PIKIRANPOST.COM– Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Wilter Maluku Utara (Malut) mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terkait kasus penyerobotan lahan milik petani di Desa Kulo Jaya, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng).
Ketua Wilter LSM GMBI Malut, Sadik Hamisi, mengatakan masalah penyerobotan lahan di Weda Desa Kulo Jaya dilakukan oleh PT. Tekindo Energi guna untuk kepentingan aktivitas pertambangan nikel.
Hal itu, jelas Sadik, sehubungan dengan hak masyarakat dalam menuntut keadilan pada proses peradilan. Dimana proses ini, kata Sadik, telah diawali oleh proses kegiatan gugatan perdata di Pengadilan Negeri (PN) Soa-sio, lalu dilanjutkan dengan Banding Kasasi, dan kemudian saat ini PK.
“Atas nama penerima kuasa dari masyarakat, kami telah menghadirkan pengacara kami dari Jakarta untuk melakukan lanjutan proses perkara Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) lewat Pengadilan Negeri (PN) Soa-sio. Sehingga kemarin kami melakukan pendaftaran,” bebernya kepada awak media, Sabtu (5/8).
Sebelumnya, kata Sadik, pihaknya mendampingi Petani dari awal proses mediasi ke perusahaan, baik lewat surat maupun pertemuan langsung dengan Direktur PT Tekindo Energi, Yones Tandean di Jakarta, tetapi yang bersangkutan menolak untuk mau menyelesaikan hak masyarakat.
Menurut Sadik, karena dipikir ini adalah hak rakyat, maka sebagai LSM pihaknya menjembatani lewat LSM GMBI Pusat yang berada di Kota Bandung bersama GMBI di Maluku Utara untuk mengajukan gugatan perdata.
“Allah, Tuhan yang memutuskan kebenaran hak-hak masyarakat yang dizalimi. Oleh karena itu mudah-mudahan dengan kedatangan tim hukum advokasi dari Jakarta menjadi bagian dari pengawalan proses kasus ini agar pengadilan betul-betul transparan dan jujur. Tidak berpihak kepada hal yang salah,” tandasnya.
Terpisah, Kuasa Hukum Kelompok Tani Citra Pribumi, Abu Bakar J Lamatapo S.H, mengatakan lahan seluas 540 hektar milik kelompok tani itu diperoleh atas dasar Surat Keterangan Kepemilikan Lahan (SKKL) dari Kepala Desa Kulo Jaya.
Ternyata belakangan hari PT. Tekindo Energi masuk dan melakukan kegiatan pertambangan tanpa memberikan ganti rugi kepada masyarakat (pemilik lahan). Hal itu, lantas menuai keberatan dan akhirnya ada gugatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat pemilik lahan pada tahun 2021 di PN Soa-sio.
“Gugatan itu ditolak karena pertimbangan hukum, salah satunya adalah bahwa perusahaan memiliki izin tambang kawasan dari Kementerian Kehutanan dan Bupati, tapi asama sekali tidak menyinggung soal ganti rugi, karena pertimbangannya bahwa para petani yang memiliki surat keterangan itu terbit belakangan dari pada terbitnya izin tambang,” jelasnya
Putusan PN Soa-sio, menyatakan lahan tersebut masuk pada kawasan hutan lindung dari Kementerian Kehutanan, sehingga lahan tersebut dianggap tidak bisa dimiliki secara perorangan.
Tapi, Abu mengungkap, ada fakta lain yang muncul dan itu menjadi nofum (bukti baru) dalam permohonan PK, yaitu hasil putusan peradilan pidana dan hasil lap forensik Polda Sulawesi Selatan terhadap SKKL
Dimana, dari 27 surat SKKL itu, terdapat 20 surat yang dinyatakan asli atau identik dengan tanda tangan Kepala Desa Kulo Jaya, Eka Hidayat. Sehingga hanya 7 surat yang dinyatakan tidak identik.
Kebenaran surat kepemilikan lahan itu, papar Abu, adalah sah dan memiliki kekuatan hukum, sehingga menjadi pertimbangan salah satu alat bukti baru yang diajukan. “Jadi demi hukum dan keadilan harus dipertimbangkan untuk 20 surat ini diberikan ganti rugi,” desaknya.
“Dimana mereka (petani) rata-rata menguasai 20 hektar. Sehingga ganti ruginya paling tinggi tinggi per orang Rp 14,7 miliar atau paling kecil Rp 7,2 juta. Jadi semua itu totalnya sekitar Rp 388 miliar,” pungkasnya.(*)
Penulis : Ihdal Umam
Editor : S. S Suhara