Cermin Sejarah yang Retak: Gelombang Kejut Dari Perancis 1799 ke Jakarta 2025

Oleh: Ibnu Furqan S.Hum/Aktivis HMI

25 Agustus 2025, riuh massa berdatangan hampir mengepung kantor perwakilan rakyat dari sejumlah wilayah di Jakarta. Bukan hanya dari kalangan mahasiswa tapi juga semua elemen masyarakat –nampaknya mereka adalah representasi dari sebuah kekecewaan sosial. Pasalnya, pernyataan Ahmad Sahroni berikut Narfa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, Adies Kadir dan sejumlah politikus negara ini telah memicu kemuakan sosial.

Namun bagi saya, layaknya sebuah permainan domino setiap orang yang merupakan pelaku permainan sangat sulit untuk menunjukan batu AS dominonya. Itu artinya, kayu untuk membuat api telah disediakan namun pemantiknya menunggu waktu yang tepat, dan saya pikir pernyataan wakil rakyat adalah pemantik besar yang berhasil mengobarkan api perlawanan.

Melihat kondisi yang semakin melebar konfliknya hingga hari ini 31 Agustus 2025, saya kemudian diajak untuk mereview ingatan di atas lembaran-lembaran sejarah, segera saya membuka sebuah buku yang berjudul The Eve of the French Revolution (Sejarah Revolusi Perancis) disusun oleh Edward J Lowel, di dalamnya saya membaca dan berkelana kembali di tahun-tahun yang menentukan bagi bangsa Perancis, yah sebuah revolusi yang akan dikenang hingga kini dan mungkin hingga waktu yang tak ditentukan kedepan.

Sebuah ironi dari kebijakan yang anomali telah menggeser opini masyarakat Perancis “Liberte, Egalite, dan Fraternite” adalah sebuah tuntutan yang berhasil dikibarkan di ujung menara Versailles sebagai pernyataan simbol perlawanan terhadap monarki otoriter berikut dewan kerajaan yang telah buta dengan kekuasaan. Bagi saya sejarah adalah peristiwa yang berulang namun dengan motif dan dinamika yang berbeda, sekalipun pendapat ini tidak sepenuhnya benar, tapi –cermin besar sejarah akan tetap memantulkan bayangan masa kini–.

Louis XVI adalah gambaran nyata dari kegagalan penguasa, untuk menunjang kehidupan yang serba mewah, tidak segan-segan Louis XVI menerapkan kebijakan anomali, kebijakan ini kemudian dibagi dalam tiga golongan (Tiga Estates) yaitu kaum agamawan (Pendeta dan kroni-kroninya), Bangsawan, dan rakyat pada golongan ketiga. Bagi golongan pertama beberapa keuntungan yang dapat mereka nikmati adalah: Bebas pajak langsung, menguasai tanah yang sangat luas kekuasaannya mencapai sekita 10% tanah Perancis, Menerima sepersepuluh hasil panen Petani, memiliki pengaruh besar dalam politik dan pendidikan, dan hukumannya sangat ringat jika melanggar hukum.

Golongan kedua mendapat keistimewaan diantaranya: bebas dari sebagian besar pajak, memiliki hak-hak feodal (menarik upeti dari petani yang menggarap tanahnya sendiri), mendapat akses eklusif untuk naik ke jabatan tinggi militer, pemerintahan dan pengadilan, memiliki pengadilan khusus dan tidak di adili di pengadilan rakyat biasa, dan mendapat hak istimewa sebagai bangsawan di tengah-tengah masyarakat Perancis.

Golongan ketiga, inilah golongan terbesar sekita 97% dari keseluruhan warga Perancis mereka menanggung semua beban pajak, kerja rodi dan juga kewajiban kerja tanpa hak istimewa satupun. Sistem ini dengan sendirinya memiskinkan rakyat sekaligus menyiapkan bom waktu yang akan meledak kapanpun untuk meruntuhkan istana Versailles. Tepatnya 1799 Monarki Perancis menemui akhirnya yang paling memilukan dalam sejarah manusia, raja Louis XVI harus berakhir tragis dengan Guillotine (hukuman pancung) oleh rakyatnya sendiri dan ditonton oleh khalayak umum.

Membaca Indonesia dewasa hari ini, adalah negara yang menjunjung tinggi kebebasan, tentu kita bukan monarki yang secara absolut memerintah dan memberikan kebijakan semaunya. Namun kondisinya sangat ironi, mulai dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%, kebijakan efisiensi diseluruh sendi pemerintahan vertikal maupun horizontal, pengesahan RUU TNI menjadi UU, RUU perampasan aset yang tidak menemukan ujung pangkal pengesahannya, kenaikan pajak bumi dan bangunan dan lain-lain.

Kita mesti jujur siapakah yang paling tercekik dengan kebijakan seperti itu. Sementara pajak PPH Bupati, Gubernur, para Menteri, anggota DPR ditanggung oleh negara sepenuhnya. Kondisi ini semakin diperparah dengan surat edaran sekretariat jenderal DPR RI yang mengatur soal tunjangan dan gaji anggota DPR RI. Anggota DPR mendapatkan tunjangan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 sebesar Rp 1.729.000 hingga Rp 2.699.813, dan juga tunjangan perumahan yang mencapai Rp 50.000.000.

PPN tarifnya sama di semua lapisan masyarakat Indonesia, orang-orang konglomerat berkewajiban membayar pajak dengan besaran yang sama dibayar oleh para buruh. Itu artinya masyarakat yang berpenghasilan rendah benar-benar tercekik dengan pemberlakuan pajak seperti ini, sedangkan masyarakat dengan penghasilan tinggi akan merasa tidak terbebani dengan kebijakan ini. Apakah ini masalah utamanya? Bukan!

Rentetan masalah kebangsaan ini bukan karena pajak, orang Indonesia benar-benar tulus untuk berkontribusi bagi bangsanya sendiri terutama dalam hal kewajiban pajak, hanya saja titik tolak konfliknya adalah pada kultus keadilan yang hanya dirasakan oleh elit-elit negara ini. Selain itu sistem yang korup dan defisit APBN akibat manajemen keuangan negara, hutang luar negeri menumpuk, rakyat disalah-salahkan terutama guru dan dosen yang disebut sebagai beban APBN.

Semua itu dilakukan dengan cara menutup mata dari kejahatan korupsi yang merugikan keuangan negara triliunan rupiah. Ratu Marie Antoinette dalam frasa legendarisnya “Kalau tak punya roti, makan saja kue” adalah sama dengan “Catat nih, orang yang cuma bilang bubarin DPR itu adalah orang tolol sedunia”.

Skandal korupsi yang banyak, uang hasil korupsi yang diamankan negara entah kemana, atau mafia migas, mafia beras dan lain-lain adalah rentetan dari masalah yang memicu gerakan sosial muncul yang juga mencerminkan kemuakan bangsa Indonesia terhadap pemimpinnya sendiri. Rakyat diminta untuk terus patuh membayar pajak demi “pembangunan”, namun di saat yang sama mereka melihat uang negara seolah menjadi bancakan segelintir elite negara ini. Proyek-proyek yang tidak menyentuh langsung kebutuhan rakyat, alokasi anggaran yang janggal, dan pelayanan publik yang masih jauh dari kata memuaskan.

Terikan protes warga adalah gambaran demokrasi yang dirindukan, namun sayang dianggap sebagai gerakan pemicu ketidakstabilan negara. Jakarta, Makassar, Jogjakarta, Tasikmalaya dan masih banyak lagi gerakan-gerakan massa meletup layaknya gelombang kejut, yang seharusnya menampar kesadaran elit negara ini. Korban jiwa Affan, Syaiful, Sarina Ubay atau mungkin akan bertambah pada gerakan sosial lainya di Indonesia. Belum lagi Supomo, Tebet, Pancoran, Pasar Minggu dan Kalibata yang sengaja dimatikan lampunya seiringan dengan instruksi KAPOLRI Listyo Sigit Prabowo.

Kita kembali, bagaimana pemerintahan Raja Louis XVI tuli terhadap keluhan rakyatnya hingga semuanya terlambat. Majelis Rakyat yang coba dibentuk justru menjadi panggung bagi Golongan Ketiga untuk menyuarakan perlawanan. Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika beban ekonomi yang tidak adil bertemu dengan arogansi kekuasaan dan hilangnya kepercayaan, hasilnya bisa sangat destruktif dan itu terbukti pada Revolusi Perancis tahun 1799.

Membandingkan Indonesia saat ini dengan Prancis era Louis XVI secara langsung adalah sebuah penyederhanaan. Namun, mengabaikan paralelis-me yang menakutkan ini adalah sebuah kebodohan. Pemerintah harus mendengar dengan saksama desis ketidakpuasan yang semakin kencang. Reformasi POLRI, peninjauan kembali tunjangan anggota DPR RI, sahkan RUU Perampasan aset, dan lain-lain adalah tuntutan rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Maka, di tengah riuh suara rakyat dan keangkuhan istana, tersisa satu pertanyaan sederhana untuk mereka yang berkuasa: Mana yang lebih ingin kalian dengar, gemuruh tepuk tangan di ruang sidang yang sunyi, atau dentuman pintu gerbang yang digedor oleh amarah jutaan rakyat? Pilihan ada di tangan Anda, setidaknya untuk saat ini.(*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *