MENGGUGAT ANOMALI KEBIJAKAN PT DAN KONTROVERSI LULUSAN SALAH KAMAR

Oleh: Ramli Yusuf/Akademisi IAIN Ternate

MANTAN MENTERI PENDIDIKAN dan kebudayaan Nadim Makarim pernah mensinyalir salah satu hasil studi menyatakan bahwa lulusan kita di perguruan tinggi (PT) hanya 20% saja yang memenuhi syarat kebutuhan pasar kerja sesuai bidang keahlian. Sedangkan 80% lainnya justru tidak competable dengan permintaan dunia industry.

Studi ini ternyata membuktikan lulusan kita kebanyakan salah kamar ketika masuk di pasar kerja. Sebenarnya anomaly system pendidikan kita belum sepenuhnya mampu memutuskan mata rantai warisan budaya masa lalu. Dulu proses pendidikan formal tidak terlalu memperdulikan soal kualifikasi latar belakang pendidikan dan profesionalisme kerja. Kesempatan ini memungkin semua orang bisa melaksanakan proses pendidikan sepanjang mereka mampu mengajar.

Tanpa memperhatikan apakah sang guru itu dibekali dengan kompetensi pedagogic, personal, social, dan professional atau tidak Karena itu, sekolah yang kekurangan guru pada mata pelajaran tertentu dapat menerima guru lain meski tidak memiliki pendidikan profesi keguruan. Untuk mengantisipasi tuntutan tersebut, lalu pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan tentang program pendidikan Akta IV.

Program ini diselenggarakan dilingkungan Kementerian Agama, dulu masih disebut Departemen Agama. Dijumlah PTKIN diberikan izin untuk mengelolanya. Termasuk Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ternate (STAIN), sebelum berubah nomenklatur menjadi IAIN. Kebijakan pemerintah ini bertujuan memberikan kesempatan kepada lulusan program studi non keguruan agar dapat mengikuti penyelenggaraan perkuliahan untuk memperoleh Akta IV.

Mereka yang lulus dari program tersebut diakui dan dapat menggunakan ijazah Akta IV sebagai syarat pengangkatan PNS sekaligus diterima sebagai guru sesuai kebutuhan bidang studi. Namun program Akta IV tampak berjalan sementara dan tidak lama kemudian ditutup. Sehingga kebijakan ini terkesan dan dinilai hanya bersifat tambal sulam, kalau ada masalah baru dicari solusi pemecahan supaya bisa teratasi. Pada hal pemerintah sudah tahu bahwa problem kebutuhan guru jauh lebih banyak ketimbang ketersediaan produk lulusan yang diangkat cukup terbatas karena alasan factor anggaran.

Dampak negative dari kebijakan program Akta IV telah menimbulkan korban terhadap puluhan ribu calon guru terpaksa harus menguburkan mimpi dalam-dalam untuk diangkat sebagai PNS. Rupanya undang-undang no 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, serta peraturan pemerintah no 74 tentang guru, merupakan sumber keruetan masalah. Dan ternyata benar-benar tidak berpihak pada nasib calong guru berijazah Akta IV. Terkecuali guru yang memenuhi standar kualifikasi jenjang pendidikan S1/D IV. Mereka sangat beruntung menjadi PNS dan atau PPPK.

Sebab guru jugalah yang akan menjadi tumbal atau korban akibat kelinci percobaan suatu kebijakan. Mestinya pemerintah harus melakukan evaluasi secara cermat dan mendalam terlebih dahulu guna mengetahui plus-minus setiap program pendidikan yang telah dilaksanakan sebelum mengambil keputusan. Belajar dari pengalaman pahit akibat gonta ganti kebijakan tersebut, kemudian belakangan dinilai oleh pemerintah sendiri tidak memiliki dasar hukum yang jelas jangan lagi terus terulang.

Disisi lain keterbatasan anggaran juga sangat mempengaruhi factor ketersediaan guru. Paling tidak pengangkatan guru diharapkan dapat memenuhi standar kebutuhan minimum disetiap sekolah. Langkah tersebut sekaligus merupakan upaya menghilangkan atau memperbaiki citra guru yang sering dipopulerkan dengan istilah tidak ada rotan, akar pun pun jadi. Apalagi dalam situasi emergensi dibutuhkan respon cepat, terutama di daerah terisolir (3T) yang dalam berbagai aspek pembangunan masih sulit memperoleh akses informasi.Hal ini terjadi disebabkan kita kekurangan sumberdaya guru yang benar-benar memenuhi kualitas dan standar kelayakan.

Menghadapi keadaan seperti ini terkadang kita terpaksa harus berani mengambil kebijakan sekalipun penuh resiko. Apapun alasannya kesulitan guru harus dapat teratasi dan siswa tidak menjadi korban. Sebab kalau tidak kita akan mengalami apa yang disebut loss generation karena kesempatan belajar anak didik membentuk generasi cerdas justru terganggu. Akibat kita dianggap gagal memanfaatkan waktu sehingga kehilangan momentum untuk melakukan akselerasi dalam membangun peradaban bangsa.

Imbas dari tumpang tindih kebijakan ini secara nasional juga terlihat sangat jelas dalam pengelolaan pendidikan khususnya di lingkungan PTKIN. Dan berdampak luas terhadap kebutuhan pasar kerja didunia industry. Realitas di lapangan menunjukan bahwa kebanyakan disejumlah program studi pendidikan tinggi keagamaan menghasilkan lulusan yang hingga saat masih mengalami kesulitan mencari pekerjaan karena tidak tersedia kebutuhan di sektor formal pemerintah. Sangat disayangkan begitu banyak lulusan yang membludak di pasar kerja, tapi permintaannya terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali.

Salah satu contoh kasus adalah lulusan program studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI). Mereka setiap tahun mengikuti seleksi penerimaan CPNS tidak dapat diterima terutama di lingkungan Kementerian Agama RI. Alasan penolakan tersebut karena quota atau formasi pengangkatan khusus untuk lulusan MPI tidak tersedia.

Kalau kita bicara secara jujur dan obyektif, sebenarnya akar masalahnya terdapat di hulu yakni pemerintah selaku pemegang otoritas kebijakan. Kenapa perlakuan kebijakan itu tidak menyeluruh, sehingga terkesan sangat diskriminatif. Pada hal semua pengelolaan program studi itu memperoleh dasar legalitas melalui izin operasional yang dikeluarkan sendiri oleh pemerintah. Jika demikian dimana posisioning pemerintah menerapkan prinsip akuntabilitas public untuk menyelesaikan lulusan yang begitu banyak menganggur akibat korban kebijakan yang tidak adil. Bukan hanya lulusan program studi MPI saja.

Mungkin disejumlah program studi lain juga mengalami nasib yang sama seperti lulusan program studi Pendidikan anak Usia Dini (PIAUD). Cuma alasannya saja yang berbeda barangkali factor keterbatasan kebutuhan penerimaan karena terkait dengan soal anggaran.
Namun kita harus sadar, pro kontra kebijakan apapun bentuknya juga percuma, Bahkan tidak ada artinya kalau tidak mampu menyelesaikan setiap permasalahan.

Termasuk para lulusan program studi yang hingga saat ini belum tahu kapan nasib mereka akan berubah dan berhenti menyandang predikat sebagai penganggur intelektual. Berbagai pertemuan telah dilakukan melalui forum dekan fakultas tarbiyah se Indonesia untuk merespon dan membahas hal ini. Tetapi kenyataannya perjuangan mereka itu kelihatan belum berhasil menyakinkan pemerintah.

Termasuk lembaga Asosiasi profesi Dosen Manajemen Pendidikan Islam se Indonesia juga sudah turut terlibat membicarakan dan menyampaikan kepada pemangku kepentingan. Lagi-lagi jawabannya baru bersifat janji-janji yang belum diketahui pasti kapan realisasinya.

Sementara perguruan tinggi sendiri juga selama ini ikut memafhumkan keadaan tersebut dan terkesan membiarkan kebijakan yang cenderung kontra produktif dengan fakta emperis. Karena dianggap tidak mampu mengangkat derajat bagi para alumni untuk diberikan kesempatan dan hak yang sama memperoleh pekerjaan sebagai PNS. Meskipun kita mendisain profil lulusan MPI dengan sejumlah kompetensi yang diandalkan baik sebagai tenaga arsiparis, pegawai administrasi, asisten konsultan pendidikan, entrepreneur pendidikan, dan manajer professional.

Tetapi semua ini tak akan berarti apa-apa karena pada akhirnya lulusan kita tidak digunakan oleh pemerintah. Kenyataan inilah yang membuat para alumni harus terpaksa mengambil jalan pintas untuk bekerja disektor swasta daripada menjadi pengangguran. Sebagian dari mereka beralih profesi menjadi guru honor di sekolah tertentu, tukang ojek, karyawan indomart, dan perusahan tambang.

Kita juga perlu menyadari, mungkin system pengelolaan program studi di perguruan tinggi belum terlalu kuat membangun aksesibilitas pasar sebagai pengguna lulusan. Apalagi bicara tentang pasar kerja menyangkut permintaan dan penawaran (supply and demand), sehingga harus benar-benar dijaga kepercayaannya. Jangan sampai kita gagal menyiapkan lulusan yang tidak sesuai dengan permintaan konsumen.

Karena itu desain produk lulusan kita dipastikan memilik keunggulan karakteristik kompetensi professional dan keterampilan manajerial yang mumpuni. Ini merupakan modal utama yang punya nilai jual dengan daya saing yang lebih kompetitif supaya mudah menguasai segmentasi pasar kerja didunia industri.

Dengan demikian kita harapkan ketergantungan lulusan kepada pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja sebagai PNS secara berangsur akan menurun.(*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *