SETELAH MERENGKUH suka-duka kehidupan, kita butuh rehat sejenak ( _wuquf_) untuk membereskan segala perbekalan menapaki jalan pulang, karena Dia-lah asal dan tujuan kita. Gambaran hidup itu terjadi hari ini di Arafat, padang pengenalan tentang hakikat kedirian manusia.
Arafat merupakan stasiun penghabisan. Lalu manusia membereskan segala debu dosa yang menempel di jasad dan rohaninya dengan memohon agar segala perbuatan tak berkenannya selama hidup ini diampuni dan dengan balasan kenikmatan surgawi di dunia ini maupun dan di akhirat nanti, _rabbanâ âtinâ fi al-dun’ya hasanatan wa fi al-âkhirati hasanatan waqinâ ‘adzâba al-nâri_ (Qs. Al-Baqarah : 201).
Disinilah tempat tertinggi ( _al-a’râf_) dimana pengetahuan tentang hakikat segala keperiadaan ( _ma’rifat_) sebagai stasi terakhir jalan rohani para salik. Sang Nabi pun berujar, _al-hajju ‘arafat,_ haji itu sadar diri, siapa aku, untuk apa aku dan akan kemana aku? Pengenalan diri ( _’arafat_) selalu menjadi problem manusia.
Pandai menilai keburukan “di luar” dan lalai menilik kekurangan “di dalam” menjadi problem pribadi yang susah dientas. Ibarat pepatah, “kumang di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”, bahwa manusia selalu cerdas melihat kesalahan orang lain bahkan mengulitinya, sementara ia sendiri tak menyadari kebobrokan yang ada pada dirinya.
Pelajaran dari Arafat memberi kesadaran bahwa manusia pada dasarnya sama. Dua helai kain ihram yang membalut tubuh yang hina ini memangkas segala kemewahan duniawi saat setiap manusia terbujur kaku di liang lahat. Tak ada jabatan, kekayaan, keturunan dan ras di Arafat. Semuanya sama. Yang membedakannya hanyalah takwa. Arafat menjadi miniatur Mahsyar ketika manusia dikumpulkan dan ditakar tingkat ketakwaannya di hari kebangkitan.
Kesadaran tentang diri, tentang perbuatan dosa dan kedzholiman itu memaksa manusia pertama Adam dan Hawa menapaki puncak _rahmah_ di Arafat. Keduanya memohon kerahiman Tuhan, _rabbanâ dzhalamnâ anfusanâ wainlam taghfirlanâ watarhamnâ lanakûnannâ min al-khâsirîn_ (Qs. Al-A’raf : 23).
Bentuk kesadaran dan pengertian ( _masy’ar_) menuntut manusia melakukan perbaikan dengan memungut kerikil di Muzdalifah. Kerikil yang menjadi simbol perbekalan menghadapi tantangan kehidupan di masa depan.
Setelah itu para jama’ah berjalan menuju cinta ( _Mina_) dengan mencampakkan segala beban ( _jamarât_) bukan dengan kebencian tapi cinta. Sayidah Rabi’ah Al-‘Adawiyah, sang sufi wanita dari Basrah itu berujar, _“cintaku pada-Nya telah memenuhi seluruh kalbu, hingga tak ada lagi tempat untuk benci kepada siapa saja, termasuk kepada iblis sekalipun.”_
Mina adalah cinta. Kita mengambil langkah-langkah perlawanan menghadapi kebodohan, ketertinggalan, kejumudan dengan cinta. Kita bergerak mengasihi semua orang dengan cara-cara terbaik ( _jumrat al-ûlá_), penuh moderasi ( _jumrat al-wusthá_) dan siap menghadapi tantangan sesukar apapun ( _jumrat al-‘aqabah_ ).
Kita siap menapaki jalan pulang dalam keadaan saling merelakan ( _radhiyatan mardiyah_). Malaikat kematian tak dapat merenggut nyawa seorang salik, jika antara dia dan Tuhannya belum saling merelakan. Dari Ka’bah kita ke Arafat dan kembali ke Ka’bah melambangkan manusia harus kembali. Kita berasal dari-Nya dan (akan) kembali pada-Nya ( _Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râjiûn_).
Terdapat keyakinan bagi sebagian masyarakat Nusantara, bahwa perjalanan haji adalah perjalanan menuju kematian. Sebagian orang berharap kematian menjemputnya di Tanah Suci dalam keadaan (terkafani) dengan ihram (suci). Dia tak mau lagi kotor sepulang dari Arafat, maka kematian baginya di saat haji adalah idamannya.
Untuk sampai ke Arafat, kita perlu berikhtiar yang sungguh-sungguh ( _mujahadah_), _”Sesungguhnya Kami akan menunjukkan jalan Kami kepada orang-orang yang memperjuangkan hal-hal bermanfaat”_ (Qs. Al-Ankabût : 69).
Semoga amalan haji kita diterima ( _mabrûr_) dengan pahala surga, _al-hajju al-mabrûru laysa lahu jazâ’un illâ al-jannah_ (Nabi Muhammad S.a.w).
Ciputat, 27 Juni 2023.