Menyemai Generasi Qur’ani: Refleksi Pendidikan Integral Muhammad Natsir

Oleh : Muhammad Augi/ Aktivis HMI

AL-QUR’AN‘ Kalam Ilahi yang tak lekang oleh zaman, senantiasa menjadi sumber mata air yang jernih bagi umat manusia. Ia adalah Hudan (petunjuk), Furqan (pembeda), dan Syifa (penyembuh).

Dalam setiap helaan nafas sejarah, firman-firman-Nya diseru untuk mengesahkan gerak langkah, menyalakan api perjuangan, dan meneduhkan jiwa yang gelisah. Dari belahan timur di Nusantara hingga ujung barat di Maghribi, ayat-ayat suci ini menjelma menjadi ideologi perlawanan, membebaskan umat dari belenggu kolonialisme pasca-Perang Dunia Kedua.

Namun, perjuangan itu tak pernah benar-benar usai. Setelah kemerdekaan fisik diraih, medan jihad bergeser ke ranah pemikiran, ekonomi, dan kebudayaan. Kekuatan-kekuatan baru dengan strategi dominasi yang lebih halus hadir, mencoba menyeragamkan dunia dalam satu warna.

Dalam pusaran inilah, agama seringkali ditarik ke dalam arena pragmatisme; menjadi justifikasi ideologis bagi politisi, tameng moral bagi penguasa, bahkan sekadar alat produksi bagi kader-kader partisan. Umat dihadapkan pada tantangan untuk tidak hanya membaca Al-Qur’an, tetapi menghidupkannya secara kaffah (menyeluruh).

Membaca denyut zaman ini, kita teringat pada sosok visioner, Muhammad Natsir. Beliau, seorang mufasir ulung sekaligus negarawan, memahami betul bahwa kemerdekaan sejati sebuah bangsa berakar pada kemerdekaan jiwa dan akal manusianya. Maka, solusi strategis yang beliau tawarkan untuk membangun peradaban—baik dalam ekonomi, politik, maupun budaya—bermuara pada satu titik sentral: pendidikan Islam yang integral.

Bagi Natsir, pendidikan Islam bukanlah sekadar transfer pengetahuan (ta’lim) atau pembinaan moral semata (tarbiyah). Ia adalah sebuah proses penyempurnaan manusia (ta’dib) untuk melahirkan sosok insan yang seimbang. Seimbang antara ketajaman akalnya (fikr) dengan kedalaman imannya (dzikr).

Seimbang antara kemahiran tangannya untuk berkarya dengan kepekaan nuraninya untuk merasa. Inilah manusia merdeka yang sesungguhnya: insan yang percaya pada kekuatan yang dianugerahkan Allah pada dirinya, mampu berdiri di atas kaki sendiri, dan tidak menggantungkan nasibnya semata pada selembar ijazah untuk penghidupan. Di sinilah letak urgensinya untuk kembali kepada fondasi spiritual dan emosional dalam pendidikan.

Bagi Natsir, fondasi dari segalanya adalah mengembalikan manusia pada tujuan penciptaannya. Pendidikan haruslah menyadarkan setiap peserta didik akan hakikat eksistensinya di muka bumi ini. Allah SWT berfirman dalam Surat Adz-Dzariyat:
وَمَاخَلَقْتُالْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّالِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Ayat ini adalah poros dari segala aktivitas. “Ibadah” di sini bukanlah sebatas ritus di ruang-ruang sunyi, melainkan seluruh gerak kebaikan yang diperintahkan dan seluruh upaya meninggalkan keburukan yang dilarang. Dalam konteks pendidikan, integrasi nilai ibadah ini adalah suluh yang menerangi jiwa.

Natsir menekankan bahwa proses ini tidak boleh pasif. Murid bukanlah bejana kosong yang hanya menerima. Mereka harus menjadi subjek yang aktif dalam mengamalkan nilai-nilai agama.

Praktik shalat, shaum, tilawah, dan dzikir bukan lagi sekadar materi hafalan, melainkan sebuah proses pembiasaan yang membentuk hubungan moral yang kokoh dengan Sang Khaliq. Inilah yang disebut inter-connectedness vertikal (hablun minallah), sebuah hubungan personal yang intim antara hamba dengan Rabb-nya, yang menjadi sumber kekuatan dan ketenangan hakiki.

Ibadah vertikal yang lurus akan memancarkan cahaya secara horizontal. Keimanan yang tertanam kuat di dalam dada akan melahirkan kepedulian dan welas asih kepada sesama. Di sinilah peran manusia sebagai khalifatullah fil ardh (wakil Allah di muka bumi) diuji. Al-Qur’an sendiri telah memberikan sebuah matsal atau perumpamaan yang begitu kuat tentang negeri yang penduduknya melupakan dimensi sosial dari iman mereka:

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman, yang artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah menimpakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. An-Nahl [16]: 112)

Ayat ini menyiratkan bahwa krisis sosial—kelaparan dan ketakutan—adalah buah dari “kekufuran terhadap nikmat,” yakni kegagalan dalam mensyukuri dan mendistribusikan karunia Allah secara adil. Akhlak sosial menjadi kuncinya.

Natsir menerjemahkan pembinaan akhlak ini ke dalam kurikulum yang praktis, salah satunya melalui “kerajinan tangan”. Namun, ini bukan sekadar keterampilan vokasional. Ketika seorang siswa diajarkan untuk memanfaatkan alam—menanam, berternak, atau mengolah hasil bumi—ia sejatinya sedang dididik untuk: Menghaluskan Emosi: Ia belajar tentang sabar, tekun, dan menghargai proses.

Membangun Empati: Ia merasakan jerih payah dalam menghasilkan sesuatu, sehingga lebih peka terhadap masalah kemiskinan dan kelaparan. Menumbuhkan Kemandirian: Ia dididik untuk menjadi jiwa yang produktif, bukan konsumtif; tangan di atas, bukan di bawah.

Inilah kecerdasan emosional yang sejati: kemampuan untuk mengendalikan diri, berempati, dan termotivasi untuk menjadi solusi bagi krisis kemanusiaan di sekitarnya. Ini adalah upaya merajut hablun minannas (hubungan antarmanusia) yang kokoh, diikat oleh tali iman kepada Allah.

Pada akhirnya, visi pendidikan Muhammad Natsir adalah sebuah upaya luhur untuk mencetak generasi yang utuh. Generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan emosional.

Generasi yang zikir dan pikirnya menyatu, yang ibadah ritualnya menjelma menjadi etos kerja dan kepedulian sosial. Inilah generasi Qur’ani yang mampu menjawab tantangan zaman, bukan dengan reaktivitas yang gamang, melainkan dengan solusi profetik yang datang dari petunjuk Ilahi.(*)

 

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *