Tiga Bulan Tanpa Air di Desa Kira, Pemerintah Desa, Kecamatan dan Kabupaten Halmahera Utara Kerja Apa?

Oleh: Ibnu Furqan S.Hum

PADA tulisan saya sebelumnya dengan judul ‘Ironi 2 Bulan Tanpa Air di Desa Kira’ nampaknya tidak sampai ke telinga pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, atau setidaknya DPRD Kabupaten Halmahera Utara. Karena sampai saat ini sudah hampir tiga bulan keran-keran di Desa Kira mengering.

Warga hanya bertahan dengan sumber Air di telaga, di mana warga harus berjalan jauh mengangkut Air di Telaga, atau menunggu Air hujan untuk mengisi tampungan-tampungan air warga. Bahkan warga Desa Kira harus membuang malu meminta dan mengambil Air di sumur-sumur bor milik warga lain di Desa Kira.

Kita mesti tekankan, bahwa ‘tiga bulan’ bukan waktu yang singkat. Itu adalah 90 hari dalam hitungan kita. Warga harus berjuang untuk setetes air bersih, 90 hari di mana janji pemerintah tentang kesejahteraan terasa seperti hikayat mitos lesung emas.

Dan 90 hari, di mana tiga tingkatan Pemerintahan Desa, Kecamatan, dan Kabupaten secara berjamaah gagal total dalam mengawal suara rakyat yang menjerit di sudut negeri.

Ironi tentang krisis air di Desa Kira, bukanlah bencana alam murni, ini adalah bencana yang lahir dari kelalaian dan pengabaian sistemik pemerintah. Ini adalah potret nyata pemerintah, melalui aparaturnya di tingkat bawah, gagal dalam tugasnya yang paling fundamental, yaitu memastikan setiap warga dapat memenuhi hak dasar sebagai manusia .

Seolah keacuhan ini tetap di biarkan. Sebagaimana diketahui, bahwa Pemerintah Desa adalah Pioneer Negara, Pihak yang seharusnya paling peka dengan keluhan rakyatnya.

Namun, kenyataan berkata lain, pemerintah desa justru menjadi simbol keacuhan yang menyakitkan. Laporan warga yang disampaikan secara tidak langsung lewat ruang publik hanya mendapatkan jawaban “nanti diupayakan!” menjadi obat penenang yang tak pernah berbuah solusi hingga kini.

Mari kita hitung secara kasar. Sekiranya satu keluarga membutuhkan minimal 100 liter air per hari untuk minum, masak, dan sanitasi dasar, maka untuk 330 Kepala Keluarga (KK) di Desa Kira, dibutuhkan 33.000 liter air setiap hari.

Kalau selama tiga bulan, itu berarti ada defisit sekitar 2,9 juta liter air bersih yang seharusnya menjadi tanggung jawab kolektif Pemerintah, baik Desa, Kecamatan maupun Kabupaten. saya ingin bilang, bahwa diamnya aparat desa adalah pengkhianatan langsung terhadap amanat warganya.

Selain itu, pemerintah Kecamatan sebagai mediator harusnya menciptakan inisiatif bukan mandul kebijakan tanpa ada solusi pasti bagi masalah ini. Jika di level desa buntu, seharusnya Pemerintah Kecamatan menjadi jembatan penghubung, mediator yang proaktif.

Skemanya, adalah, Camat sebagai koordinator pemerintahan di wilayahnya, memiliki kewenangan untuk memanggil kepala desa yang desanya mengalami krisis Air Bersih, kemudian berkoordinasi dengan dinas terkait atau PDAM di tingkat kabupaten, setelah itu memfasilitasi solusi lintas sektoral.

Lantas apa yang terjadi saat ini? Nihil! Saya memandang Tidak ada itikad untuk memediasi lanjutan, dan tidak ada upaya eskalasi masalah yang serius dalam penanganan masalah Air bersih ini. Nampaknya Pemerintah Kecamatan merasa aman dalam zona birokrasi mereka. Menurut saya, sikap pasif ini menunjukkan kegagalan fungsi koordinasi.

Kecamatan seolah menjadi sekat birokrasi, bukan lagi penghubung antara desa dan kabupaten. Mereka menjadi penonton pasif dari penderitaan masyarakat yang seharusnya mendapatkan pelayanan prima, saya kira ini adalah sebuah cerminan dari mentalitas “bukan urusan saya” yang mengakar kuat.

Anda akan menemukan masalah paling krusial lainnya yaitu di tingkat Kabupaten. Ketidaktahuan Pemerintah Kabupaten bukanlah alasan yang bisa diterima; itu adalah bukti kegagalan sistem pengawasan dan komunikasi, kami merasa Pemerintah Kabupaten terlalu lama menanggapi masalah yang serius ini.

Seolah Penguasa negeri ini berada di “menara gading” dengan ketidaktahuan atau sengaja dibiarkan dengan realitas kehidupan masyarakat di lapis bawah. Mereka mungkin bangga dengan data statistik pertumbuhan ekonomi, namun abai terhadap statistik paling vital: berapa banyak warganya yang hari ini tidak punya akses air bersih termasuk Desa Kira.

Ini pelanggaran Hukum dan Komitmen Internasional

Kelalaian berjamaah ini bukan sekadar isu etika pelayanan publik, tetapi merupakan pelanggaran terhadap hukum dan komitmen yang mengikat.

Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28H ayat (1), secara tegas menyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Air bersih adalah komponen inti dari lingkungan hidup yang sehat dan hak atas kesejahteraan.

UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, menegaskan bahwa negara menjamin hak rakyat atas air sebagai salah satu hak asasi manusia. Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah diberi mandat untuk memenuhi kebutuhan pokok air minum sehari-hari masyarakat.

Diamnya tiga level pemerintahan ini adalah pembangkangan terhadap undang-undang.
Dalam Komitmen Global: Sustainable Development Goals (SDGs). Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2030. Tujuan 6 (Goal 6) secara eksplisit menargetkan: “Menjamin Ketersediaan serta Pengelolaan Air Bersih dan Sanitasi yang Berkelanjutan untuk Semua.”

Memahami penjelasan ini, maka Krisis di Desa Kira adalah sebuah tamparan keras bagi komitmen pemenuhan Air bersih bagi warga. Bagaimana kita bisa berbicara di panggung dunia tentang SDGs, jika di tingkat desa saja kita membiarkan warga kita kehausan selama berbulan-bulan?

Dengan demikian, apa yang terjadi di Desa Kira lebih dari sekadar pipa atau mesin pompa air PDAM yang rusak atau sumber air yang kering. Ini adalah krisis kepercayaan. Rakyat Desa Kira tidak hanya kehilangan akses terhadap air, mereka juga kehilangan kepercayaan kepada aparat Pemerintahan yang seharusnya menjamin hak-hak mereka.

Sudah cukup basa-basi dan janji kosong. Warga Desa Kira tidak butuh simpati retoris, mereka butuh tindakan nyata dan segera. Kirim tangki-tangki air sebagai solusi darurat, segera perbaiki infrastruktur yang rusak, dan yang terpenting, pemerintah Kabupaten segera audit kinerja pemerintahan tingkat bawah yang telah membiarkan “jeritan” ini tak terdengar selama tiga bulan.

Air adalah sumber kehidupan. Ketika ia berhenti mengalir karena kelalaian pemerintah, maka yang sejatinya sedang sekarat adalah kepercayaan rakyat kepada para pemimpinnya. Jangan biarkan Ironi ini tetap berlangsung!.(*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *