Merenungi Makna Kata di Atas KM Ukiraya

Oleh: Mohtar Umasugi

LAUT selalu punya cara sendiri untuk berbicara pada manusia. Setiap ombak yang menghantam lambung kapal, setiap desir angin yang menembus celah jendela, seakan mengandung pesan sunyi tentang kehidupan, perjalanan, dan makna kata. Di atas KM Ukiraya, dalam perjalanan menuju Sanana, saya kembali disadarkan bahwa laut bukan hanya ruang geografis yang memisahkan pulau-pulau, tetapi juga ruang reflektif yang mempertemukan makna, kenangan, dan renungan tentang kata.

Sebelum berangkat, sebenarnya saya telah diundang oleh Ketua ORWIL ICMI untuk hadir dalam acara bedah buku “Atas Nama Kata”, sebuah forum yang semestinya menjadi ruang dialog dan pertukaran gagasan tentang kekuatan kata dan nilai intelektual di baliknya. Namun, karena satu dan lain hal, saya tidak sempat menghadiri kegiatan tersebut. Ada panggilan tanggung jawab yang menuntut saya segera kembali ke Sanana. Di tengah perjalanan pulang itulah, di atas KM Ukiraya, refleksi ini justru tumbuh secara alami—seolah laut ingin menggantikan ruang diskusi yang saya lewatkan dengan ruang kontemplasi yang lebih dalam.

Perjalanan ini terasa berbeda. Bukan karena jaraknya yang jauh, tetapi karena suasana batin yang terbuka untuk membaca kembali arti kata—kata yang pernah saya tulis, saya dengar, dan saya ucapkan dalam perjalanan hidup dan intelektual saya. Laut yang luas menghadirkan keheningan yang justru penuh bunyi—bunyi batin yang mengajak merenungi apa arti menulis, berbicara, dan memahami sesama dalam lanskap kehidupan yang terus bergerak.

Menulis di atas kapal, di antara suara mesin dan gemuruh gelombang, membuat saya sadar bahwa kata bukan sekadar alat komunikasi, melainkan representasi dari pengalaman, emosi, dan pergulatan intelektual manusia. Kata bisa menenangkan, tapi juga bisa mengguncang. Ia bisa menjadi jembatan pemahaman, tapi juga dinding pemisah. Dalam konteks ini, laut menjadi metafora dari makna kata itu sendiri: dalam, luas, dan seringkali tak terduga.

Di atas KM Ukiraya, saya merenungi bahwa kata adalah perahu kecil yang mengantarkan pikiran menuju daratan makna. Namun, perahu itu tidak selalu stabil. Kadang goyah oleh gelombang kepentingan, kadang terombang-ambing oleh arus tafsir yang liar. Dalam dunia yang dipenuhi ujaran cepat dan dangkal, refleksi atas makna kata menjadi penting agar manusia tidak kehilangan arah dalam berbahasa dan berpikir.

Sebagai seorang yang hidup di tengah masyarakat yang kaya akan tutur dan simbol, saya merasa perlu mengembalikan kata pada hakikatnya—yakni sebagai alat pencerahan, bukan sekadar alat kepentingan. Kata harus hidup dari kejujuran batin, bukan dari kepura-puraan sosial. Ia harus menembus batas-batas formalitas dan menyentuh nurani, sebagaimana laut yang dalam diamnya menyimpan kehidupan yang luas dan penuh misteri.

Refleksi ini mungkin sederhana, tetapi di tengah hamparan laut, kesederhanaan justru menemukan kedalaman maknanya. Ombak tidak menulis, tetapi ia berbicara lewat geraknya. Angin tidak bersuara, tetapi ia menegaskan arah. Begitu pula kata—ia bukan hanya huruf yang dirangkai, melainkan gerak batin manusia yang ingin dimengerti.

Saya menutup catatan di atas kapal ini dengan satu kesadaran: bahwa menulis adalah pelayaran batin, dan setiap kata adalah ombak kecil yang membawa pesan tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan berlabuh. Maka, di atas KM Ukiraya, di antara langit biru dan laut yang memantulkan cahaya, saya menemukan kembali makna kata—sebagai refleksi dari laut yang tak pernah berhenti mengajarkan kita tentang kedalaman.(*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *