Messi ketika dia berusia 16 tahun dan saya kagum. Dia melakukan hal yang sama seperti sekarang, tetapi 20 tahun lebih muda karena dia terlahir sebagai seorang jenius,”,” kata pelatih legendaris Italia Fabio Capello.

Ucapan Capello bukan tanpa referensi, sebagai pelatih ia tentu sangat memahami bakat dari setiap pemain. Ia menyebut Messi sebagai seorang jenius, lantaran hanya dia seorang diri yang merajai penghargaan paling prestisius dalam sepak bola, yakni 8 Ballon d’Or.

Bukan hanya soal penghargaan individu yang ia sabet pada setiap kompetisi, melainkan kiprahnya bersama tim nasional Argentina juga menghadirkan kekaguman bagi semua pecinta sepak bola.

Kisah Lionel Messi di era sepak bola modern mungkin sulit ditandingi oleh pemain lainnya, karena ia memiliki bakat spesial dalam mengolah si kulit bundar. Berbeda dengan pesepakbola pada umumnya yang dibesarkan melalui akademi klub.

Catatan-catatan sejarah yang ia tulis di lapangan hijau mungkin tak lama lagi bakal berakhir, seiring usianya yang mulai menua. Kini, ia telah mencapai usia 37 tahun, yang dinilai sebagai usia senja bagi seorang pesepakbola profesional.

Walaupun kini ia masih tampil apik bersama Inter Miami di liga utama sepak bola Amerika Serikat, dan terus mendapat kepercayaan dari pelatih Argentina, Lionel Scaloni, lantaran dinilai masih piawai mengatur ritme permainan, serta dengan kreativitas dan visi permainannnya yang ia miliki membuat Albiceleste terus meraih hasil maksimal di setiap laga sepanjang kualifikasi piala dunia 2026 zona conmebol.

Namun soal performa: kecepatan, dribel mematikan serta akselerasi ke dalam kotak penalti lawan tidak seperti dulu lagi. Messi diprediksi bakal mengakhiri karir profesionalnya sebagai pesepakbola pasca piala dunia 2026 mendatang. Penilaian ini merujuk pada usianya, yang dianggap tidak lagi produktif bermain pada level tinggi dan bersaing dengan talenta-talenta muda dengan kecepatan di atas rata-rata.

Pada turnamen piala dunia 2026 mendatang, para pecinta sepak bola dunia, terlebih penggemar timnas Argentina tetap merentang harapan melihat pemain kelahiran 24 Juni 1987 itu tetap diboyong Lionel Scaloni untuk menunjukkan auranya demi mempertahankan titel juara dunia, serta menegaskan pencapaian Albiceleste di ajang bergengsi antarbenua. Back to Back juara dunia.

Sebagai pesepakbola profesional yang bergelimang trofi dan penghargaan pribadi, piala dunia bukan lagi menjadi target utama seperti yang diimpikan bintang timnas Portugal, Cristiano Ronaldo. Karena, pada 2022 lalu, Lionel Messi telah merengkuhnya, dan menasbihkan diri sebagai pesepakbola terbaik nomor satu dunia sepanjang sejarah.

Pencapaian tersebut, tentu jauh berbeda dengan para pesepakbola profesional lainnya, yang selalu menjaga performanya agar tampil di turnamen piala dunia demi sebuah prestasi.

Kisah Lionel Messi mengukir prestasi yang membanggakan dan akan menjadi selimut sejarah bagi klub: Barcelona, PSG serta Inter Miami dan dunia sepak bola di jagad raya ini, bakal terus dikenang sebagai salah satu yang terbaik dalam sejarah sepak bola.

Justru itu, jika mengakhiri karir profesional seusai turnamen piala dunia 2026, tidak ada bayang-bayang keresahan yang menghantuinya. Karena, namanya telah terukir dengan sempurna sebagai legenda sepak bola dunia, dan terus dikenang serta dihormati.

Lantas jika Lionel Messi “gantung sepatu” dapat mempengaruhi performa timnas Argentina? Pertanyaaan ini menghadirkan dua jawaban: Ya dan Tidak. Khusus bagi mereka yang bukan penggemar timnas Argentina, pasti memilih jawaban pertama. Hal ini mengacu pada performa mantan bintang Barcelona itu, yang dinilai memberi pengaruh besar terhadap penampilan Argentina pada satu dasawarsa terakhir.

Sementara bagi pecinta timnas Argentina dan pengagum Lionel Messi, pilihan jawaban kedua merupakan rasional. Lantaran, sepanjang berada di timnas Argentina, terlebih di bawah era kepelatihan Lionel Scaloni, Messi memang dinilai sebagai aktor utama kesuksesan Argentina dalam merengkuh gelar Copa America dua kali beruntun, trofi Finalissima, dan piala dunia FIFA 2022 lalu.

Tapi, kiprah Messi di timnas Argentina di bawah asuhan Lionel Scaloni sejatinya bukan seperti di era Sergio Batista, Alejandro Sabella, Gerardo Martino, Edgardo Bauza, dan Jorge Sampaoli.
Di era sebelum Scaloni, Messi memang menjadi tumpuan timnas Argentina, sehingga Messi dinilai sebagai roh permainan Argentina, di mana bola kerap mengalir ke kakinya, karena para juru taktik tersebut sangat memahami tipikal permainan dan skill yang dimilikinya.

Karena dinilai sebagai kartu as permainan Argentina, nama Messi tetap mencuat ke permukaan jika Argentina meraih hasil mengecewakan pada setiap laga, atau gagal pada turnamen bergengsi yang dilakoni timnas Argentina.

Sementara di bawah asuhan Lionel Scaloni, predikat “kartu truf” tetap disandang Lionel Messi, karena ia memiliki teknik individu tinggi dari semua penggawa timnas Argentina. Namun soal taktik permainan di atas lapangan telah bergeser, Lionel Messi tidak seutuhnya berperan mengontrol permainan, melainkan ditopang oleh talenta-telanta muda yang berada di sampingnya.

Selentingan negatif yang dialamatkan pada timnas Argentina, bahwa berakhirnya era Lionel Messi ikut mempengaruhi kondisi Albiceleste memang benar adanya. Tapi, penilaian ini lebih pada soal taktik permainan, karena mengacu pada skill individu Lionel Messi, hanya saja jika memotret penampilan secara tim, mungkin tidak sepenuhnya benar.

Sebab, eksperimen yang dilakukan Lionel Scaloni tanpa Lionel Messi menunjukkan tren positif, seperti pada pertandingan Argentina kontra timnas Chile pada 6 Juni lalu. Di mana timnas Argentina tampil tanpa Lionel Messi sanggup menyuguhkan permainan menawan sepanjang laga.

Terlebih, bakat-bakat muda yang telah digadang-gadang bakal menjadi suksesor Lionel Messi mulai menunjukkan sinarnya, seperti Julian Alvarez, ia tampil cukup baik jika tempatkan di posisi penyerang sayap, sehingga layak disebut sebagai penerus Lionel Messi di timnas Argentina.

Namun, bakat-bakat terbaik Argentina di penyerang sayap bukan hanya Alvarez, karena sejak Angel Di Maria mengumumkan pensiun dari timnas Argentina, dengan mudah Lionel Scaloni mengorbitkan penggantinya yakni anak muda bernama Thiago Almada.

Bahkan, ia sanggup menunjukkan kepercayaan dirinya, bahwa ia layak menggantikan peran sang seniornya tersebut melalui penampilan gemilang pada setiap laga yang dilakoni timnas Argentina di babak kualifikasi piala dunia 2026 zona Conmebol.

Selain Alvarez, nama lain yang diprediksi bakal sanggup menjawab ekspektasi publik Argentina saat Messi gantung sepatu adalah bintang muda River Plate Franco Mastantuono.

Walapun usianya baru menginjak 18 tahun pada agustus mendatang, tapi posisi ideal Mastantuono sebagai penyerang sayap dinilai sebagai opsi terbaik untuk menavigasi permainan Argentina tanpa Lionel Messi. Hal ini merujuk pada penampilan impresifnya kala mentas bersama River Plate di Liga Argentina, hingga membuat Real Madrid kepincut mendaratkan ia ke Santiago Bernabeu pada Agustus mendatang.

Ada nama lain yang membuat Lionel Scaloni tak begitu risau jika Messi mengucapkan salam perpisahan dengan timnas Argentina, yakni sosok Nico Paz. Walaupun berposisi sebagai gelandang serang di timnas Argentina, namun eks Real Madrid ini tampil cukup baik jika diberi kepercayaan sebagai penyerang sayap.

Dengan performanya yang terus menanjak di usia 20 tahun saat ini, Nico Paz memang layak menyandang atribut sebagai calon suksesor Lionel Messi. Bukan hanya itu, ia menjadi harapan terbaik trah Pablo Paz untuk melanjutkan legasi keluarga di pentas Internasional layaknya sang ayah kala berseragam Albiceleste.

Dari nama-nama tersebut, jika melihat dari peluang, mungkin bintang Juventus Nico Gonzalez lebih berpeluang tampil jika Messi gantung sepatu. Pasalnya, eksperimen Lionel Scaloni pada penyerang sayap lebih banyak menjatuhkan pilihan kepadanya.

Hanya saja, performa Nico Gonzalez masih jauh dari kata memuaskan, karena kerap tampil tak maksimal. Tapi, sejatinya masing-masing dari mereka punya keunggulan sendiri-sendiri yang sejalan dengan filosofi yang diusung Lionel Scaloni.

Terlepas dari siapa yang bakal nanti dipercayakan Lionel Scaloni tampil pada posisi yang ditinggalkan Lionel Messi. Untuk timnas Argentina hingga sejauh ini sudah menunjukkan kekompakan melalui strategi Lionel Scaloni.

Kondisi ini membuat para penggemar timnas Argentina makin lega, saat Argentina tampil pada turnamen piala dunia 2026 mendatang. Karena, nama-nama yang disebutkan tersebut diyakini memberikan energi baru di lini serang timnas Argentina jika diboyong Lionel Scaloni. (*)

 

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *