SAAT Rabiul Awwal beranjak. Gegap gempita menyambut maulid menyeruak, menggema di seluruh denyut nadi umat Islam. Di surau-surau kecil, masjid, majlis taklim, organisasi bahkan negara.
Maulid adalah cara kolektif manusia mengenang kembali Nabi dalam keseluruhan hidupnya untuk menjadi tauladan.
Namun, menjelang bulan kelahiran Nabi nan-agung. Negeri ini tiba-tiba membara. Seperti yang digambarkan dalam puisi esainya Deny JA. Hari itu, 28 Agustus 2025, Langit Jakarta menggantung rendah. Awan hitam seperti ikut berduka.
Jalan-jalan di kota Jakarta penuh riuh motor yang berdesakan. Di tengah kekacauan aksi massa, sebuah Barakuda aparat melaju.Tubuh Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tak pernah ada dalam daftar orator, tiba-tiba terjerembab di bawah roda baja. Ia bukan aktivis mahasiswa, bukan tokoh organisasi. Ia hanya seorang pencari nafkah yang sedang melintas.
Sesaat, berbagai ponsel merekam segalanya. Rekaman berdurasi 24 detik hingga 3 menit menembus batas ruang dan waktu. Dalam hitungan menit, video Affan beredar di WhatsApp keluarga, Instagram story anak sekolah, Twitter timeline para aktivis, hingga Tik-Tok yang selalu lapar drama.
Sebelum aparat sempat menggelar konferensi pers, sebelum media resmi menyiapkan redaksi, layar kecil di genggaman rakyat sudah lebih dahulu mengumumkan “ada rakyat kecil yang tergilas (digilas).”
Dan seperti bara tersapu angin, amarah pun menyebar. Dari Makassar, Yogyakarta, Bandung, hingga Medan, massa tumpah ke jalan. Solidaritas Affan berubah menjadi solidaritas nasional. Affan yang bukan siapa-siapa, menjelma jadi simbol perlawanan.
***
Nabi Muhammad adalah manusia pilihan. Dalam syair Majdudin al-Baghdadi menyebutkan ”Keagungannya bahkan telah tercipta sebelum Adam, dan nama-namanya tertulis di singgasana Tuhan sebelum ditulis dalam kitab-kitab suci”. Mencintai Nabi menjadi telaga bagi umat Islam yang tiada habis untuk kita reguk.
Kelahiran beliau, yang kita peringati bukan sekadar perayaan tahunan. Lebih dari itu, Maulid adalah pengingat akan akhlak mulia, ajaran cinta damai, dan persatuan yang beliau bawa.
Nabi Muhammad Saw adalah teladan sempurna, sosok yang mengajarkan kita tentang kasih sayang, toleransi, dan pentingnya menjaga keutuhan umat. Ajaran yang beliau sampaikan bukanlah untuk memecah belah, melainkan untuk merajut tali persaudaraan.
Mencermati gejolak yang terjadi. Berdasarkan data, sejak 25 Agustus 2025, tercatat 107 aksi protes di 32 provinsi di Indonesia. Mereka was-was atas kesulitan ekonomi, susahnya mencari kerja, menurunnya daya beli.
Mereka juga marah atas hedonisme pejabat, kecewa dengan kenaikan pajak, dan tersentak oleh tragedi pengemudi ojek online yang terlindas (dilindas) kendaraan aparat. Bagi saya, selama protes dilakukan dengan damai, ia bagian dari civil society yang sehat.
Tetapi ketika bom molotov dilemparkan, ketika gedung DPRD dibakar, rumah pejabat dijarah, dan rakyat kecil mati sia-sia, itu bukan lagi civil society. Itu adalah kerja kaum perusuh.
Sebagai basis analisis, maka tulisan ini mencoba membuat kerangka dengan meminjam konsep 4 elemen dari Fahd Pahdevi, yang kemudian saya kembangkan melalui “spirit kenabian” untuk menulis ulang narasi bangsa ke depan. Inilah struktur narasi yang yang memandu kita untuk segera berbenah. Menyusun ulang lagi dengan spirit ahlak Rasullah sebagai panduan :
Kerangka 1 – Kronologis Peristiwa
Dasarnya pada urutan, alur waktu yang menunjukkan fase-fase kejadian. Mengapa demonstrasi terjadi? Mengapa masyarakat marah? Apa penyebab utama meledaknya kekecewaan publik? Dari sanalah persoalan ini harus kita urai, selesaikan dan benahi.
Rakyat mulai gerah pada kebijakan yang lebih condong pada kepentingan pejabat dan keluarganya yang bergaya hidup mewah, di tengah kegelisahan ekonomi,daya beli runtuh, harga pangan melonjak,pengangguran tinggi, gelombang PHK di mana-mana.
Ekonomi memukul lansung perut rakyat. Dan perut lapar selalu lebih jujur dari pada jargon politik. Dan pemicu adalah percikan sesaat yang membuat bara menyala.
Di sini titik koreksinya. Bukan hanya pada efeknya, contohnya pada anggota DPR joget, gaya hidup mewah, etika publik, dan lainnya. Masuk ke inti persoalannya: ini masalah keadilan dan kepatutan yang hilang.
Momentum maulid mengisahkan pada kita. Adalah Muhammad seorang yang bersahaja, yang tidur beralaskan tikar kasar, mengganjal perutnya dengan batu karena menahan lapar. Muhammad yang pergi berperang dan pernah kalah. Nabi yatim piatu yang besar dalam asuhan kakek dan pamannya. Bahkan penduduk Mekkah pun keheranan bagaimana orang seperti ini mengklaim diri sebagai Nabi. Padahal dia jalan di pasar dan makan sebagaimana orang lainnya.
Inilah kesederhanaan hidup dari pemimpin. Dan inilah yang menjadi kunci keteladanan dan ketaatan rakyat terhadap seorang pemimpin yakni memiliki gaya hidup yang sangat biasa seperti gaya hidup rakyat yang dipimpinnya.
Kerangka 2 – Karakter atau Tokoh
Terdapat krisis ketokohan. Harus diakui bahwa dihari-hari ini kita kekurangan tokoh bangsa. Lihatlah saat massa marah dan demo besar terjadi, siapa tokoh yang kata-katanya didengar dan kehadirannya bisa “dipercaya” publik? Susah sekali kita menemukannya. Banyak tokoh dan pejabat bicara, buat pernyataan, bikin video, datang melayat, tapi sedikit yang “terasa” dan “menggetarkan” batin publik.
Bahkan sejumlah tokoh ormas keagamaan yang diundang ke Hambalang pun, suaranya nyaris tak digubris oleh umat. Karena rakyat melihat tokoh agama bukan representasi dari umat, tapi adalah bagian dari corong pemerintah yang menjadi pilar penyokong para penguasa.
Melalui Maulid kita diingatkan kembali dengan kisah ketokohan Nabi Muhammad yang kata-katanya di dengar. Ini tercermin dari kisah saat peletakan Hajar Aswad. Saat itu, suku-suku Quraisy berselisih tentang siapa yang paling berhak meletakkan Hajar Aswad setelah renovasi Ka’bah.
Nabi Muhammad menawarkan solusi jenius dengan meminta kain lebar dibentangkan. Hajar Aswad diletakkan di atasnya, dan setiap suku memegang ujung kain untuk mengangkatnya bersama. Dengan cara ini, semua suku merasa berpartisipasi dan pertikaian terselesaikan secara damai, menunjukkan kemampuan Nabi sebagai penengah yang mampu menyatukan masyarakat.
Peristiwa ini menunjukkan kecermatan Nabi dalam menyelesaikan konflik dengan cara yang adil dan damai. Keputusan beliau tidak hanya mencegah perpecahan di antara suku-suku Quraisy tetapi juga memperlihatkan kepemimpinan beliau yang luar biasa bahkan sebelum diangkat sebagai Rasul.
Kisah peletakan Hajar Aswad oleh Nabi Muhammad menjadi bukti bahwa kebijaksanaan dan keadilan adalah kunci dalam menyelesaikan perselisihan, dan nilai-nilai tersebut tetap relevan hingga saat ini. Kita butuh karakter-karakter seperti ini di tengah bangsa.
Kerangka 3 – Konteks Ruang dan Waktu
Dalam situasi genting seperti saat ini, negara hanya punya sedikit waktu. Negara harus membuat keputusan dan pernyataan yang tepat konteks sekaligus tepat waktu. Jangan sampai terlambat, tapi juga tidak tergesa-gesa.
Rakyat menunggu pernyataan dan keputusan itu. Rakyat harus merasa terlibat dalam “cerita” ini. Gunakan tempat-tempat yang punya nilai sakral: istana negara, gedung bersejarah, tempat ibadah, dan lainnya.
Satu hal yang perlu dicermati, aksi unjuk rasa ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Ada baiknya para pejabat di hampir semua level, satu komando. Agar bisa memberi penjelasan serta memberi apa yang disebut “metafisika kehadiran” yang menyebar ke seluruh tanah air. Di sini media penting, tapi “hadir” di tengah konteks ruang dan waktu jauh lebih penting.
Pada titik inilah, kecerdasan Nabi Muhammad dalam mengambil keputusan yang tercermin dalam kemampuannya untuk: musyawarah dengan sahabat, mempertimbangkan berbagai sudut pandang seperti pada Perang Uhud, memiliki kebijaksanaan dalam menyelesaikan konflik (misalnya penempatan Hajar Aswad), memanfaatkan strategi yang cermat seperti dalam Perjanjian Hudaibiyah dan Ekspedisi Nakhlah, serta mengutamakan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan pribadi.
Secara lebih detil, keteladanan kecerdasan Nabi dalam mengambil keputusan denggan memperimbangkan konteks ruang dan waktu adalah seperti memberikan solusi yang tepat atas berbagai permasalahan, baik dalam urusan pribadi, sosial, maupun politik.
Sebagai pemimpin, Nabi Saw senantiasa memprioritaskan kebutuhan dan kepentingan umatnya di atas kepentingan pribadinya, menciptakan kondisi yang kondusif bagi kemajuan bersama.
Kerangka 4 – Konsekuensi Logis
Kita mengenal apa yang disebut sebagai “hukum besi narasi”. Semua peristiwa menanti konsekuensi sebab-akibat. Maka segala tuntutan dari rakyat harus ada jawabannya, tak boleh mengambang di udara. Tidak boleh jadi pidato kosong.
Rakyat hari ini menunggu pernyataan logis pemimpin. Pernyataan logis itu, yang bisa diterima pikiran dan perasaan publik, akan punya efek magis yang meredakan amarah serta kekecewaan.
Di level teknis dan dalam benak publik, konsekuensi logis ini adalah urutan sebab akibat. Setelah rusuh, lalu apa? Setelah gedung DPRD dibakar, lalu apa? Setelah rumah anggota dewan dijarah, lalu apa? Setelah ketum-ketum parpol dikumpulkan, lalu apa? Setelah TNI-Polri diberi mandat supaya bertindak lebih tegas, lalu apa?
Dan spirit maulid mengingatkan kita pada rentetan konsekwensi logis dari kisah Nabi dalam memberi solusi. Seperti beliau mengajarkan seorang pemuda Ansar untuk bekerja mencari nafkah dengan kapak dan kayu bakar, sebagai jalan keluar atas kemiskinan dan meminta-minta, menegosiasikan keringanan jumlah shalat dari 50 menjadi 5 waktu, untuk kemaslahatan umat setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Serta mendakwahkan prinsip keadilan, kemurahan hati, dan kesetaraan, termasuk menghormati hak individu, sebagai solusi untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai.
****
Momentum Maulid Nabi memberi ruang kepada kita untuk kembali merefleksikan akhlak Nabi Muhammad Saw. Ia adalah profil pemimpin yang mementingkan dialog, mengutamakan musyawarah dan menjauhkan dari pertikaian.
Saat beliau hijrah ke Madinah, langkah awal yang dilakukan adalah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Beliau tidak hanya menyatukan dua kelompok yang berbeda, tetapi juga merangkul semua golongan, termasuk non-Muslim, dalam sebuah perjanjian damai yang dikenal sebagai Piagam Madinah.
Inilah fakta yang memperlihatkan ajaran yang dibawah Nabi mengajarkan toleransi dan hidup saling mengasihi. Maulid pada tataran idealnya adalah sebagai “reminder” bagi seluruh manusia terutama umat Islam untuk mencontohi prilaku Nabi, dalam menghadapi perbedaan pendapat. Kita diajarkan untuk tetap menjaga adab dan etika.
Menyampaikan aspirasi adalah hal yang mulia, tetapi cara penyampaiannya juga harus mulia. Kekerasan, perusakan, dan kebencian bukanlah ajaran Nabi. Tindakan-tindakan tersebut justru akan memadamkan api persaudaraan dan menciptakan jurang pemisah di antara kita.
Karena itu, Maulid Nabi seharusnya menjadi momentum untuk meredam emosi dan kembali ke jalan damai. Mari jadikan Maulid sebagai sarana untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah, persaudaraan sesama Muslim dan persaudaraan sesama anak bangsa.
Akhirnya mengutip sang cendekiawan besar dari Pakistan Muhammad Iqbal. Saat Ia menulis “Muhammad adalah Mukadimah Bagi Alam Semesta”.
“Kau mencipta malam,
Aku mencipta lampu untuk meneranginya.”
” Kau membuat lempung
Darinya aku bikin cawan minuman.”
Dan seperti seorang ratu dalam film Snow White (Putri Salju) yang bertanya ke cermin ajaib siapa yang paling cantik?. Sejarah peradaban manusia pun bertanya-tanya siapakah yang paling rupawan?. Bahkan seorang filosof seperti Nietzsche pun menulis Thus Spoke Zarathustra yang menulis mengenai konsep ‘manusia unggul’ yang lebih dari lainnya.
Di sinilah keistimewaan seorang manusia bernama Muhammad. Ajaran yang dibawanya plus keteladanan etis yang diwariskannya merupakan kontribusi penting bagi peradaban semesta. Wallahu’alam.(*)