BERABAD-abad lamanya kebudayaan Moloku Kie Raha hidup dan bertahan dengan karakteristik dan semangat maritim, komoditas rempah dan tatanan sosial yang kokoh dengan nilai adat istiadatnya.
Namun perjalanan sejarah Moloku Kie Raha yang panjang itu, kita kini merasakan sebuah pola baru kehidupan masyarakat Maluku Utara, yaitu perkembangan digital dengan kecanggihan teknologi moderennya, menantang dan menawarkan sebuah masalah baru.
Menurut hemat penulis, di sinilah letak “tepi batas” paling krusial yang menghendaki Maluku Utara
berada dalam dialektika panjang, antara kebudayaan dan arus teknologi yang deras.
Mampukah keduanya dapat bersinergi membentuk benteng kokoh dalam menjaga nilai kehidupan sosial, ataukah salah satu di antaranya akan menenggelamkan yang lain?
Moloku Kie Raha, sejatinya berdiri di atas nilai filosofis yang kuat. Orang Moloku Kie Raha, meyakini konsep ‘Jou se Ngofa Ngare’ bukan hanya tentang Sultan dan Rakyat, bukan sekadar hubungan pemimpin dan yang dipimpin, tetapi jauh kedalam jiwa kebudayaan, konsep ini telah menjadi Way of Life (jalan hidup) yang memiliki kekuatan spritual dan tanggung jawab sosial dalam menjaga keharmonisan hubungan antara manusia, Tuhan dan juga alam semesta.
Nilai ini mewujud dalam setiap ritual ke-Adat-an empat kerajaan, seolah semua dirayakan dalam bentuk identitas kolektif masyarakat. Sejujurnya saya harus sampaikan, bahwa –inilah kekuatan utama rakyat Maluku Utara– dalam menjaga kehidupannya agar tetap bertahan di atas nilai-nilai kebudayaannya sendiri.
Bukan hanya nilai filosofis, dalam seni tari seperti Soya-soya, musik dari Tifa, tutur, pantun bertuah hingga arsitektur rumah Sasadu atau Hibuah Lamo yang terbuka dan sangat komunal, semuanya adalah wujud ekspresi dari peradaban yang melindungi kebebasan, keterbukaan dan kebersamaan.
Inilah modal kultural yang tak ternilai, sebuah DNA kebudayaan dan peradaban yang melintang jauh dalam sejarah Moloku Kie Raha, tentu sudah teruji sebelum masa kejayaan rempah hingga kolonialisme dan pasca kemerdekaan.
Kita seharusnya merayakan kemajuan, bukan terjebak pada masa lalu dan bereforia dengannya. Teknologi dengan internet dan media sosial, saat ini merangsek masuk bak gelombang pasang yang besar.
Arus informasinya begitu deras, hampir tidak bisa dibendung hanya dengan dialog di kelas-kelas atau dalam ruang publik, budaya kebarat-baratan, Tren Tiktok, dan juga individualisme adalah faktor yang mengikis nilai-nilai kebudayaan kita.
Anda dapat menyaksikannya sendiri, ada resiko ‘komodifikasi budaya’ di mana ritual yang seharusnya sarat makna akan menjadi sekadar ‘konten’ dan menjadi media komersialisasi budaya, maka jelas ritual kebudayaan akan kehilangan nilai spritualnya.
Saya rasa teknologi moderen, adalah ‘Pedang Bermata Dua’, lihatlah bagaimana kesenjangan digital muncul dalam perbedaan daerah, Kota Ternate dengan pulaupulau terpencil di pesisir Halmahera, ini adalah kasus disrupsi, dengan melebarnya jurang informasi bagi anak negeri yang tinggal di Kota dan yang tinggal di kampung terpencil, tentu aksesnya sangat berbeda, inilah kelemahan kita. Kita mengakui, bahwa teknologi dapat menjadi bencana bagi kebudayaan jika tidak dimanfaatkan dengan baik.
Teknologi moderen pada sisi yang lain justru menawarkan sebuah peluang emas bagi kebudayaan. Di sinilah ‘Paradigma Baru’ itu terbentuk. Seharusnya Teknologi Modern tidak menjadi musuh kebudayaan – saya kira dia (teknologi) dapat menjadi medium paling kuat untuk pemajuan kebudayaan –.
Contohnya; para pemuda di Kota Ternate, Tidore atau daerah-daerah di Halmahera bisa memanfaatkan teknologi digital untuk melakukan kampanye kebudayaan lewat podcast atau mendokumentasikan sebuah hikayat sejarah lewat film pendek, bisa juga setiap individu membuat vlog yang menampilkan keseharian budaya masyarakat di lingkungannya.
Kita bisa bayangkan bagaimana algoritma digital menangkap semua akses di seluruh penjuru dunia mengenai kebudayaan kita dan ini adalah nilai positif dalam pemanfaatan teknologi modern. Tidak cukup sampai di situ, mari kita lihat bagaimana Drone digunakan untuk mengambil gambar serta memetakan situs bersejarah, memasukannya dalam peta digital untuk dapat di akses oleh dunia luar.
Walter Benjamin, seorang filsuf yang pernah memperkenalkan konsep “aura” —sebuah kualitas unik dari sebuah karya seni atau situs historis yang berasal dari keberadaannya yang tunggal di ruang dan waktu (Benjamin, 1936).
Itu artinya sebuah benteng bukan hanya tumpukan batu; ia memiliki aura yang terbentuk dari jejak sejarah, beragam peristiwa, negosiasi, dan spirit orang-orang yang pernah menghuninya, hukum ini juga berlaku dalam situ-situs sejarah yang lain.
Kali ini, media sosial menjadi panggung yang paling banyak digunakan oleh seniman-seniman lokal di Maluku Utara untuk memperkenalkan puisi-puisi lokal,
maupun lagu-lagu yang sarat akan nilai kebudayaan Moloku Kie Raha.
Memandang teknologi sebagai ancaman kebudayaan adalah sikap pesimis yang tidak dikehendaki. Anda dapat bayangkan, dalam ilmu Filologi, naskah-naskah kuno yang tersebar di seluruh wilayah Maluku Utara, tidak dapat diakses oleh semua orang, baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan penelitian, hal ini disebabkan oleh kerapuhan naskah, namun dengan program Digitalisasi Naskah, semua orang yang berkepentingan dalam penelitian dapat mengakses naskah-naskah itu.
Teknologi memungkinkan semua bentuk tradisi dan kebudayaan dapat dikenal oleh dunia luas. Maka secara tidak langsung identitas kebudayaan juga akan terbentuk dan dikenal oleh banyak orang. (Manuel, 2010)
Dengan begitu jelaslah, paradigma baru, bukanlah narasi perubahan totalitas, tetapi pandangan ini mengarah pada suatu gerakan transformasi kebudayaan, ini yang paling logis. Sehingga pemahaman tentang teknologi tidak dipersempit dengan anggapan-anggapan yang tidak logis.
Teknologi harus ditaklukkan dengan kearifan lokal. Caranya, mereposisi kebudayaan sebagai objek pasif menjadi subjek aktif dalam narasi digital. Setiap lapisan masyarakat berperan sebagai benteng bagi kebudayaannya sendiri.(*)