KEBIJAKAN KURIKULUM BERBASIS CINTA MEMBANGUN KEADABAN MANUSIA

Oleh: Ramli Yusuf Akademisi IAIN Ternate

KURIKULUM pendidikan nasional dalam sepuluh tahun terakhir mengalami overload atau kelebihan muatan. Kondisi ini lebih disebabkan karena setiap pergantian Menteri selalu terjadi perubahan kebijakan kurikulum. Memang fenomena tentang anomaly gonta-ganti kebijakan dalam suatu pemerintahan transisi dianggap semacam hal yang lumrah dan biasa terjadi.

Namun faktanya, bahwa imbas dari perubahan kebijakan kurikulum justru berimplikasi pula pada aspek peningkatan beban kerja guru. Terutama penyiapan admnistrasi terkait perangkat pembelajaran, explorasi bahan ajar semakin diperluas cakupannya, juga jam belajar siswa ikut bertambah.

Pada hal belajar yang sesungguh dimaksudkan agar mampu mengispirasi dan memotivasi siswa merubah perilaku untuk membangun keadaban manusia. Justru terkesan sebaliknya, belajar tidak lagi dilihat sebagai kebutuhan melainkan menjadi beban. Karena setiap saat mereka terpaksa harus terus berjibaku untuk menyelesaikan tugas-tugas yang relative begitu banyak diberikan oleh guru. Bahkan mungkin mereka juga siap menghadapi resiko berupa sanksi atau hukuman. jika pekerjaan itu tidak dapat diselesaikan
dengan baik.

Disatu sisi kita ingin mereka mampu memaksimalkan potensi untuk mencapai prestasi lebih tinggi. Sementara disisi lain, hampir sulit dipastikan mereka bisa membagi waktu yang cukup, terutama memberikan ruang kebebasan berekspresi untuk pengembangan kreativitas bakat dan minat. Mengingat stok energi mereka sudah terkuras habis, baik di sekolah maupun di rumah hanya sibuk menyelesaikan tugas-tugas pemberian guru.

Dalam Kurikulum Merdeka Belajar yang telah diterapkan sebelumnya, dilakukan perubahan struktur Mata Pelajaran. Konsekwensi dari perubahan tersebut berkaitan dengan pengurangan jam pelajaran pada tingkat SMA. Misalnya Pelajaran Agama yang semulanya tiga jam perminggu menjadi dua jam.

Sementara bahasa Indonesia, Matematika, bahasa Inggris, PPKN dan Penjaskes ditetapkan empat jam pelajaran dikurangi menjadi tiga jam. Namun kenyataan disejumlah sekolah tertentu memberlakukan pembelajaran sehari penuh. Atau yang kita kenal dengan system full day school sehingga terkesan kembali menambah beban waktu belajar bagi siswa.

Penerapan system ini memungkinkan dalam seminggu mereka hanya sekolah lima hari. Dan setiap hari waktu belajar yang dilalui mulai dari pagi sampai-sore rata-rata mencapai sepuluh jam. Itu berarti setelah pulang sekolah kondisi mereka benar-benar sudah mengalami kelelahan. Belum lagi keberadaan mereka di rumah membutuhkan tenaga ekstra untuk ikut membantu pekerjaan orangtua. Pada hal mereka mesti juga punya waktu istirahat yang cukup agar stamina cepat pulih dan kembali belajar seperti biasa untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru.

Selain itu, mungkin ekspektasi kita terlalu tinggi terhadap kehadiran Kurikulum Merdeka Belajar dianggap sebagai solusi yang amat penting bagi peningkatan kemampuan literasi dan numerik. Pada hal tanpa kita sadari aktivitas belajar siswa juga membutuhkan keterlibatan fisik dan psikhis secara seimbang. Cuma sayangnya kesempatan waktu belajar di sekolah telah menguras habis tenaga dan pikiran mereka hanya untuk menguasai sejumlah kompetensi yang menjadi target pencapaian hasil pembelajaran.

KBC Solusi Membangun Keadaban Manusia Terlepas dari perdebatan pro-kontra mengenai gonta-ganti kebijakan kurikulum. Kementerian Agama kembali meluncurkan apa dikenal dengan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Argumentasi yang mendasari diterapkannya Kurikulum Berbasis Cinta ini adalah langkah nyata untuk merespon berbagai krisis kemanusiaan.

Model pendekatan pembelajaran yang digunakan lebih berorientasi pada aspek kebebasan dan kesetaraan manusia. Anak didik harus diedukasi dengan prinsip dan nilai-nilai keberagaman. Supaya mereka terbiasa menerima perbedaan untuk hidup berdampingan tanpa saling mendiskreditkan antara satu dengan yang lain.

Perbedaan itu diterima sebaagai anugrah Tuhan, sehingga tidak mungkin dipersatukan, apalagi dihilangkan oleh manusia. Sebab secara geneologi, asal kejadian kita memang ditaqdirkan berbeda, baik dari jenis kelamin, warna kulit, nama, agama, ras, suku, bahasa dan budaya. Bagaimana mungkin kita mengingkari terhadap hakikat kondrat penciptaan itu.

Maka cara yang dilakukan adalah memelihara dan merawat perbedaan, bersikap inklusif dengan selalu mendepankan hubungan saling menghargai serta menghormati sesama manusia. Sehingga perbedaan sekecil apapun patut direspon secara cerdas dan bijak. Bukan untuk menghindari kemungkinan potensi konflik akibat perbedaan, melainkan yang dicari adalah titik temu persamaan dalam kerangka meminimalisir perbedaan kearah perbecahan.

Pendidikan di sekolah perlu membuka ruang kebebasan bagi tumbuh dan berkembangnya kebiasaan untuk selalu berbeda pendapat dikalangan siswa terutama dalam forum diskusi. Karena hanya dengan perbedaan manusia bisa berkembang secara sehat dan menghasilkan kemajuan. Tanpa perbedaan, peradaban demokrasi kita cenderung stagnan, bahkan akan mati sebelum taqdir semesta menjemput. Namun menyikapi perbedaan harus diutarakan melalui bahasa cinta. Artinya menggunakan sikap lemah lembut dan sopan santun dalam bertutur kata supaya orang lain merasa tertarik karena dihargai meski pendapatnya tak sejalan.

Dalam agama juga diajarkan mencegah kemungkaran tidak harus ditegakan dengan cara kekerasan. Sebab hanya dengan contoh perilaku demikian dapat mempengaruhi orang untuk menyadari kesalahan yang telah dilakukan dan berusaha memperbaiki untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Apalagi perbedaan dalam konteks kehidupan beragama adalah sebuah keniscayaan, sehingga pemahamaan terhadap perbedaan keyakinan agama lain merupakan hal yang dapat dibenarkan.

Sekalipun bertentangan dengan pandangan, kebiasaan, bahkan keyakinan kita harus diletakan secara proporsional. Agar orang tidak sesat pikir memilih jalan ekstrim atas nama agama untuk membenarkan perbuatan kekerasan melawan norma hukum dan norma sosial.
Kurikulum Berbasis Cinta harus dipayungi dengan konsep moderasi beragama.

Dimana proses pembelajaran diharapkan dapat membentuk cara pandang, sikap, dan perilaku siswa dalam menjalankan ajaran agama secara seimbang, tidak cenderung ekstrim, penuh toleran, menghargai keragaman dan perbedaan. Prinsip keseimbangan pemahaman seperti ini praktis memberi kontribusi positif dan konstruktif terhadap penguatan kerukunan hidup umat beragama. Terutama dapat berfungsi untuk mengendalikan serta mencegah kesesatan pikiran dalam memproduksi tindakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan.

Keberadaan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai bagian integral dari pendidikan karakter di sekolah lebih mengutamakan pembentukan perilaku dan moral dalam membangun keadaban manusia. Jadi, “belajarlah adab sebelum ilmu pengetahuan, karena orang beradab pasti berilmu.

Tetapi orang berilmu belum tentu beradab. Aku lebih menghormati orang yang beradab daripada berilmu. Jika hanya ilmu, iblispun lebih tinggi ilmunya daripada manusia”, tulis Jalaluddin Rumi.
Ungkapn seorang ulama dan sufi ternama di atas, menunjukan bahwa krisis multi dimensional yang melanda kehidupan umat manusia dewasa ini merupakan titik balik sebagai bentuk koreksi terhadap bukti kegagalan pendidikan dalam membangun nilai-nilai keadaban.

Cuma sayangnya, kita baru kaget dan sadar setelah melihat atau menyaksikan kenyataan miris yang meresahkan terjadi di depan mata guru siswa berkelahi, berbicara kurang santun, melakukan kekerasan, bulling antar sesama teman baik secara langsung maupun melalui media sosial.

Perilaku tersebut tidak hanya terjadi dikalangan siswa saja. Bahkan guru sendiri juga seringkali turut terlibat melakukan aksi yang sama berupa kekerasan dalam bentuk fisik dan psikhis. Kemudian anehnya mereka memaksakan siswa berbuat kebaikan ditengah contoh yang buruk. Bagaimana mungkin kita berharap dapat memperbaiki perilaku anak didik, sementara guru sendiri justru menjadi bagian dari pelaku kekerasan.

Fakta tersebut semakin menambah keresahan dan keperihatinan orangtua setelah Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) merilis data reel time mengenai perilaku kekerasan dalam lingkungan satuan pendidikan. Hal ini mengkonfirmasi keyakinan public bahwa ada tindakan kekerasan secara nasional trendnya meningkat tajam lebih dari 100% mencapai 573 kasus pada tahun 2024. Angka ini meningkat cukup signifikan bila dibandingkan dengan data tahun sebelumnya hanya 285 kasus.

Ternyata sangat ironis, karena pelaku terbanyak tindakan kekerasan adalah guru atau pendidik. Diantara berbagai kasus kejahatan tersebut yang paling tertinggi terkait kekerasan seksual sebanyak 42%, menyusul perundungan (bullyng) 31%, kekerasan fisik 10%, kekerasan psikis 11%, dan 6% terkait kebijakan diskriminatif. Korban kekerasan seksual dialami perempuan menempati posisi teratas yaitu 97%. Sedangkan untuk kasus perundungan lebih banyak didominasi laki-laki.(baca: Harian Kompas)

Pada titik ini, pemerintah kemudian sibuk mencari formula baru tentang system pendidikan yang memiliki daya tangkal lebih efektif untuk digunakan sebagai base practis dalam pembinaan moral dan pembentukan kepribadian siswa. Lalu dirumuskanlah Kurikulum Berbasis Cinta yang diharapkan menjadi solusi dan mampu memberikan penguatan terhadap pelaksanaan pendidikan karkater.

Itulah sebabnya, disemua lembaga pendidikan tanpa terkecuali, kembali berlomba membudayakan kebiasaan saling bersalaman antar guru dan siswa, baik ketika datang maupun pulang sekolah.
Karena itu setiap pagi guru harus antri berjam-jam di depan pintu pagar guna menyambut kedatangan siswa. Upaya menyambungkan kebiasaan nilai-nilai karakter yang mungkin hampir luput dari didikan orangtua di rumah dihidupkan kembali di sekolah.

Artinya saling bersalaman dan mencium tangan guru seperti ini punya dampak psikologis cukup kuat sebagai bentuk ekspresi untuk mempererat hubungan cinta dan kasih sayang tanpa membeda bedakan asal usul agama, suku, dan budaya.

Konsep cinta sesungguhnya bertahta dalam jiwa yang cuci, dan dimulai dari hal-hal yang kecil. Dia hanya bisa dijalani dengan sikap yang tulus, ikhlas, dan penuh kesabaran. Ketika cinta mulai bertasbih akan mampu melumpuhkan rasa dendam, permusuhan, dan melululantakan tembok kebencian sehingga dapat mencegah kekerasan kemanusiaan.

Sebab bahasa cinta menunjukan satunya kata dan perbuatan. Jika itu terjadi, maka tidak mustahil refleksi kekuatan cinta dapat berfungsi untuk mengendalikan perilaku anak didik dari bentuk perbuatan menyimpang baik terhadap ajaran Tuhan, hubungan sesama manusia, maupun dengan lingkungan alam sekitarnya. Disinilah pentingnya siswa mampu memaknai hakekat cinta yang seutuhnya.

Pendekatan pembelajaran dalam Kurikulum Berbasis Cinta diarahkan melalui contoh-contoh yang lugas dan sederhana di sekolah. Dengan tujuan untuk mengajak orang lain ke jalan kebaikan bukan kejahatan. Apalagi cinta sejati merupakan perilaku mulia sehingga tak mungkin menyatu ke dalam diri orang jahat, pembohong, juga pendendam.

Perasaan cinta yang tulus harus mampu menumbuhkan sikap empati dan peduli terhadap orang lain dalam keadaan susah. Atau dalam bahasa sederhananya senang melihat orang bahagia, dan susah melihat orang menderita. Ungkapan ini jangan dibalik senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.

Sebab perilaku demikian justru mengambarkan ciri jiwa tidak sehat dan cenderung egois. Menurut standar WHO, sehat jiwa adalah keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial, bukan hanya ketiadaan penyakit. Seseorang dengan kesehatan jiwa yang baik memiliki kemampuan mengenali potensi diri, menghadapi stres sehari-hari, produktif, dan bermanfaat bagi orang lain.

Sebaliknya sifat egois, plus ambisius hanya akan melahirkan cinta buta, sehingga rela mengorbankan dan mempertaruhkan apa saja yang dimiliki tanpa pikir panjang mengambil keputusan asalkan tujuan tercapai. Dan ini sangat mengganggu keakraban hubungan kemanusiaan.

Islam mengajarkan kita untuk mencintai dan menjauhkan kekerasan baik kata maupun perbuatan agar tercipta tatanan peradaban dunia yang harmonis dan damai. Hal ini digambarkan kurang lebih 33 ayat dalam Alquran berbicara tentang hubungan cinta dan kasih sayang.

Ketika siswa belajar tentang kurikulum berbasis cinta mungkin dapat mengingatkan kembali akan konflik penuh kekerasan yang mewarnai perjalanan cinta Romeo dan Juliat. Kisah romantis yang cukup dramatis dan melegenda ini ditulis dalam Novel adalah maha karya Willian Shakespeare terkenal sangat popular, bahkan sempat menggoncangkan dunia.

Kedua remaja tersebut memilih menjalani cinta terlarang tanpa restu keluarga. Ternyata berakhir tragis, tetapi berhasil mendamaikan dan mempersatukan kedua keluarga yang saling bermusuhan. Cerita ini akan lebih menginspirasi munculnya Romeo dan Juliat dalam versi yang sama atau berbeda tergantung keputusan penggemar.(*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *