Stufenbau dan Kepemilikan Tanah: Apakah Negara Melanggar UUD 1945?

Oleh : Saputra Ridholah/ Mahasiswa Hukum Tata Negara IAIN Ternate

MENTERI Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa negara memiliki kewenangan untuk mengambil alih lahan yang tidak dimanfaatkan atau dibiarkan terbengkalai selama jangka waktu dua tahun.

Pernyataan tersebut disampaikannya setelah memimpin rapat koordinasi bersama para kepala daerah se-Provinsi Lampung. Hal ini merujuk pada ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar, khususnya yang diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 9.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945:”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Namun prinsip ini harus dijalankan dengan asas keadilan, bukan sekadar mengambil alih hak milik individu tanpa memperhitungkan alasan konkret, keadaan sosial, atau faktor ekonomi yang menyebabkan tanah tidak digunakan, karena faktanya tidak semuah masyarakat punya kondisi ekonomi yang sama dalam mengelola sebuah tanah.

Pasal 28H ayat (4) UUD 1945:”Setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.” Penarikan hak atas tanah tanpa alasan yang adil dan tanpa proses hukum yang sebanding melanggar hak konstitusional atas kepemilikan.

Kalau kita mengacu pada teori hans kelsen dalam bukunya yang berjudul “the pure theory of law”. Ada salah satu teori yang di gagas oleh hans kelsen yaitu teori “stufenbau”, Teori stufenbau adalah teori hukum yang menggambarkan sistem hukum sebagai sebuah piramida hierarki norma hukum yang berjenjang, di mana norma hukum yang lebih rendah harus berpegang pada dan bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi sebagai sebuah acuan, yakni UUD 1945 itu sendiri.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, mengatur bahwa negara mengakui adanya hierarki peraturan perundang-undangan.

Dalam sistem hukum Indonesia, peraturan perundang-undangan tersusun secara berjenjang, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945 sebagai norma tertinggi, diikuti oleh undang-undang dan peraturan di bawahnya, yang harus disusun dan diberlakukan sesuai dengan tingkatannya.

Maka seharusnya pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan berdasarkan validitas hukum, apa itu validitas hukum? Validitas hukum adalah proses pembuatan suatu aturan yang harus berdasarkan aturan yang lebih tinggi agar aturan tersebut bersifat valid.

Dan juga seharusnya pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan yang berdampak pada kemaslahatan untuk masyarakat dan bukan untuk segelintir oligarki.(*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *