Reinterpretasi Hari Asyura: Peristiwa Sejarah dan Kearifan Universal

Oleh : Ibnu Furqan S.Hum

DALAM alur sejarah yang panjang, peradaban manusia selalu diwarnai dengan dialektika antara kemajuan dan kemerosotan. Demikian pula sejarah peradaban Islam.

Sebagai sebuah risalah, perjalanan historis Islam telah menggoreskan tinta emas kegemilangan sekaligus mencatat dengan pasti episode-episode kelam. Rekaman dua sisi perjalanan sejarah ini, tidak hanya tersimpan dalam karya-karya sejarawan, tetapi juga tersimpan dengan rapi dalam kitab suci dan kalam sabda Muhammad Saw.

Minggu 6 Juli 2024, bertepatan dengan 10 Muharram 1447 Hijriyah, sebagaimana diketahui, bahwa seluruh umat Islam tanpa terkecuali memperingati hari ini sebagai Hari Asyura, atau disebut juga dengan Lebaran Anak Yatim.

Dalam rentang sejarah, 10 Muharram seringkali mengalami polarisasi makna, seolah-olah hari ini hanyalah milik madzhab tertentu yang juga diperingati dengan satu cara tunggal: antara puasa sebagai tanda syukur, atau duka atas sebuah tragedi kemanusiaan.

Kita harus tekankan, bahwa pola pemahaman yang berbeda ini harusnya disikapi dengan bijak, sebab esensi Asyura adalah sebuah nilai yang telah ada sejak lama bahkan sebelum peristiwa berdarah itu terjadi.

Kita harus menyelami makna lautan Asyura ini dan melampaui ritual lahiriah dengan menjadikannya sebagai cermin agung bagi refleksi spritual. Akar kesucian Hari Asyura justru mendahului peristiwa Karbala.

Jauh sebelumnya, hari ini ditandai sebagai puncak dari kemenangan-kemenangan profetik. Mulai dari peristiwa diterimanya taubat nabi Adam a.s, keselamatan nabi Nuh a.s, dari banjir bandang, keselamatan nabi Ibrahim a.s, dari Api buatan Namrud, keluarnya nabi Yunus a.s, dari perut Ikan Nun setelah 40 hari di dalamnya.

Pembebasan nabi Yusuf a.s, dari penjara setelah difitnah, penyembuhan nabi Ayub a.s, dari penyakit kulitnya, turunnya Taurat dan juga riwayat yang paling masyhur adalah diselamatkannya nabi Musa a.s, dan Bani Israil dari kejaran Firaun, adalah di tanggal 10 Muharram. Kisah-kisah ini, adalah bukti kemenangan iman serta pembebasan atas tirani dan penindasan.

Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad Saw, saat berada di Madinah dan mendapati umat Yahudi berpuasa di hari itu, beliau menegaskan kepada mereka “kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”. Maka di hari itu beliaupun berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya dan juga seluruh umat Islam untuk berpuasa di hari Asyura. Inilah dasar pertama kenapa syariat Asyura itu dibuat, yaitu pernyataan simbol syukur, kita merayakan kemenangan Tuhan atas kebatilan. Dan puasa Asyura adalah ekspresi paling faktual untuk menggambarkan syukur tersebut.

Selain peristiwa kemenangan yang disebutkan di atas, sejarah membentangkan takdirnya yang paling dramatis di sebuah tempat, tepatnya 100 km, sebelah barat daya Baghdad, tempat itu bernama ‘Karbala’. Terbunuhnya Hussein bin Ali, cucu Rasulullah Saw, pada Hari Asyura bukanlah sekadar peristiwa politik.

Dari sudut pandang Tasawuf, Karbala adalah sebuah “Makanal-Tadhiyat” (Tempat Pengorbanan). Ia adalah ‘Altar’ dari sebuah pertunjukkan paling mendebarkan dalam sejarah, di mana nilai-nilai luhur dipertaruhkan.

Hussein adalah gambaran paling sempurna dari sebuah pengorbanan cinta. ia adalah seorang yang ‘Arif (orang bijak yang mengenal Allah) perlakuannya di medan Karbala adalah upaya mempertahankan prinsip. Ia sadar bahwa pilihannya bukan soal hidup atau mati, tetapi lebih dari itu, ia telah dikehendaki untuk memilih antara hidup di bawah tirani atau mati dengan kemuliaan menegakkan panji Islam.

Kisah Hussein, adalah cerita tentang seorang yang telah menjadi arquetipe dari Insan Kamil (Manusia Sempurna) tindakannya adalah manifestasi Tauhid. Pengorbanan yang tidak main-main keluarga, kenyamanan, dan bahkan nyawa semua itu karena kesempurnaan cintanya kepada Tuhan, membuatnya tidak lagi berkompromi dengan kebatilan bagaimanapun bentuknya. Dengan demikian, Hussein telah menunjukkan kepada kita, bahwa ada kehidupan yang lebih baik dari dunia ini, yaitu: Prinsip, Ketauhidan dan Cinta Ilahi.

Pada prinsipnya, nabi Musa a.s, dengan kemenangannya dari Fir’aun adalah kemenangan yang kasat mata, maka kemenangan Hussein adalah kemenangan secara batin. Pengorbanan yang ditonjolkan olehnya adalah warisan hidup yang menginspirasi seluruh manusia untuk tetap melawan tirani dan kezaliman, kemunafikan dan kebodohan serta penindasan yang menyengsarakan.

Oleh karena itulah, puasa Asyura sebagai bentuk syukur secara nyata semua prinsip kebenaran atas kebatilan. Dan refleksi duka Hussein, adalah contoh pengorbanan dalam menegakkan kebenaran. Itu artinya, duka bukanlah melumpuhkan, melainkan membangkitkan semangat dan kesadaran tentang sebuah prinsip Islam yang dijaga.

Kisah antara nabi Musa a.s, dan juga Hussein r.a, telah memberitahukan kepada kita, bahwa ‘Firaun’ dan ‘Yazid’ adalah ego, keserakahan, ketidakpedulian terhadap sesama, ambisi buta, atau bisa saja sifat-sifat tercela dalam diri kita. Lantas siapakah Musa dan Hussein pada diri ini?

Mereka, adalah nurani kita yang senantiasa berbisik tentang kebenaran di dalam kesunyian, kepedulian, pembelaan terhadap yang lemah dan semua sifat baik pada diri kita. Imam Shadiq menanggapi Asyura, adalah cermin diri yang paling kompleks dalam sebuah perkataan “Kullu yaumin ‘Asyura, wa kullu ardhin Karbala” (Setiap hari adalah Asyura, dan setiap jengkal tanah adalah Karbala). Inilah bagian penting dari tulisan ini, bahwa Asyura bukan hanya agenda rutinitas tahunan, tetapi panggilan pada setiap kita untuk mengintrospeksi diri secara mendalam.

Asyura juga menyerukan kepada kita untuk melakukan hijrah dari ‘Firaun’ dalam diri kita dan melakukan keberanian untuk bertempur di Medan Karbala batin setiap dari kita. Saya menyadari benar, bahwa Asyura adalah samudra kearifan, di atas samudera itu ada lintasan syukur yang amat besar, dan di kedalamannya ada pelajaran tentang pengorbanan cinta tertinggi kepada Tuhan serta di palung terdalamnya tersimpan rahasia dari nilai Ma’rifat.

Akhirnya, ‘Asyura’ merupakan benang merah yang menjadi penghubung dari pertunjukan besar sejarah umat manusia tentang perjuangan antara hak dan batil. Asyura juga pengingat abadi, bahwa kemenangan yang sebenarnya bukanlah akhir ketika di dunia, tetapi keikhlasan dan prinsip menegakkan kebenaran. Dengan begitu kita akan dikenang oleh sejarah dan dicatat sebagai kemuliaan di sisi Tuhan.(*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *