Preseden Buruk Penegakan Hukum dan Agenda Pemberantasan Korupsi

Oleh; Ramli Yusuf/ Akademisi IAIN Ternate

PUTUSAN Pengadilan Negeri Jakarta pusat terhadap kasus Tom Lembong 4,6 tahun bukan saja menimbulkan preseden buruk dalam proses penegakan hukum di Indonesia.

Tetapi juga benar-benar mencederai rasa keadilan, karena para mantan menteri era sebelum Tom Lembang telah mengambil kebijakan atau melakukan hal yang sama tidak pernah disentuh dan dinilai melanggar hukum.

Mengapa dimasa kepemimpinan beliau yang diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengimpor gula karena factor ketersedian secara nasional tidak dapat memenuhi permintaan konsumen. Bahkan kebijakan tersebut diambil atas perintah Presiden justru dikenai sanksi hukum.

Terlepas dari apakah keputusan hakim tersebut benar atau salah, diduga mengandung motif politik, dan terindikasi lebih bersifat tebang pilih atau bukan. Hanya Tuhan sajalah yang tahu apa yang ada dalam pikiran dan hati mereka sebagai penegak hukum.

Pada titik ini kata orang bijak yang mungkin perlu kita renungkan adalah, lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada memenjarakan satu orang yang tidak bersalah. Tafsir terhadap adegium ini dijabarkan sesuai azas In Dubio Proreo.

Mahkamah Agung biasanya menerapkan azas ini untuk memutuskan suatu perkara. Salah satu pertimbangan yang menyebutkan dalam putusan MA nomor 33 K/MIL/2009, apabila terjadi keragu- raguan oleh hakim apakah seorang terdakwah itu bersalah atau tidak, maka sebaiknya keputusan itu memberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwah.

Putusan pengadilan yang menimbulkan kontroversi dan perdebatan panjang tersebut, terutama dikalangan ahli dan praktisi hukum. Namun suka atau tidak suka kasus ini telah diputuskan berdasarkan keyakinan hakim dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga patut kita hormati.

Sekalipun sebagian besar public merasa tidak puas bahwa putusan yang menjerat Tom Lembong dianggap aneh karena dinilai tidak sesuai fakta-fakta hukum dalam persidangan. Tidak terbukti memperkaya diri, orang lain atau korporasi, tapi tetap di putuskan bersalah.

Pada hal kebijakan yang diambil ketika itu sudah sesuai prosedur dan pernah dilakukan oleh beberapa mantan Menteri pendahulu. Kalau ini kemudian dinilai oleh jaksa penuntut umum bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Atau dipandang sebagai bentuk perbuatan pidana, berarti para Menteri sebelumnya harus juga dipersoalkan secara hukum sehingga perkara ini tidak boleh mendapat perlakuan diskriminatif. Jadi azas equality before the law benar-benar harus ditegakan tanpa pilih kasih. Artinya semua orang siapapun dia tanpa memandang perbedaan status sosial patut memperoleh perlakuan yang sama didepan hukum.

Menurut Mantan Menkopolhukan Mahfud MD vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong adalah salah. Karena setelah mengikuti perkembangan proses persidangan secara transparan dan obyektif maka hukuman pidana yang diputuskan terhadap terdakwah Tom Lembong dinilai salah.

Bagaimana mungkin seorang hakim memutuskan perkara sebesar ini tanpa menemukan unsur perbuatan pidana (actus reus) dan niat jahat (mens rea). Mengapa hakim sangat berani menghukum seseorang tanpa mengetahui unsur niat jahat dan perbuatan melawan hukum. Mestinya harus divonis bebas karena dalil yang digunakan adalah geen straf zonder Schuld. Artinya tidak ada pemidanaan jika tidak ada kesalahan. (Kompas com. 22/7/2025)

Maka sangat sulit rasanya untuk menghindari spekulasi public bahwa vonis yang dijatuhkan ini lebih merupakan dagelan hukum bernuansa poltik. Dan bukan murni proses penegakan hukum bagi pencari keadilan.

Atau dengan kata lain keputusan hakim tersebut adalah bagian dari scenario besar dalam upaya melakukan kriminalisasi hukum untuk membungkam lawan-lawan yang dianggap kritis terhadap kekuasaan demi mengamankan kepentingan politik dinasti Sang Raja Jawa tahun 2029.

Terhadap keputusan tersebut mungkin kita coba dudukan dalam dua perpspektif. Pertama, aspek kebijakan, pemerintah punya kepentingan dalam mengelola dan menyelenggarakan layanan birokrasi untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.

Kemudian akibat dari kebijakan itu menimbulkan konsekwensi hukum seperti pada kasus Tom Lembong. Maka tidak akan ada orang yang bersedia menjadi pejabat public karena takut dijerat hukum. Akibatnya kegiatan pemerintahan bisa terganggu, walaupun kebijakan itu diambil sudah sesuai prosedur dan perintah pimpinan.

Kedua, perspektif pemberantasan korupsi. Presiden Prabowo menyatakan seruan atau perang melawan praktik korupsi dalam berbagai bentuk masih merupakan salah satu tantangan pembangunan nasional. Itulah sebabnya kebiasaan mark-up proyek, penyelundupan, dan manipulasi anggaran harus segera dihapuskan karena merugikan negara.

Langkah Presiden ini terus dilakukan dengan mendorong penerapan teknologi digital e-katalog dan e-government untuk memenimalisir budaya korupsi dalam lingkungan birokrasi..

Untuk melihat trend kerawanan terjadinya korupsi mengacu kepada Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan hasil survey BPS tahun 2023 menunjukan IPAK Indonesia masih berada pada kategori rendah. Dimana skor hanya 3,93 dari skala 0 s/d 5. Angka tersebut mengalami penurunan sebesar 0,01 point dibanding tahun 2022.

Data ini sekaligus mengindikasikan bahwa perilaku anti korupsi tidak mencapai target sebagaimna tertuang dalam RPJMN tahun 2023 yaitu; 4,09. Sejumlah indicator yang disurvey justru tercermin dari kekecewaan public terhadap presiden Jokowi karena gagal dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Di era Presiden Prabowo semangat pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda perioritas. Namun pada tataran implementasi belum sepenuhnya diikuti dengan aksi bersama oleh para pembantu di kabinet merah putih. Karena sebagian anggota kabinet juga sebenarnya mengalami nasib yang sama seperti Tom Lembong.

Hanya saja sementara belum mendapat giliran untuk diungkap kasus korupsinya. Publik percaya data kasus korupsi melibatkan pejabat negara masih cukup banyak tersimpan di institusi penegak hukum baik di kejaksaan, kepolisian dan KPK.

Semua itu tergantung keberanian Presiden, jika ingin benar-benar membersihkan pemerintahan dari praktik kejahatan korupsi. Kita juga harus menyadari bahwa korupsi di negeri ini sudah merupakan kejahatan luar biasa. Sehingga membutuhkan keberanian seorang Presiden harus mengambil tindakan luar biasa pula.

Bahkan kalau perlu memberlakukan hukuman mati bagi para pelaku supaya ada efek jerah. Sebab mereka juga pasti takut mati, atau paling tidak mendapat hukuman seumur hidup tanpa diberikan hak remisi. Masyarakat kita saat ini sudah pesimis dan mereka seperti sulit percaya lagi terhadap integritas lembaga peradilan. (*)

Penulis : HMS
Editor. : S.S.Suhara

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *