“Kita memiliki seorang ibu, dan ibu itu adalah wilayah kita, rumah bersama bagi semua masyarakat adat dan semua orang yang mendiami bumi” Maximilano Ferrer, sekertaris jendral koordinator Nasional masyarakat adat panama.
KADANG kita lupa dengan lingkungan hidup yang telah membesarkan kita di habitat sendiri, dan juga menjaga, merawat serta membesarkan tanpa balas budi, ia adalah habitat dengan nama Maluku Utara. Wilayah dengan luas 31.982 Km2 ini telah membesarkan dengan sumberdaya hutan serta bua-buahan yang ada. itulah kenapa setiap makhluk hidup menginginkan lingkungan hidup yang baik, layak, dan bersih, termasuk manusia. Saling berhubungan antara satu dengan yang lain.
Lingkungan hidup kerap dianggap hal yang tak penting bagi kesehatan serta kondisi makhluk hidup, padahal lingkungan juga dapat berpengaruh pada aktivitas manusia itu sendiri. Hal demikian juga harus di nikmati oleh hewan lainnya, serta masyarakat Indonesia yang di gadang-gadang masih belum tercapai yaitu “hak hidup di tanah sendiri dan kesejahteraan Masyarakat”. Kalimat ini selalu menjadi boomerang bagi siapa saja untuk berpidato di mimbar politik yang siap mencalonkan diri jadi Angota DPR, Bupati, Gubernur bahkan Presiden.
Perujuda hak atas tanah dan kesejahteraan mulai tergerus oleh ketidakpastian tak berujung di bawah mimbar demokrasi. Semua yang berbau kesejahteraan akan dijamin UUD begitupun masyarakat adat. yang sudah menempati hutan ribuan tahun bahkan negara belum ada masyarakat adat sudah ada. Hutan menjadi naungan bagi masyarakat disekitaran hutan dan selalu menjaga ekosistem hutan tetap terjaga dengan baik, sehingga secara ekologis dapat terselamatkan oleh mereka.
Bagi masyarakat adat, hutan adalah rahim kedua setelah ibu sebab itulah segala aktivitas mereka selalu terjaga dan terkonsentrasi secara utuh. Kehidupan masyarakat adat sering dikatakan klasik namun itulah yang menjadi ciri khas yang tak terpisahkan bagi mereka. Demikianlah yang dirasakan masyarakat adat Maluku Utara sebab hutan juga tempat mata pencarian bagi masyarakat adat untuk menghidupi keluarga kecil dengan membuka kebun, menanam tanaman seperti cabai, tomat, cengkih dan pala sembari melaksanakan tradisi yang mereka tekuni setiap klan.
Hal ini terus dilaksanakan setiap masyarakat untuk menjaga hutan tetap lestari. hutan sudah menjadi darah daging bagi masyarakat adat sebab keperluan yang ada telah terpenuhi bahkan Dalam No 23 Tahun 2009 Tentang PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Dari UU tersebut tersimpan keadilan yang menjadi pokok dalam pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dan sistimatis. Inilah kenapa hutan menjadi paru-paru dunia karena menyimpan oksigen yang tak bisa di hitung maupun dikalkulasi jumlahnya sebab dari sinilah manusia dapat terselamatkan oleh ekosistem hutan yang ada.
Dalam hal ini sebuah masyarakat adat selalu bergantung pada hutan dan itu telah di jelaskan pada PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.21/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 TENTANG HUTAN ADAT DAN HUTAN HAK. Pada pasal 1 ayat 4 menyebutkan bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Bahkan di perkuat oleh pasal 10 yang berbunyi: Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Secara de facto hutan adat sudah di sahkan oleh pemerintah sejak lama. Namun hari ini kepentingan dan kerakusan oligarki menjadikan hutan sebagai bahan investasi besar-besaran sehingga masyarakat di polarisasi serta di kuliti oleh kebohongan yang begitu dahsyat. Kegelisahan Masyarakat mulai berdatangan seperti di tagi hutan negara oleh IMF dan WORLD BANK.
Di sisi lain masyarakat adat menjadi gelisa dengan negara yang selalu mengecam dengan hak atas tanah serta PSN untuk kemajuan pembangunan di 2045. mereka tak sadari bahwa masyarakat lingkar tambang sudah cemas dan takut akan pertambangan yang terus bereksplorasi untuk keruk biji nikel. Padahal dampak dari pertambangan sudah berdatangan melewati nalar manusia. Mulai dari banjir meyeruplai sunami kerap menghunus seperti pedang zulfikar sayyidina Ali yang menebas segala tembok-tembok rumah warga.
Masyarakat Maluku Utara yang telah menerima kehancuran sumberdaya hutan, menjadi gundul tak tersisa. Bahkan bagi mereka yang menghalang-halangi pertambangan akan di kenakan sangsi bahkan di cebloskan dalam jeruji besi, contoh kasus yang terjadi hari ini adalah masyarakat adat maba sangaji Halmahera Timur. MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri Soasio Tidore menghukum sebelas masyarakat adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara, yang menolak aktivitas penambangan PT Position 5 bulan 8 hari penjara. Tempo.co. 16 Oktober 202.
Padahal mereka hanya melaksanakan ritual adat namun hukum dijalankan secara tergesa, penuh intimidasi, dan mengabaikan prinsip keadilan prosedural. Ketika pembela lingkungan dijadikan tersangka atas nama keadilan, kita menyaksikan negara yang menindak warganya sendiri atas nama hukum, miris melihat ini semua. Seharusnya pemerintah daerah maupun Pemerintah Provinsi Maluku Utara dapat menghadirkan jalan tengah untuk mengatasi segala kerusakan yang ada.
Seharusnya pemerintah Kabupaten dan Kota khususnya wilayah Maluku Utara, terutama di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah untuk membuat perda yang menjamin legalitas Masyarakat adat serta hutan adat secara utuh, sesuai dengan Undang-Undang 1945, sehingga menjadi patokan bagi masyarakat adat untuk menjalankan akitivitas mereka dengan baik, serta tak ada bentrokan yang berkepanjangan.(*)






