TEKSTUAL-KONTEKSTUAL PADA PENETAPAN SATU RAMADHAN

Oleh: Fahrul Abd. Muid/Penulis adalah Dosen ‘Ulumul Qur’an-Fakultas Ushuluddin IAIN Ternate

SEPERTINYA UMAT INDONESIA akan mengalami terjadinya silang perbedaan pendapat dalam hal penetapan 1 (satu) Ramadhan dan kemudian penetapan (satu) Syawwal pada pelaksanaan ibadah puasa dan idul fithri untuk tahun 2024, hal ini berangkat dari adanya ikhtilaf (perbedaan) pendapat dari para ‘Ulama dalam memahami Sabda Nabi Muhammad Saw tentang kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dan kewajiban ber-fithri (makan, tidak puasa) pada bulan Syawwal.

Salah satu Sabda Nabi Saw itu, antara lain, “janganlah kalian berpuasa, sehingga melihat hilal Ramadhan, dan janganlah kalian berfithri (makan) sehingga kalian melihat hilal syawwal. Jika kalin terhalang karena tidak dapat melihat hilal (bulan), maka perkirakanlah”. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dalam memahami Hadis ini, para ‘Ulama terbelah menjadi dua kelompok, yaitu, pertama, kelompok ‘Ulama yang memahami Hadis ini dengan metode tekstual (literal), dan kedua, kelompok ‘Ulama yang memahami Hadis ini dengan metode kontekstual. Pemahaman tekstual adalah memahami Hadis sesuai dengan teks literalnya-apa adanya.

Bagi ‘Ulama pengguna metode ini, bahwa kewajiban berpuasa Ramadhan atau berfithri (makan) pada 1 (satu) Syawwal harus berdasarkan dengan melihat hilal (bulan). Apabila hilal tidak dapat dilihat karena faktor cuaca, maka sebagaimana yang ditegaskan oleh Hadis Nabi yang lain, umat Islam harus menggenapkan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 (tiga puluh) hari.

Sabda Nabi Muhammad Saw, “apabila kalian terhalang tidak dapat melihat hilal, maka lengkaplah bulan Sya’ban menjadi 30 (tiga puluh) hari”. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah RA).
Sedangkan, ‘Ulama pengguna metode kontekstual memahami Hadis al-maqshud, bukan dari teks atau literalnya, melainkan dari sisi semangat dan pesan yang terkandung didalam Hadis tersebut.

Maka, menurut pemahaman ini kewajiban berpuasa terjadi jika satu Ramadhan telah datang dan kewajiban berfithri (makan) terjadi jika satu Syawwal telah datang. Pada zaman klasik, umat Islam untuk mengetahui kedatangan satu Ramadhan atau satu Syawwal dilakukan dengan metode ru’yatul hilal (melihat bulan) dengan menggunakan mata telanjang tanpa alat teknologi. Dan, kini dengan perhitungan ilmu falakiyyah, orang dapat mengetahui kapan datangnya satu Ramadhan atau satu Syawwal.

Umat Islam sekarang tidak hanya dengan mengandalkan untuk melihat bulan (ru’yatul hilal) untuk mengetahui datangnya satu Ramadhan atau satu Syawwal yang kemudian metode ini dikenal dengan istilah ru’yatul hilal dengan metode melihat bulan dengan menggunakan alat teknologi untuk menetapkan satu Ramadhan dan dengan menggunakan metode hisab (perhitungan) dengan ilmu pengetahuan yang kemudian ditetapkan dalam hitungan kalender untuk menetapkan satu Ramadhan.

Dalam pemahaman teks-teks agama dengan pendekatan tekstual dan kontekstual ini, sebenarnya telah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw. Ketika pulang dari perang Ahzab misalnya, Nabi Saw mendapat wahyu dari Allah melalui Jibril, agar memerintahkan para sahabat untuk segera berangkat berdakwah ke perkampungan Bani Quraidhah.

Kemudian Nabi Saw bersabda kepada sahabatnya, “jangan ada salah satu dari kalian yang melaksanakan shalat Ashar kecuali kalian telah sampai di Bani Quraidhah”. Maka, sahabat yang mampu berjalan dengan cepat akan segera sampai ke tujuan dan bisa melaksanakan shalat ashar di Bani Quraidhah, sementara sahabat yang tidak cepat berjalan karena faktor usia akan tidak cepat sampai di tempat tujuan dan pastinya akan terlambat untuk melaksanakan shalat ashar di Bani Quraidhah.

Di sinilah terjadinya silang pendapat diantara dua sahabat dalam menyikapi perintah Nabi Saw, yang pertama berpendapat, bahwa ia harus melaksanakan shalat ashar di perkampungan Bani Quraidhah, sebab Nabi Saw memerintahkan demikian, sedangkan sahabat yang lain berpendapat, bahwa yang dimaksudkan oleh Nabi Saw tak lain supaya para sahabat cepat sampai di Bani Quraidhah, bukan meninggalkan shalat ashar pada waktunya dan menggantinya setiba di Bani Quraidhah.

Jika, diperhatikan peristiwa di atas bahwa sahabat pertama memahami perintah Nabi Saw itu secara tektsual (literal), sedangkan sahabat kedua memahaminya secara kontekstual. Maka kedua sahabat itu tidak dapat dipertemukan pemahamannya, karena masing-masing mempertahankan argumentasinya.

Akhirnya, sahabat pertama tetap saja akan melaksanakan shalat ashar ketika sudah sampai di perkampungan di Bani Quraidhah walaupun telah masuk waktu maghrib, sedangkan sahabat yang kedua tetap saja menjalankan shalat ashar pada waktunya sebelum sampai di perkampungan Bani Quraidhah.

Maka, setibanya di perkampungan Bani Quraidhah, mereka dengan penuh semangat dan segera melaporkan hal itu kepada Nabi Muhammad Saw. Ternyata setelah mendengarkan laporan itu, Nabi Muhammad Saw sama sekali tidak menyalahkan salah satu pihak dari sahabatnya itu, baik yang tekstual maupun yang kontekstual.

Sehingga sikap Nabi Saw menunjukkan kepada kita hari ini, bahwa kedua metode yang telah digunakan oleh sahabatnya ini dapat dipakai atau digunakan untuk memahami teks-teks agama dan keduanya mengandung kebenaran dalam pandangan Nabi Muhammad Saw.

Dengan demikian, metode tekstual dan kontekstual merupakan upaya dalam memahami teks-teks agama dan seringkali disebut dengan ijtjihad. Dan, yang namanya wilayah ijtihadiyyah ini mengandung kebenaran yang masih bersifat Dzanni (dugaan kuat, tidak yakin) atau relatif.

Kendati demikian, ijtihad yang benar akan mendapatkan dua pahala, sedangkan ijtihad yang salah akan mendapatkan satu pahala, sehingga benar dan salah dalam wilayah ijtihadiyyah itu tetap saja mendapatkan pahala.

Jika produk-produk ijthad tidak melibatkan masyarakat secara luas sehingga tidak menimbulkan potensi konflik internal umat, maka masyarakat diperbolehkan menggunakan hasil ijtihadnya, seperti kasus shalat ashar di perkampungan Bani Quraidhah tadi.

Tapi, apabila produk ijtihad itu melibatkan person secara Nasional seperti halnya penetapan satu Ramadhan dan satu Syawwal dengan metode ru’yatul hilal (melihat bulan), maka upaya untuk menjaga kesatuan internal umat Islam Indonesia dari kemungkinan terjadinya keterpecahan umat merupakan sebuah keniscayaan yang harus diprioritaskan daripada membela mati-matian produk ijtihad yang kebenarannya masih relatif itu.

Maka, upaya untuk menjaga kesatuan internal umat Islam Indonesia merupakan kewajiban yang sangat ditegaskan dalam al-Qur’an, “berpegang teguhlah kalian pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” Untuk itu, maka perintah ayat ini lebih wajib dikedepankan daripada membela sebuah ijtihad yang kebenarannya relatif.

Oleh karena itu, sungguh aneh kawan jika ada orang yang membela mati-matian produk ijtihadnya yang pasti mengandung kesalahan dan kebenaran yang lagi-lagi relatif itu, tapi justru anda meninggalkan perintah al-Qur’an yang telah pasti itu kawan tentang wajibnya anda menjaga kesatuan internal umat Islam itu sendiri.

Maka, kedua metode yang digunakan oleh umat Islam Indonesia hari ini dalam menetapkan satu Ramadhan sama-sama mengandung kebenaran yang tidak perlu dipertentangkan karena hal ini adalah wilayah Ijtihadiyyah dalam memahami teks-teks agama. Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu ‘alam bishshawab.(*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *