Tebang Pilih di Laut Taliabu: Antara Bom Ikan marak Pemberitaan dan Rumpong Ilegal yang Membisu?

Oleh: Askal Samiudin/Ketum IKA FEBI IAIN Ternate

LAUT Maluku Utara, khususnya di perairan Taliabu, adalah harta karun biodiversitas yang menjadi tumpuan hidup ribuan nelayan tradisional. Namun, kekayaan ini terus-menerus dikepung oleh dua musuh besar pengeboman ikan yang brutal dan praktik rumpong ilegal yang masif.

Yang menarik dan patut disayangkan adalah perbedaan respons penegakan hukum terhadap kedua kejahatan ini. Masyarakat sedang menyaksikan sebuah paradoks yang mencolok, operasi pengawasan ketat dan pemberitaan luas terhadap pengeboman ikan, sementara ribuan rumpong ilegal yang beroperasi seolah hanya mendapat ‘himbauan’ belaka.

Beberapa waktu lalu, kita memang dihebohkan dengan langkah tegas pemerintah dalam memberantas aksi pengeboman ikan. Operasi pengawasan ketat digelar, pelaku diburu, dan pemberitaan media pun masif. Langkah ini tentu patut diacungi jempol.

Aksi penangkapan ikan dengan bom adalah kejahatan yang langsung terlihat dampak destruktifnya, meninggalkan bukti fisik yang jelas berupa karang hancur dan ikan mati berserakan walaupun kita juga harus objektif, kadang langkah itu adalah langkah yang diambil karena hanya dengan itu mereka bisa bertahan hidup, maka perlu ada pembinaan dan pemberian alternatif pekerjaan oleh Pemda. dibalik sorotan media terhadap pelaku pengeboman ikan, tersembunyi musuh yang lebih sistematis, lebih masif, dan dalam jangka panjang mungkin lebih berbahaya yaitu rumpong ilegal.

Maluku Utara secara keseluruhan memiliki data terakhir terkait dengan rumpong ilegal. Ditemukan pada 2023 lalu sekitar 1.300 rumpon ilegal yang dari jumlah tersebut, baru 89 rumpon di antaranya telah berhasil ditertibkan, rumpong-rumpong tersebut merupakan milik oknum nelayan dari Provinsi tetangga yaitu Maluku dan Sulawesi Utara.

Dan juga terdapat perbedaan data mengenai jumlah rumpon ilegal di Maluku Utara. Menurut Abdullah Assagaf, Kepala DKP Provinsi Maluku Utara, pada Kamis (12/1/2023), jumlahnya kurang lebih seribu buah. Namun, data yang dilaporkan oleh TNI Angkatan Laut menyebutkan angka yang lebih tinggi, yaitu sekitar 1.300 rumpon ilegal (Jajira.id, 2023)⁠.

Sedangkan di Taliabu, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Taliabu mengimbau seluruh pemilik rumpong untuk segera mengurus perizinan, mengingat seluruh unit yang beroperasi saat ini baru sekitar 20 yang terdata masih ilegal, karena kewenangan izin berada di tingkat provinsi. DKP juga baru menerima data rumpong ilegal terebut pada tahun 2022, terkesan lamban(Tiar, 2022)⁠.

Taliabu itu terbuka dan bisa diakses dari Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Dikutip dari (Ichi, 2021) ⁠Sering kali terjadi kasus illegal fishing melibatkan orang-orang/oknum yang datang dari sana. berbanding terbalik dengan penindakan pelaku pengeboman dimana beberapa masyarakat taliabu baru-baru ini langsung ditangkap karena melalukan pengeboman ikan (Noviyanti, 2025)⁠ dan 5 orang lainnya (Djailan, 2025)⁠ dengan petugas yang bersenjata lengkap.

Inilah yang kemudian memunculkan kesan “tebang pilih” dalam penegakan hukum di laut, di mana satu musuh diperlakukan secara keras, sementara musuh lainnya dibiarkan menggerogoti ekosistem secara perlahan. Keadilan di laut juga perlu ditegakkan

Pembahasan mengenai rumpong ilegal di Taliabu, bukanlah isu baru. Yang menjadi persoalan adalah respons terhadapnya. Pemberitaan terakhir justru menyebutkan bahwa langkah terakhir pemerintah daerah adalah ‘menghimbau’ pemilik rumpong untuk mengantongi izin.

Bagi masyarakat awam, himbauan ini menimbulkan tanda tanya besar. Jika himbauan itu dimaksudkan agar penertiban terhadap rumpong yang tidak berizin akan segera menyusul, maka itu adalah langkah yang baik. Namun, jika himbauan itu hanya menjadi bentuk ‘pemberitaan’ dan tidak ada tindakan tegas lanjutan, maka ini adalah sebuah kegagalan.

Persoalannya bukan sekadar pada ada atau tidaknya izin. Rumpong ilegal, terlepas dari izinnya, sering kali dioperasikan dengan praktik yang tidak berkelanjutan. Selain itu, pelanggaran yang dilakukan para pelaku ilegal fishing adalah dengan menjaring ikan di rumpon (Cermat, 2023)⁠.

Praktek ini akan memaksa anak-anak ikan (juvenil) yang belum sempat berkembang biak ikut terbawa jaring. Dampaknya adalah kerusakan stok ikan jangka panjang yang justru akan mematikan mata pencaharian nelayan tradisional. Nelayan dengan jaring tradisionalnya pergi melaut dan pulang dengan hasil yang semakin menipis, sementara rumpong-rumpong ilegal itu terus “memanen” massal tanpa ampun.

Kesan “tebang pilih” inilah yang berbahaya. Masyarakat Taliabu melihat bahwa seakan penegakan hukum tampak hanya aktif ketika ada operasi besar-bayaran yang mendapat sorotan media. Sementara, musuh yang sesungguhnya menghabiskan ikan-ikan mereka justru dibiarkan dengan alasan yang tidak jelas. Hal ini melahirkan kekecewaan dan erosi kepercayaan terhadap otoritas.

Oleh karena itu, ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah yang baru. Laut Taliabu adalah aset berharga yang tidak boleh disia-siakan oleh kelambanan dan ketidaktegasan. Pemerintah harus bergerak melampaui sekadar himbauan. Langkah-langkah konkret harus segera diambil diantaranya dengan Inventarisasi dan Verifikasi, Melakukan pendataan menyeluruh terhadap semua rumpong yang beroperasi.

Mana yang sudah berizin dan mana yang ilegal harus dipetakan dengan jelas. Kedua, Penegakan Hukum yang Nyata dengan Memberikan batas waktu yang tegas bagi pemilik rumpong ilegal untuk menaati aturan. Setelahnya, operasi penertiban dan penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu. Rumpong ilegal harus dibongkar dan sanksi hukum diberikan kepada pemiliknya. Ketiga, Transparansi dimana Pemerintah perlu mengkomunikasikan secara terbuka kepada publik tentang langkah-langkah yang diambil, jumlah izin yang telah diterbitkan, dan hasil dari operasi penertiban.

Ini untuk menghilangkan kesan tebang pilih dan membangun kepercayaan masyarakat. Keempat Pengawasan Terpadu dengan Memperkuat kolaborasi antara TNI AL, Polri, KKP, dan pemerintah daerah untuk melakukan patroli rutin yang tidak hanya fokus pada bom ikan, tetapi juga pada praktik penangkapan ikan ilegal.

Laut Taliabu membutuhkan penjaga, bukan penghibur. Ia membutuhkan penegak hukum yang konsisten dan berkeadilan, bukan kebijakan yang bersifat temporer dan pencitraan. Memberantas bom ikan tapi membiarkan rumpong ilegal adalah ibarat memakai plester pada luka kecil sementara penyakit kanker terus menyebar di dalam tubuh.

Jangan sampai kekayaan laut kita yang tak ternilai habis karena dibiarkan dicuri secara perlahan, dengan penegakan hukum yang adil maka kekayaan laut kita bisa dikelola dan dapat meningkatkan PAD Taliabu sehingga dapat menciptakan masyarakat adil dan makmur dan maju, tentunya dengan pengembangan pengetahuan dan alat yang memadai bagi nelayan taliabu (Samiudin, 2025)⁠. Masyarakat Taliabu telah bersuara. Kini, saatnya pemerintah membuktikan bahwa suara itu didengar, dan yang lebih penting, ditindaklanjuti.(*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *