SEBUAH pembunuhan terjadi setiap detik dalam kehidupan ini. Namun tidak ada darah yang tertumpah, tidak ada mayat yang tergeletak hanya korban yang selalu nyata adanya.
Sang korban adalah rasionalitas, si dingin yang senantiasa menghitung untung rugi, si kaku yang tak pernah lelah bertanya “mengapa” dan “bagaimana”. Pembunuhnya? Cinta. Si hangat yang datang tanpa diundang, si liar yang tidak pernah mau diatur.
Pembunuhan ini bukanlah tragedi, melainkan komedi paling indah yang pernah dipentaskan oleh alam semesta.
Ketika cinta mulai mengetuk pintu hati, rasionalitas masih duduk tenang di singgasana pikirannya.
Ia masih percaya diri dengan segala argumen logisnya: “Cinta hanyalah reaksi kimia,” katanya sambil menyesuaikan kacamatanya, “Dopamin, oksitosin, norepinefrin semuanya bisa dijelaskan secara ilmiah.”
Namun cinta tidak datang dengan surat pemberitahuan. Ia menyusup seperti embun pagi yang membasahi rumput tanpa suara. Perlahan, rasionalitas mulai kehilangan kendali. Kalkulasi matematika mulai terganggu oleh debaran jantung yang tidak teratur. Analisis mendalam tergantikan oleh tatapan kosong ke langit-langit kamar.
“Ini tidak masuk akal,” bisik rasionalitas dengan suara yang mulai bergetar. Namun suaranya semakin lemah, semakin tenggelam dalam denyut darah yang bergegas menuju jantung.
Cinta, menurut definisi konvensional, adalah perasaan suka dan sayang yang timbul dari proses kedekatan emosional dan keterikatan. Namun William Shakespeare menggambarkan cinta sebagai kekuatan yang mampu melampaui batas sosial melalui dramanya Romeo and Juliet: “Dengan sayap cinta aku melompati tembok ini, batas batu tak bisa menahan cinta, dan apapun yang bisa cinta lakukan, cinta akan berani mencoba.”
Cinta bukan sekadar tentang fisik, tetapi merupakan jalan menuju pencerahan spiritual dan intelektual. Ia bukan perasaan yang hadir begitu saja, melainkan berperan penting dalam kehidupan setiap orang—bisa hadir sebagai sistem pendukung yang baik, sekaligus sebagai
pembunuh berdarah dingin. Cinta kerap diungkapkan namun jarang direnungkan, banyak yang memiliki namun sedikit yang memberi makna. Erich Fromm dalam bukunya The Art of Loving (1956) menegaskan bahwa cinta adalah seni yang harus dipelajari dan dipraktikkan. Cinta bukan sekadar perasaan spontan atau emosi pasif, melainkan seni yang membutuhkan pengetahuan, usaha, tanggung jawab, dan kedewasaan pribadi.
Cinta memiliki kekuatan untuk melampaui perhitungan rasional karena beberapa alasan mendasar: Pertama, dimensi emosional yang mendalam. Cinta melibatkan bagian otak yang berbeda dari logika sistem limbik yang mengatur emosi versus korteks prefrontal yang menangani penalaran.
Ketika seseorang jatuh cinta, hormon seperti dopamin, oksitosin, dan norepinefrin membuat keputusan yang tampak “tidak masuk akal” secara logis terasa sangat benar secara emosional.
Kedua, prioritas nilai yang berubah. Cinta mengubah hierarki nilai seseorang.
Apa yang dulunya tampak tidak logis seperti mengorbankan karir untuk pasangan bisa menjadi pilihan paling masuk akal ketika kebahagiaan menjadi prioritas utama.
Ketiga, intuisi versus analisis. Cinta sering beroperasi melalui intuisi, pemahaman langsung tanpa proses analitis panjang. Intuisi ini kadang dapat menangkap kebenaran yang luput dari analisis logis yang terlalu kaku.
“Cinta ini kadang-kadang tak ada logika” lirik lagu yang menggambarkan bagaimana cinta bisa mengalahkan logika. Cinta dapat membuat seseorang kehilangan kemampuan berpikir jernih, bahkan tidak bisa makan, dan dalam kasus ekstrem, melakukan bunuh diri.
Cinta lebih adiktif daripada narkoba. Ia membunuh rasionalitas, bahkan bisa membuat seseorang bertahan dalam situasi yang merugikan dan berbahaya karena emosi yang dominan menekan pertimbangan rasional. Ini menjelaskan mengapa banyak orang melakukan hal ekstrem demi orang tercinta.
Yang mengejutkan, rasionalitas tidak mati dengan perlawanan. Ia justru berubah wujud, bertransformasi menjadi sesuatu yang asing namun indah. Logika yang dulunya kaku menjadi fleksibel seperti bambu yang menari ditiup angin.
Perhitungan untung rugi berubah menjadi perhitungan detik demi detik kebahagiaan.
Fromm mengingatkan bahwa meskipun cinta bisa mengalahkan rasionalitas, cinta yang matang justru memerlukan kebijaksanaan. Ia membedakan antara cinta imatur (“Aku mencintaimu karena aku membutuhkanmu”) dengan cinta matang (“Aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu”).
Cinta yang matang tidak membunuh rasionalitas begitu saja ia mengundangnya untuk berevolusi. Rasionalitas yang tadinya egois menjadi altruistik. Logika yang tadinya mementingkan diri sendiri berubah menjadi logika yang mengutamakan kebahagiaan bersama.
Apakah cinta benar-benar membunuh rasionalitas? Jawabannya: ya dan tidak.
Ya, karena cinta membunuh rasionalitas yang sempit, egois, yang hanya melihat dari kacamata untung rugi pribadi. Cinta menghancurkan logika dingin yang menganggap manusia sebagai mesin penghitung.
Tidak, karena dari abu rasionalitas yang lama itu lahirlah rasionalitas baru—rasionalitas yang lebih hangat, bijaksana, dan memahami bahwa ada hal-hal yang lebih penting daripada sekadar “masuk akal”.
Plato, filosof Yunani kuno, pernah berkata bahwa cinta adalah bentuk kegilaan yang paling mulia. Dalam dialognya, ia menggambarkan bagaimana jiwa yang jatuh cinta pada keindahan duniawi sebenarnya sedang mengingat keindahan absolut yang pernah dilihatnya di alam spiritual.
Bayangkan seseorang yang tiba-tiba teringat kampung halamannya setelah bertahun-tahun menggembara. Kerinduan itu membuatnya melakukan hal-hal yang tampak gila: menangis tanpa sebab, tertawa sendiri, atau menatap foto lama berjam-jam.
Namun kegilaan ini adalah bentuk kearifan tertinggi, karena ia telah mengingat rumahnya yang sejati. Begitulah cinta ia membuat kita “gila” karena menyadarkan kita pada kebenaran yang lebih dalam dari sekadar logika permukaan.
Di akhir cerita ini, kita menemukan kebenaran paradoks: pembunuhan rasionalitas oleh cinta adalah pembunuhan yang paling kita harapkan terjadi pada diri kita. Siapa yang tidak ingin merasa gila karena cinta? Siapa yang tidak ingin hatinya berdetak tidak karuan karena senyuman seseorang?
Karena dalam “kematian” rasionalitas itulah kita menemukan kehidupan yang sesungguhnya. Dalam “kegilaan” cinta itulah kita menemukan kewarasan yang paling dalam.
Maka biarlah cinta melanjutkan pembunuhan manis ini. Biarlah ia terus mengacaukan perhitungan kita, mengganggu jadwal kita, dan membuat kita melakukan hal-hal yang “tidak masuk akal”.
Karena di dunia yang terlalu rasional ini, kita butuh sedikit kegilaan untuk mengingatkan bahwa menjadi manusia bukan hanya sekadar berpikir, tetapi juga merasakan, bermimpi, dan mencintai dengan segenap jiwa.
“Cinta tidak pernah salah dalam menghitung. Ia hanya menggunakan matematika yang berbeda—matematika hati, di mana satu tambah satu tidak selalu sama dengan dua, tetapi bisa sama dengan tak terhingga.”.(*)