TAUHID SOSIAL-Catatan Akhir Ramadan

Oleh: Abd. Rauf Wajo/ Pengajar Ekonomi Islam di IAIN Ternate

SEBUAH AGAMA DAPAT HIDUP, jika sebanding dengan
kematangan jiwa para pemeluknya.”
(Ibn Taymiyyah)

Juni 1998, cendikiawan muslim M. Amien Rais menorehkan karya bertajuk “Tauhid Sosial; Formula Menggempur Kesenjangan”, sebuah gagasan kritis yang lahir dari kegelisahan akademiknya terhadap fenomena kesenjangan sosial akibat ketimpangan ekonomi, baik secara global maupun domestik.

Atas nalar kritisnya, Amien Rais menawarkan formula penyelesaian kesenjangan sosial ini dengan berbasis pada tauhid. Tauhid menurutnya sebagai formula untuk mewujudkan kehidupan yang adil dan etis. Tauhid tidak sekadar keyakinan tentang nilai yang abstrak, melainkan penting untuk dimanifestasikan dalam pergaulan dan realitas sosial yang lebih kongkrit. (M. Amien Rais,1998: 108).

Tulisan ini tidak bermaksud mereview jalan pikiran Amien Rais, melainkan menangkap makna terdalam dari tauhid sebagai arkanul-iman yang paling pokok dalam ajaran Islam tersebut untuk menoropong fenomena sosial umat Islam jelang akhir ramadhan 1445 H saat ini.

Mengapa Harus Tauhid?
Tauhid secara etimologis berasal dari kata “wahhadah, yuwahhidu, tauhidan” yang berarti mengesakan atau menyatukan. Tauhid sebagai suatu kredo umat muslim, menegaskan bahwa Allah SWT menjadi satu-satunya sesembahan yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad SAW adalah pembawa risalah kenabian yang haq. Ikrar tentang keesaan Tuhan tersebut selanjutnya terpatri dalam iman untuk dan termanifestasikan dalam praktik peribadatan.

Karena itu, dalam Islam, Iman saja tidak cukup untuk menyatakan diri seseorang sebagai hamba yang kaffah, melainkan perlu diwujudnyatakan dalam bentuk ibadah yang lebih kongkrit. Sementara ibadah sendiri dalam fiqih diklasifikasi menjadi dua bagian utama; yaitu ibadah mahdah yang berkait erat dengan aktivitas ritual yang sudah diatur mekanisme pelaksanaannya sejak masa kenabian hingga akhir zaman serta ibadah ghairu mahdah yang merupakan interaksi sosial yang selalu bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman dan jalan kehidupan manusia.

Dengan demikian, antara ritualitas ibadah dan hubungan sosial kemanusiaan menjadi jalan kehidupan (manhaj al-hayat) yang saling interkoneksi, dan tidak dapat dilepaspisahkan. Begitu pentingnya sinergitas antara kedua inertumen ibadah tersebut, maka dalam dalam al-Qur’an, perintah tentang iman (spiritual) dan amal sholeh (muamalah) disebutkan secara bersamaan sebanyak 16 kali serta disejajarkan balasannya oleh Allah SWT.

Ekuivalensi antara iman dan amal sholeh, secara seimbang menempatkan nilai Islam sebagai agen perubahan sosial (social change), dan karena itu, akan sulit kiranya terjadi sebuah perubahan, jika iman hanya disandarkan pada kesalehan vertikal tanpa dibarengi dengan kesalehan sosial (amal sholeh) yang lebih memihak pada persoalan kemanusian. (Esha:2008:16).

Bahkan ulama fiqih seperti as-Shidieqi menegaskan, ibadah ritual seperti sholat merupakan ibadah dayyani’y (ibadah yang jika tidak dilaksanakan tidak ada hak orang lain yang terambil), sebaliknya ibadah muamalah seperti zakat merupakan ibadah qadla’iy (ibadah yang jika tidak dilaksanakan, akan ada hak orang lain yang terambil). (Hasbi As Shidieqi, 2005:2-3)

Dengan demikian, tauhid sosial merupakan sebuah penegasan bahwa spirit dan nilai universal Islam harus diorientasikan untuk memberi solusi atas problem yang dihadapi masyarakat seperti penindasan, ketidakadilan, keterbelakangan, kesenjangan dan begitu seterusnya.

Tuntutan sosiologis dari praktek tauhid sosial (social thelogy) adalah menciptakan suatu struktur masyarakat yang berusaha keluar dari kungkungan problematika tersebut, serta mendorong peningkatan etos usaha yang tinggi agar mampu berdaya saing dalam dialektika dan tantangan kehidupan yang terus dinamis.

Tauhid Sosial di Akhir Ramadhan
Sudah menjadi kesepahaman bersama bahwa ibadah ramadhan adalah ritual sistemik yang tidak sakadar mewajibkan manusia beriman untuk berpuasa (Q.S.(2):183), melainkan dapat dimanfaatkan kemuliaanya untuk ibadah-ibadah lainnya seperti qiyamul lail, zikir, tadarus al-Qur’an, serta berderma melalui zakat, infak, dan sadaqah. Sebab, itu raihan posisi taqwa pada bulan ramadhan adalah dimensi spiritual yang terkait dengan tegaknya keadilan sosial, dan ekonomi dalam kehidupan kolektif manusia.

Dengan demikian, jika esensi puasa ditempatkan dalam ruang kesadaran kolektif umat manusia muslim, akan tumbuh kemandirian ekonomi, serta penghapusan kemiskinanan yang selama ini mendera sebagian besar umat muslim. Oleh karena itu, melalui komposisi ibadah ramadhan seperti ini, nilai ketauhidan Islam akan saling melengkapi antara rutinitas menahan lapar dan dahaga, dengan kepekaan terhadap kemaslahatan sebagai bagian yang urgen dalam esensi berpuasa.

Potret Ramadhan dan Manifestasi Tauhid Sosial

Esensi puasa di bulan ramadhan dengan demikian, ternyata belum sepenuhnya berkontribusi bagi kemaslahatan hidup banyak orang (sence of maslahah). Sebaliknya, rutinitas berpuasa yang telah dijalani setiap tahunnya, menyisakan suasana sosial yang cukup problematik.

Kemiskinan misalnya, masih sangat terasa oleh sebagian umat muslim selama menjalankan ibadah puasa. Secara demografis, umat Islam memang menjadi bagian terbesar dari jumlah penduduk. Namun, kekuatan ekonomi tidak berada pada pihak muslim. Justru tingginya angka demografi tersebut berdampak langsung pada peningkatan angka kemiskinan, dan kesenjangan bagi masyarakat muslim di Indonesia itu sendiri.

Pada sisi lain, perilaku sebagian muslim di bulan Ramadhan, menujukkan suatu cerminan yang masih jauh dari dimensi tauhid (sosial) yang melekat pada nilai puasa. Seperti adanya kecederungan pemborosan (israf) dalam memenyiapkan menu berbuka puasa dan sahur dalam jumlah yang banyak, namun yang dikonsumsi hanya sedikit dari yang tersedia (Q.S:(7):31).

Akhirnya, makanan dan minuman tersebut dibuang begitu saja di tempat sampah. Padahal, banyak di antara saudara sesama muslim yang membutuhkan bantuan makanan di bulan ramadhan. Selain mubazir, makanan yang terbuang tidak dapat diproses menjadi limbah, karena telah mengandung zat-zat yang mencemari lingkungan. Sikap demikian dalam al-Qur’an disebutkan sebagai tindakan “fasaad” yang mencederai nilai ketauhidan sosial sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya (Q.S.(30):41).

Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa di bulan suci ini, ditemukan umat muslim yang menjadi peminta dengan menadah tangan atas dalih kemiskinan. Mereka menjadikan ramadhan sebagai sarana pundi-pundi ekonomi, karena dianggap berpotensi meraih pendapatan dari kedermawanan orang lainnya. Perilaku seperti ini, menegaskan betapa rendahnya etos usaha umat muslim untuk memiliki kemandirian ekonomi.

Padahal, salah satu nilai etika dan moralitas Islam yang terkandung dalam ibadah ramadhan yang relevan dengan dengan kehidupan umat Islam adalah kerja keras. Buya Syafi’i adalah salah satu ulama yang mengkritisi fenomena seperti ini. Menurutnya Islam adalah agama yang pro kemiskinan, tetapi dalam waktu yang sama sangat anti dengan kemiskinan. Orang miskin memang harus dibela secara sungguh-sungguh, tetapi pembelaan itu jangan sesekali bertujuan melanggengkan status kemiskinan mereka agar tetap bergantung pada pihak yang kaya. (Maarif:2017:VIII).

Lalu apa yang harus dilakukan?

Deskripsi nilai ketauhidan sosial dan potret realitas bulan ramadhan di atas, maka pentingnya memformulasikan konsep dakwah ramadhan. Pertama, doktrin normatif tentang kewajiban berpuasa serta ritualitas ibadah didalamnya, perlu disandingkan juga dengan doktrin sosial tentang pentingnya memiliki sikap kedermawanan untuk membantu sesama.

Sebab, Islam mengajarkan agar harta kekayaan “tidak hanya sekadar beredar pada orang-orang kaya dari kamu” (Q.S.(59):7). Jangan sampai ayat ini sekadar diktum wahyu yang sering terlantar dalam sejarah umat sepanjang masa. Bahwa ramadhan perlu menjadi momentum untuk membentuk umat yang beriman secara sadar dan bijaksana, bukan iman ritualistik yang tidak berdampak sosial. Iman ritualistik lebih tertarik pada bentuk lahir dan simbol-simbol religius, tetapi hampir tidak peduli pada substansi ajaran yang berkaitan dengan transformasi sosial. (Maarif:2017:ix).

Kedua, umat Islam harus didoktrin untuk memiliki etos kerja tinggi. Berbagai program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah akan menuai hambatan, manakalah kemiskinan dianggap faktor kultural yang diwariskan untuk diterima begitu saja. Inilah sebabnya, para pemikir muslim dunia seperti Muhamad Iqbal (India) menegaskan bahwa “kafir yang aktif lebih baik dari pada muslim yang suka tidur”. (Harahap:199:124).

Bahkan Nabi SAW sendiri menyatakan “Kadal faqru an yakuuna kufran” (keadaan “faqru”/miskin cenderung membuat orang menjadi kufur (keliru memilih jalan)”. Oleh karenanya, etos kerja harusnya menjasi aspek penting dalam dakwah ramadhan sebagai solusi mengatasi kesenjangan dan kemiskinan.

Pesan puasa ramadhan yang mendorong umat Islam untuk bekerja keras, paling tidak ditemukan pada bait doa di akhir sholat fardhu, maupun sunnah yang diucapkan berulang-ulang dalam ungkapan “wazuqni” (berilah aku rejeki), mengandung arti agar seorang muslim mempunyai semangat dan etos kerja tinggi, untuk mencari rejeki yang telah disediakan Allah SWT di muka bumi ini.

Sebab, Allah SWT memberi garansi pada manusia muslim yang dabbah, yang bergerak, yang aktif dalam mencari rejeki. (Q.S (11):6). Ketiga; lembaga-lembaga filontropy yang bergerak sebagai pengumpul dana Zakat, infaq, dan shadaqah serta waqaf, lebih serius untuk mendistribusikan pendanaan produktif serta pembinaan usaha umat muslim secara berkelanjutan, disamping pentingnya penguatan kapasitas sumber daya insani agar umat lebih profesional dalam mengembangkan usahanya. Diharapkan melalui gerakan tersebut, akan tumbuh umat Islam yang produktif dan mandiri sebagai pilar ekonomi keummatan.

Dengan begitu, manifestasi tauhid sosial di bulan ramadhan, akan menghantarkan orang beriman kepada predikat ketaqwaan, dan menjamin terbentuknya sikap kesadaran kolektif akan pentingnya keseimbangan dimensi spiritualitas, dan sosial kemanusiaan. Semoga bermanfaat, wallahu a’lam bisshawab. (*)

Penulis : HMS
Editor : S.S.Suhara

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *