Taliabuku: Pesan Singkat Dari Anak Yang Lahir dari Pulau-Pulau Kecil untuk Bupati Taliabu Salsabilah Mus

Oleh: Askal Samiudin

WIKIPEDIA mencatat Kabupaten Pulau Taliabu adalah salah satu daerah administratif di Provinsi Maluku Utara yang terbentuk sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Sula.

Pemekaran ini diresmikan dalam sidang paripurna DPR RI pada tanggal 14 Desember 2012 melalui pembahasan Rancangan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (DOB).

Tujuan utama pembentukan kabupaten ini adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di sektor pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat, serta mengoptimalkan potensi daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.

Kabupaten ini mencakup delapan kecamatan dengan luas wilayah sekitar 1.469,93 km² dan jumlah penduduk mencapai 66.361 jiwa pada akhir tahun 2024. Wilayah ini dikenal sebagai penghasil besi, di mana sekitar 70% lahannya dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan.

Malam ini Tepat pukul 00:48 saya sedang beristrahat setelah beraktifitas sejak pagi hingga malam pukul 22:10 tadi dan seharusnya saya sudah terlelap, namun ada yang mengganjal dipikiran saya saat membuka berita dan informasi tentang Taliabu, salah satunya dengan melihat semangat awal pembentukan Kabupaten Pulau Taliabu yang telah lari dari semngat awal tersebut, sebab 10 tahun mekar, apa yang telah kita bangun sebagai kabupaten?

Bahasa maluku utaranya bilang “ngoni so bisa lia sudah”, Seharusnya dari hasil tambang yang ada di taliabu paling tidak mahasiswanya mendapatkan beasiswa yang memadai sehingga anak Taliabu bisa bersainga dengan calon generasi emas yang lain dan “seharusnya juga dengan tambang yang ada di Taliabu Ibu Bupati tra perlu kasana di Retret baru minta bantuan pusat” tapi langkah itu tetap kita harus dukung, maka Taliabu tetap Taliabu kita harus tetap mengingat bahwa Taliabu adalah pulau kecil.

Secara geografis, Kabupaten Pulau Taliabu terletak di sebuah pulau yang dikelilingi oleh pulau-pulau kecil lainnya di wilayah Provinsi Maluku Utara, dengan luas daratan sekitar 738,1 km². Akses menuju kabupaten ini lebih mudah dilakukan melalui Luwuk atau Banggai Kepulauan di Sulawesi Tengah dibandingkan dari Ternate, ibu kota provinsi. Awalnya, wilayah Pulau Taliabu didominasi oleh hutan primer.

Namun aktivitas pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung perekonomian daerah telah mengubah sebagian besar tutupan lahannya menjadi hutan sekunder. Hutan primer kini hanya tersisa di wilayah tertentu seperti bagian selatan Kecamatan Taliabu Utara, utara Taliabu Selatan, dan barat Kecamatan Tabona.

Sedangkan wilayah pesisir sebagian besar digunakan untuk pertanian lahan kering, terutama untuk tanaman seperti cengkeh, kelapa, dan kakao, sementara sebagian lainnya merupakan lahan terbuka yang tidak produktif.

Penjelasan diatas membuktikan bahwa ada pergeseran dan kerusakan ekologis yang memang hari ini tidak kita rasakan, tapi bisa jadi 50-60 tahun kedepan kita akan mewariskan tanah ini kepada anak cucu kita, dengan kata lain sebagaimana yang dikutip dari Idetimur.com (2024) kita akan mewariskan limbah yang akan mencemari lingkungan jika tidak terkelola dengan baik dan kegersangan yang akan berakibat ke segala sektor kehidupan salah satunya adalah ketersediaan air bersih.

Sedang aktifitas yang merenggut tutupan hutan hijau itu diharapkan akan mendukung dan meningkatkan perekonomian tapi yang terjadi malah sebaliknya, gambaran itu kita dapat lihat dari minat siswa terhadap lanjut atau tidaknya mereka ke perguruan tinggi, sehingga saudara, teman, adik kita lebih memilih untuk bekerja di pertambangan dengan konsekuensi putus sekolah.

Ini siklus hitam yang terus berputar disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan kurangnya lapangan kerja yang memadai siklus ini pula yang menyebabkan orang tua kita sebagian memilih untuk bepergian dari taliabu untuk mencari sesuap nasi untuk keluarga.

Migrasi ini di sebut oleh Adam Smith sebagai akibat dari masyarakat tidak dapat memperoleh penghidupan di suatu tempat, artinya ditaliabu terkonfirmasi sebagai daerah yang minim lapangan kerja. dengan potensi laut dan daratan yang ada, ini sangat disayangkan.

Pulau Taliabu, salah satu pulau di Maluku Utara, memiliki potensi besar dalam sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata. Namun, potensi ini belum dioptimalkan karena berbagai masalah struktural, mulai dari infrastruktur yang buruk hingga minimnya akses pendidikan dan kesehatan. Sebagai bupati terpilih, Ibu Salsabilah Mus memiliki tanggung jawab besar untuk mengatasi masalah ini secara sistematis.

Pesan utama terhadap tata kelola di Taliabu selama ini adalah lemahnya sistem perencanaan berbasis data dan rendahnya transparansi anggaran (Deba, 2025). Hal ini tercermin dari Indeks Kinerja Keuangan Daerah yang dirilis Kemendagri, di mana Taliabu masih berada di kuartil terbawah secara nasional untuk indikator efektivitas dan efisiensi anggaran dengan hanya mencapai 60,02 % saja (Kemendagri, 2023).

Partisipasi masyarakat dalam Musrenbang pun masih simbolis (KATILI et al., 2018). Warga desa sering tidak memahami skema prioritas program pembangunan, sehingga perencanaan bersifat top-down dan tidak adaptif terhadap kebutuhan lokal. pesan ini akan membahas empat tantangan utama di Pulau Taliabu diantaranya infrastruktur, kesehatan dan pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, serta pengangguran pemuda sehingga menjadi bahan pertimbangan.

Pembangunan Dasar yang Masih Rapuh

Infrastruktur yang buruk masih menjadi tantangan utama dalam pembangunan Pulau Taliabu, Maluku Utara. Jalan-jalan di berbagai wilayah, seperti Kecamatan Taliabu Barat dan Taliabu Timur, sebagian besar masih berupa jalan tanah atau berbatu, dengan hanya sekitar 30% yang telah beraspal. Kondisi ini semakin parah saat musim hujan, di mana jalan berlubang dan berlumpur menghambat mobilitas warga serta distribusi barang (Haliyora.ID, 2024).

Saya mau bercerita sedikit di bagian ini, di tahun 2015 pada saat itu musim cengkeh dimana cuaca kala itu hujan deras, pada sore hari saya dan almarhum Bapak saya (Samiudin Radja) beranjak pulang dari kebun nama kebunnya “kebun lobu”, dengan penuh semangat dengan hasil panen yang kami bawa, saat itu kehati-hatian saya berkurang dikalahkan oleh rasa gembira.

Setelah berjalan cukup jauh dimana jalan itu telah dekat dengan pemukiman, ada satu jalan di bagian kebun desa (nama kebun) di jalan itu terdapan bagian yang membentuk “punggung kambing” artinya hanya Sebagian kecil jalan yang bisa di lewati dengan ban motor, setelah lewat kami terjatuh, tangan kami luka di tempat yang hamper sama akibat menahan beban tubuh yang jatuh, saya menatap kea rah almarhum sambil ketawa aman pak, aman ucapnya.

Setelah itu saya meresapi dan merenung sehingga mulai hari itu saya berjanji akan terus bersuara, bukan karna tidak menyukai taliabu, tapi semata-mata karena saya amat sangat cinta terhadap pulau taliabu, walau banyak dari anak muda yang saya temua malu hanya untuk sekedar menyatakan “saya asal Taliabu”, Terlepas siapa yang asli dan pendatang yang selalu di gaungkan setelah mendekati pilbub itu soal lain.

Bagi kami, saya dan yang lainnya telah memakan hasil alam dan sari pati tumbuhan dari alam Taliabu yang mengalir dalam darah kami, seperti aliran air lobu, air lise, air Talaga biru, air fangu, dan lainnya yang merupakan salah satu sumber penghidupan kami dan kami bisa hidup rukun dan berdampingan. Jadi Ketika kami memberi ekspresi berlebihan berupa kemarahan itu sekaligus perasaan cinta yang mendalam. Jadi tolong jangan berlebihan Ketika anak muda bersuara.

Maka menurut saya pastikan dulu status jalan lingkar taliabu, jangan seperti yang terjadi belakangan Pemda mengakatan bahwa jalan lingkar Taliabu adalah milik Pemprov (Hamid, 2020), dan sebaliknya Pemprov mengatakan bahwa jalan lingkar Taliabu itu statusnya adalah jalan Kabupaten (Lensa, 2023).

Dan kemudian pada akhirnya Pemda meminta agar Pemerintah Pusat mengambil alih (Havidi, 2023). Dalam hal ini pemerintah harus konsisten, jangan omon-omon doang.

Selain itu, transportasi laut yang terbatas dan fasilitas pelabuhan yang minim menyebabkan harga kebutuhan pokok melambung tinggi, bahkan mencapai 30-50% lebih mahal dibandingkan daerah lain di Maluku Utara.

Sementara itu, rasio elektrifikasi baru mencapai 70%, dengan pemadaman listrik yang masih sering terjadi akibat keterbatasan pasokan dan infrastruktur yang belum memadai, terutama di daerah terpencil yang masih bergantung pada generator diesel (SeputarTaliabu, 2025).

Untuk mengatasi masalah kesehatan, pemerintah perlu mempercepat rekrutmen tenaga medis melalui program Nusantara Sehat yang diperkuat dengan insentif khusus bagi dokter dan perawat yang bertugas di daerah terpencil.

Intervensi gizi berbasis sumber daya lokal, seperti optimalisasi pemanfaatan ikan, pisang, kasbi dan sagu, dapat menjadi solusi jangka pendek untuk menekan angka stunting.

Sementara itu, di bidang pendidikan, kesejahteraan guru, pembangunan asrama guru dan siswa di daerah terisolir dapat mengurangi tingkat putus sekolah dengan memastikan akses yang lebih mudah ke institusi pendidikan. Jaringan agar terdapat koneksi internet, memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Upaya perbaikan ini harus didukung oleh kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan organisasi non-pemerintah untuk memastikan keberlanjutan program. Tanpa langkah strategis yang konkret, ketertinggalan di sektor kesehatan dan pendidikan akan terus memperlambat pembangunan manusia di Taliabu.

Pengelolaan Sumber Daya Alam: Antara Potensi dan Kehancuran

Pulau Taliabu dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, dengan lahan pertanian yang subur dan perairan laut yang kaya akan hasil perikanan. Namun, pemanfaatan potensi ini belum optimal dan justru menghadapi ancaman serius terhadap keberlanjutan ekosistem.

Di sektor pertanian, pengelolaan lahan lahan masih dikelola secara tradisional dengan produktivitas yang rendah (Mongabay, 2017), sementara di sektor perikanan, praktik penangkapan ikan yang merusak seperti penggunaan bom dan potasium terus mengancam kelestarian terumbu karang yang merupakan habitat penting bagi biota laut (MalutPost, 2025).

Pengeboman dan pembiusan ikan ini dapat di larang jika ada alternatif yang bisa ditawarkan oleh pemerintah misalnya menyediakan alat tangkap yang modern dan pengadaan perahu tangkap nelayan dan masih banyak cara lainnya.

Kondisi ini memerlukan pendekatan terpadu yang mengintegrasikan aspek ekonomi dan ekologi. Untuk sektor pertanian, penerapan teknologi precision farming dengan pendampingan penyuluh pertanian dapat meningkatkan produktivitas tanpa harus memperluas lahan.

Pembentukan lumbung pangan desa berbasis komoditas lokal akan memperkuat ketahanan pangan sekaligus menjaga kearifan lokal. Di bidang perikanan, penguatan sistem pengawasan melalui penggunaan drone dan patroli masyarakat perlu didukung dengan penegakan hukum yang konsisten.

Pengembangan budidaya rumput laut dan ikan kerapu layak menjadi prioritas sebagai alternatif ekonomi yang ramah lingkungan, mengingat kondisi perairan Taliabu yang sangat mendukung.

Implementasi kebijakan ini membutuhkan sinergi multipihak, termasuk pemerintah daerah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat lokal. Pendekatan berbasis bukti dan partisipatif akan menjadi kunci dalam menciptakan transformasi menuju sistem pertanian dan perikanan yang berkelanjutan di Taliabu.

Pengangguran Pemuda dan Migrasi

Pulau Taliabu menghadapi tantangan serius dalam hal pengangguran dan migrasi pemuda, dengan tingkat pengangguran terbuka mencapai 3,15 pada tahun 2023 dan sebanyak 2,86 pada 2024 tren menurun ini sangan enak di pandang mata jika kita telusuri data BPS (2024) namun kita belum mengetahui apakah data ini beriringan dan sudakah di hitung dengan jumlah pemudan dan pemudi yang ke Halmahera untuk mengadu Nasib di sana?

Bukankan begitu banyak Masyarakat taliabu yang mencari penghidupan di Halmahera khususnya Weda. Fenomena ini diperparah oleh terbatasnya peluang wirausaha, di mana hanya sedikit pemuda yang terlibat dalam usaha produktif.

Akibatnya, banyak generasi muda memilih merantau ke untuk mencari pekerjaan, yang jika terus dibiarkan akan memperlambat pembangunan dan mengurangi sumber daya manusia produktif di Taliabu.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan berbasis pelatihan vokasi dan penguatan UMKM. Kerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK) Maluku Utara dapat difokuskan pada penyelenggaraan kursus teknik kelautan dan pertanian modern, mengingat kedua sektor ini memiliki potensi besar di Taliabu.

Pelatihan semacam ini akan membekali pemuda dengan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja lokal. Selain itu, pengembangan wirausaha pemuda harus didorong melalui program hibah modal usaha dan pendampingan pemasaran digital. Pemanfaatan platform e-commerce lokal dapat menjadi solusi efektif untuk memperluas pasar produk UMKM Taliabu, sekaligus mengurangi ketergantungan pada sistem distribusi konvensional yang mahal.

Kebijakan ini harus didukung oleh komitmen pemerintah daerah dalam menyediakan infrastruktur pendukung, seperti akses internet yang stabil dan pusat pelatihan yang terjangkau. Jika diimplementasikan secara konsisten, strategi ini tidak hanya akan mengurangi angka pengangguran dan migrasi pemuda, tetapi juga menggerakkan perekonomian lokal berbasis potensi unggulan Taliabu.

Pulau Taliabu membutuhkan kepemimpinan yang visioner dan kebijakan berbasis data. Ibu Salsabilah Mus dapat menjadikan isu infrastruktur, kesehatan-pendidikan, pengelolaan SDA, dan pengangguran pemuda sebagai prioritas. Dengan pendekatan partisipatif dan kolaborasi multipihak, Taliabu bisa menjadi contoh pembangunan berkelanjutan di kawasan timur Indonesia.(*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *