PERAN PUBLIK RELATIONS DALAM MEMBENTUK OPINI PUBLIK

JUM’AT (4/7/2024) SORE, puluhan kendaraan roda dua dari arah timur menuju ke Barat Ternate berhenti tepat di Traffic Light di sisi kanan eks kantor wali kota Ternate. Di Traffic Light tersebut, tepat di sisi kiri kantor Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ternate, ada sebuah baliho berukuran sedang berdiri kokoh di bawah pohon trembesi dengan kata-kata promosi produk yang memantik publik.

Sontak, puluhan pasang mata sore itu melototi baliho tersebut hingga rona merah traffic light berganti menjadi hijau, dan para pengendara berhamburan menuju arah barat, selatan, maupun utara kota Ternate.

Baliho tersebut memang sekilas jika disimak kata-katanya cukup simple, yakni menyampaikan informasi perihal sebuah toko baru yang bakal menjual produk dengan harga terjangkau untuk semua kalangan. Dari publikasi tersebut, selang dua hari kemudian, informasi menderas di media sosial, bahwa para ibu-ibu berjubel dan membelanjakan alat-alat dapur di toko tersebut.

Padahal, alat dapur yang dijual pada toko itu, sama seperti pada sejumlah toko lainnya dengan harga yang hampir sama persis, hanya saja tidak terpublikasi, sehingga warga menganggap bahwa [hanya] toko tersebutlah yang menawarkan barang dengan harga terjangkau.

Hal ini dalam perspektif ilmu pemasaran dikenal dengan istilah Positioning – Diferentiation – Brand (PDB), yaitu trik menyampaikan informasi semenarik mungkin agar dapat menggaet perhatian dari target konsumen.

Berbeda dengan publikasi yang dilakukan oleh toko penjualan alat dapur itu, sebelumnya ada sebuah Distro, tepatnya di wilayah Ternate Tengah, melakukan hal yang sama; membanting harga busana remaja, begitupun ada salah satu toko yang [menghipnotis] kaum ibu dan remaja putri di Ternate, yakni mendiskon kan harga sendal setara tarif parkiran kendaraan roda dua.

Fenomena promosi produk di atas, mengingatkan saya pada kegiatan workshop jurnalistik tahun 2016 silam di ibu kota,Jakarta, dan diajak oleh salah seorang kawan yang juga redaktur ATNV untuk berkunjung ke kantor stasion Televisi ANTV di Kawasan Rasuna Epicentrum, Jakarta Selatan, untuk berdiskusi perihal prospek kerja media pada era digital.

Sang kawan tersebut, kemudian memaparkan panjang lebar soal peran media membentuk opini publik, serta para public relations harus memanfaatkan media sosial untuk menyasarkan publik dengan informasi-informasi yang menguntungkan sebuah perusahan, lembaga/institusi pendidikan, maupun meng-counter informasi negatif yang menyodok perusahan, lembaga/institusi pendidikan.

Apa yang disampaikan sang kawan ketika itu, kini nyata terjadi, saat maraknya penggunaan teknologi komunikasi terutama telepon seluler, membuat manusia memiliki rasa ketergantungan yang tinggi terhadap beragam platform media sosial. Sehingga, setiap saat informasi-informasi yang digulirkan, secepat kilat menderas dan menyasar semua kalangan, serta cepat dikonsumsi dan menciptakan opini publik; baik negatif maupun positif.

Lantas apa korelasinya penggunaan telepon seluler dengan orang yang menjalani pekerjaan sebagai public relations di setiap perusahan, kantor pemerintah dan lembaga pendidikan?
Meski pekerjaan sebagai public relations lebih bersentuhan dengan media; televisi, media cetak dan media online.

Tapi, pada hakikatnya adalah soal menyampaikan informasi-informasi perusahan, kantor dan lembaga pendidikan kepada khalayak umum, tentu telepon seluler sebagai sarana utama yang selalu dimanfaatkan.

Sebab, telepon seluler, selain sebagai sarana komunikasi, juga dapat mengakses platform digital untuk mempublikasi dan mempromosikan kegiatan, maupun program-program baru untuk memantik perhatian publik, demi mencitrakan perusahan serta lembaga pendidikan atau institusi.

Karena, dengan media, maupun platform digital, informasi-informasi tersebut dengan mudah menjangkau publik. Selain itu, seseorang yang menjalani profesi sebagai public relations, bukan hanya bertugas menyebar informasi, melainkan yang terpenting dari tugasnya adalah menjaga hubungan baik dengan media.

Lantaran, jika seorang public relations memandang bahwa efektifnya penggunaan platform media sosial sebagai sarana publikasi, lantas ia tidak lagi membutuhkan media sebagai partner lembaga pendidikan atau kantor, praktis ia bakal menemui hambatan tatkala media mengabaikan informasi-informasi penting yang ia sampaikan dan membutuhkan peran media untuk menyampaikan ke publik.

Untuk itu, menjalani profesi sebagai public relations seperti digambarkan Williams F. Arens yang disitir Stevanny Dian Kartika, yaitu seorang public relations harus memiliki manajemen yang rapih dan memfokuskan diri pada membangun/mengembangkan relasi, serta komunikasi yang dilakukan individu maupun organisasi terhadap publik, guna menciptakan hubungan saling menguntungkan. (Stevanny, 2009: 3).

Dari pandangan ini, tidak bisa dinafikan bahwa untuk meningkatkan pencitraan yang baik sebuah perusahan, lembaga/institusi pendidikan, seseorang sebagai public relations tidak bisa mengabaikan peran media, terlebih pada aspek manajemen relasi dan menjaga komunikasi.

Kita tentu kerap kali tersentak dengan informasi-informasi negatif yang dipublikasi media untuk menyasar perusahan, lembaga/institusi pendidikan, karena seseorang yang berprofesi sebagai public relations sering mengabaikan peran media, atau mengkerdilkan serta membatasi ruang gerak media dalam mengakses informasi perusahan, lembaga/institusi pendidikan.

Hal inilah yang kemudian memantik reaksi negatif dan berujung pada penciptaan opini publik yang negatif. Sehingga, jangan heran ketika empati dan simpati berganti menjadi sentimen negatif dan merugikan perusahaan, lembaga dan institusi pendidikan melalui pemberitaan pada media.

Untuk itu, seperti ditegaskan Stevanny Dian Kartika dengan mengutip pandangan Stanley J Baran, bahwa para public relations harus bisa memelihara hubungan baik dengan profesional media, dan mendapatkan kepercayaan media, (Stevanny, 2009: 5).

Langkah ini menurut penulis, agar media tetap menaruh perhatian dalam menciptakan opini publik yang menguntungkan perusahaan, lembaga/institusi pendidikan, karena media memiliki kekuatan siginifikan untuk menimbulkan citra positif maupun negatif.

Selain memelihara hubungan baik, di sisi lain, seseorang yang menjalani profesi sebagai public relations memiliki tugas paling esensial dalam membangun media relations adalah menciptakan pengetahuan dan pemahaman. Lantaran, sebagai public relations bukan hanya menguasai prinsip kehumasan yang baik, melainkan menyampaikan informasi secara jelas, karena wartawan setiap saat membutuhkan informasi untuk disampaikan kepada publik.

Jika informasi dari seorang public relations mengalir dengan baik, praktis berdampak positif terhadap citra perusahaan, lembaga dan institusi pendidikan. Karena, media atau pers senantiasa menyampaikan informasi ke public, harus memenuhi kriteria dasar dalam fungsi utama pers, seperti informasi harus aktual, akurat, faktual, menarik atau penting, benar, lengkap-utuh, jelas-jernih, jujur, berimbang, relevan, bermanfaat dan etis.

Selain media sebagai mitra utama dalam mengalirkan informasi ke publik, dalam era kecanggihan teknologi saat ini, platform digital dipandang sangat ideal dalam mempromosikan, atau mempublikasi kegiatan dan memperkenalkan program-program keunggulan sebuah perusahaan, lembaga dan institusi pendidikan. Seperti dilakukan toko yang menjual peralatan dapur serta Distro busana remaja di atas.

Jadi, selain media atau pers dijadikan sebagai mitra untuk menciptakan opini publik, jika ditunjang dengan platform media sosial, praktis setiap perusahan, institusi atau lembaga pendidikan meraih keuntungan yang berlipat.

Sebab, sebagai seorang public relations, harus dengan jeli menyusun skema komunikasi yang baik, yakni harus dapat membedakan informasi seperti apa yang harus dipublikasikan melalui media, dan informasi apa yang patut di deraskan via platform media sosial agar mendapat reaksi cepat dari public, seperti dilakukan tokoh alat dapur dan distro kostum remaja di atas.

Untuk itu, di era kecanggihan teknologi saat ini, menjalani profesi sebagai public relations, selain memahami gaya komunikasi, dengan menjadi juru bicara yang baik, tapi satu hal penting yang harus dimiliki oleh para public relations yakni harus bisa menulis.

Mengapa skill menulis dituntut harus dimiliki oleh seorang public relations? Karena selain menyampaikan informasi kepada media, di era kecanggihan teknologi saat ini, setiap orang kapan saja dan di mana saja, kerap kali membangun opini negatif melalui akun-akun anonim untuk menyerang perusahan, lembaga dan institusi pendidikan.

Maka, dengan skill menulis yang dimiliki para public relation, diharapkan mengantisipasi opini negatif dengan trik defensive dan meng-counter informasi, untuk meyakinkan public, agar informasi yang kadung menjadi opini negatif kembali tercitrakan positif.

Selain itu, untuk menyasar platform media sosial sebagai sarana mengedukasi dan mempromosi program atau kegiatan, dewasa ini tidak dapat dinafikan bahwa visual menjadi kekuatan utama dalam merayu opini publik. Sebab, fungsi bahasa dalam promosi di platform digital adalah merepresentasikan, sementara visual memiliki fungsi yang jauh lebih besar daripada bahasa.

Mengapa demikian? Karena visual, selain memiliki pesan denotatif, di sisi lain dengan pesan konotatif yang terkandung dalam visual dengan mudah dipahami, sehingga cepat dihubungkan dengan realitas. Bisa dibayangkan, jika promosi yang dilakukan oleh tokoh alat dapur dan distro kostum remaja tersebut hanya dengan narasi, tanpa didukung dengan visual, pasti masyarakat abai terhadap informasi tersebut.

Dan melalui visual-lah, mampu mengerek popularitas seorang tokoh atau dapat [membunuh] karakter seorang publik figur, karena mengacu pada kekuatan pesan denotatif dan konotatif tersebut, sehingga terkait kepentingan promosi, visual sangat tepat untuk dimanfaatkan. (*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *