TENTANG FATHERLESS SOCIETY

0leh : Rosita Alting/ Dosen IAIN Ternate/Ketua Muslimat NU Maluku Utara

“Tanggal 29 Juni dicanangkan Hari Keluarga Nasional. Gunanya kita diberi ruang untuk melihat kembali isu-isu yang krusial tentang institusi tertua di dunia ini”- (Ratna Megawangi)

 

SEORANG laki-laki, telah setahun lebih menyandang status Ayah. Namun tak pernah menikmati mengurus keluarga kecil. Menggendong anak, mengganti popok, menyanyikan anak di ayunan. Dia harus meninggalkan bayi itu. Berangkat tugas ke luar negeri. Pada saat usia dua minggu. Kini bayi itu berusia setahun lebih. Dan betapa banyak hal yang berubah.

Saat balik dari tugas, dirinya agak “nerveus” kalau-kalau sang bayinya tak bisa neberimanya. Seorang kawan membisikan kalimat “Kamu hanya butuh seminggu untuk berkenalan”

Saat tiba rumah. Ibunya nampak lebih kurus ketimbang terakhir ia tinggalkan. Terhadap mereka, ada banyak sedih yang terlukiskan dihatinya. Mungkin ia belum bisa menjadi ayah yang baik, yang bisa mengisi hari-hari mereka dengan bahagia. Ada sesal tertanam, mengapa harus membiarkan mereka menjalani hari tanpa kehadiran seorang Ayah.

Ketika bayi mungil itu melihat dirinya. Ia menangis sekeras-kerasnya. Bahkan ketika ingin digendong iya menolaknya. Ia histeris dan menangis. Mungkin ia sedang ingin protes karena tak mendampingi hari-harinya karena ditinggal begitu lama. Baginya tangisan bayi itu mengiris-ngiris hati yang sudah merasa bersalah. Apa daya garis hidup memaksanya untuk melaksnakan tugas.

Kisah ini bisa jadi adalah fenomena gunung es, yang mungkin di lapisan bawah keluarga-keluarga banyak terjadi. Inilah yang dalam istilah William J Goode dalam sosiologi keluarga sebagai “fatherless Society”.

****

“Fatherless society” merujuk pada fenomena di mana kehadiran sosok ayah menjadi semakin langka dalam kehidupan banyak anak. Ini bukan hanya soal ayah yang secara fisik tidak hadir. Tapi juga ketidakhadiran emosional, yang meninggalkan “ruang kosong” dalam pembentukan karakter, kepercayaan diri, dan kesehatan mental anak-anak.

Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu negara dalam kategori “ fatherless Society” atau negara yang kekurangan Ayah. Ini ditandai dengan gejala dari masyarakatnya. Dimana minimnya peran, dan keterlibatan figur ayah secara signifikan dalam dalam kehiduapan seorang anak di rumah.

Faktor penyebabnya tidak tunggal. Tapi jika ditelisik, ada sistem “patrilineal” yang kental di Indonesia. Cukup mendukung perkembangan Indonesia menjadi “fatherless Society.” Posisi ayah yang harus selalu diutamakan. Karena dinilai telah berjuang dan lelah mencari nafkah sehingga tak perlu dibebani lagi soal anak.

Bahkan tidak jarang. Dulu, sewaktu kecil kita mendengar ucapan ibu atau nenek kita “ Jangan ganggu Ayah Nak ! Ayah lagi capek, karena kerja.Kasiha !” atau
“Biar kakekmu istirahat” setelah seharian kerja”

Padahal terkadang ayah hanya memiliki waktu sebentar di rumah dibandingkan seorang ibu untuk mempunyai pengalaman berkualitas bersama anak.

Hasil riset yang dilakukan Dotti Sani (2019) di Journal of Marriage menunjukkan waktu yang dihabiskan anak bersama ayah lebih sedikit dibandingkan bersama ibu di beberapa negara.

Di Amerika Serikat. Para ibu rata-rata menghabiskan waktu untuk mengurus anaknya selama 104 menit per-hari. Sedangkan ayah hanya 59 menit per-hari. Prancis memiliki perbedaan waktu yang lebih buruk, yakni 106 menit per-hari untuk ibu berbanding 29 menit per-hari untuk ayah.

Pola serupa pun terjadi di negara-negara Nordik, seperti Denmark dan Norwegia, yang umumnya punya rapor baik soal kesetaraan gender dalam masyarakatnya. Meski begitu, Dotti Sani menemukan waktu yang dihabiskan anak bersama ayah mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya. Bahkan sejumlah negara mencapai 100 menit per-hari.

Indonesia sendiri juga mengalami gejala yang serupa. Saya belum mendapatkan data statistik yang lebih detil. Tapi indikator utama adalah, ada 20 kota di Indonesia yang dijuluki sebagai “Fatherless Country,” kota kehilangan Ayah. Dimana sejumlah kelurga di kota-kota tersebut, karena faktor industrialisai menyebabkan, sang ayah minim punya waktu untuk anak.

Bagaimana dengan kondisi “Fatherless” pada keluarga-keluarga di Maluku Utara. Saya tidak tahu apakah pernah ada studi untuk itu. Tapi jika belum maka lewat “Hargasnas” ini. Perlu ada pemetaan bukan hanya fatherless, tapi juga motherless atau inventaris sejumlah masalah keluarga lainnya, untuk upaya “treatment”.

Apa dampak kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak? Muncullah apa yang disebut para sosiolog sebagai “father hungry”-lapar pada sosok ayah. Yaitu, kerusakan psikologis yang diderita anak-anak dikarenakan tidak dekat dengan ayahnya.

Kondisi “father hungry” ini. Dapat berakibat pada rendahnya harga diri anak, anak tumbuh dengan kondisi psikologis yang tidak matang, kekanak-kanakan (childish), tidak mandiri. Kesulitan menetapkan identitas seksual, cenderung feminin atau hypermasculin. Kesulitan belajar, tidak tegas. Bagi anak perempuan, tanpa model peran ayah. Saat dewasa, sulit menentukan pasangan yang tepat untuknya. Hingga bisa salah memilih pria yang layak.

Tidak hanya kuantitas. Kualitas waktu yang dihabiskan anak dan ayah pun perlu diperhatikan. Misalnya, bagaimana sikap ayah dalam menghabiskan waktu bersama anak, lalu bagaimana ayah menunjukkan kasih sayang, kepedulian, dan sikap suportif pada anak. Dalam artikel di jurnal “Family” mengungkapkan aspek psikologis dan emosional dalam keterlibatan ayah berdampak lebih besar pada tumbuh-kembang anak. Terutama kognisi dan kondisi kesehatan mental anak.

****

Melalui “Hargasnas” ini muncul pertanya. Apa peran negara? Menurut saya diskursus tentang negara hadir ditengah keluarga tentu akan memantik perdebatan. Tetapi diluar itu, negara tetap harus punya desain utuh penuh, dan holistik mengenai keluarga ideal.

Dulu, jaman Orde Baru, kita mengenal istilah “keluarga berencana”. Frasa yang bagus, namun kemudian direduksi menjadi alat kontarsepsi. Secara epistemologis merupakan cara negara hadir dalam mendesain institusi penopang utama negara ini.

Pasca reformasi, diskursus ini tidak sehangat jaman Orde Baru. Bahkan katanya, institusi yang mengurusi ideologi keluarga pun, bisa dikatakan mati suri. Perbincangan keluarga sesekali muncul dalam terma-terma yang miris. Seperti Keluarga Sejahtera I, Keluarga Sejahtera II, Program Keluarga Harapan (PKH), dan sebagainya. Semua istilah itu hanya penghalusan dalam kelompok miskin dan butuh didampingi atau dibantu.

Dalam mengatasi problematika “fatherless society” . Sebelum semuanya terlambat, ada banyak langkah yang bisa dipertimbangkan oleh para pihak, terutama pemerintah. Dalam pandangan saya, ada dua pendekatan, kultur dan struktur.

Fatherless society bukan sekadar statistik. Ia adalah krisis senyap yang menggerogoti masa depan kita. Kesadaran, kolaborasi, dan komitmen dari semua pihak menjadi kunci untuk menyelamatkan generasi mendatang dari kehilangan yang lebih dalam.

Mengatasi “fatherless society” membutuhkan pendekatan yang menyeluruh. Bukan hanya menyalahkan individu, tetapi mencari solusi struktural melalui kebijakan publik yang mendukung ketahanan keluarga, memperbaiki akses pendidikan bagi laki-laki muda, serta membangun budaya yang kembali menghargai pentingnya kehadiran ayah dalam keluarga.

Peran komunitas juga sangat penting. Masyarakat perlu membangun ruang-ruang di mana laki-laki diajarkan nilai tanggung jawab dan keterlibatan emosional. Figur laki-laki positif dalam komunitas seperti guru, pelatih, mentor juga bisa menjadi penyeimbang bagi anak-anak yang kehilangan sosok ayah mereka.

Pada akhirnya, membangun kembali peran ayah berarti membangun kembali fondasi masyarakat itu sendiri. Sebab keluarga yang kuat adalah batu bata bagi masyarakat yang kuat. Tanpa kehadiran ayah yang utuh, kita berisiko membiarkan generasi penerus tumbuh dalam kekosongan emosional yang menghancurkan dari dalam.

Secara struktur, upaya yang bisa dilakukan menurut hemat saya adalah : Pertama, optimalisasi institusi pemerintah seperti KUA untuk menjadi penopang utama terjaganya keluarga: KUA diberikan mandat tambahan, seperti melakukan pendampingan kepada calon pengantin yang akan melakukan ijab qabul, dengan menetapkan sejumlah persyaratan, misalnya telah mengambil kursus atau pelatihan keluarga selama minimal sekian jam.

Kedua, edukasi pernikahan. Sepengalaman saya, tidak ada pelajaran detil mengenai bagaimana sebuah keluarga diajarkan. Seakan keluarga adalah taken for granted. Akhirnya, ajaran-ajaran keluarga menelusup secara tidak sadar pada ruang-ruang belajar melalui frasa-frasa yang hagemonik-patrakhal, seperti “Bapak pergi bekerja; Ibu memasak didapur; Anak pergi sekolah.”

Lalu bagaimana mereka berinteraksi di rumah, di lingkungan, atau cerita bagaimana mereka mempersiapkan anaknya menikah dan akah berkeluarga, tidak terjadi. Padahal keluarga merentang makna yang panjang, yang bahkan eksistensinya sepanjang usia seseorang. Lalu, bagaimana kita bisa merelakan hal ini diserahkan secara alamiah?

Ketiga, pemerintah harus kembali memikirkan ulang desain politik, ekonomi, budaya, keluarga ini. Isu keluarga tidak melulu merupakan isu bantuan sosial. Sebab lebih jauh, persoaln keluarga harusnya menjadi kepentingan seluruh bangsa. Kita tidak bisa menyerahkan keluarga dididik oleh pasar yang tampil dalam televisi dan internet. Sebab para pihak ini hanya menjadikan keluarga sebagai ceruk tempat mereka menyedot keuntungan semata.

Akhirnya. Sebuah Peradaban ditegakkan oleh masyarakat. Masyarakat disokong komunitas. Fondasi komunitas adalah keluarga. Jika keluarga merapu, alamat peradaban pun mengalami kebangkrutan.

Kita tidak ingin institusi tertua di dunia yang bernama keluarga ini. Suatu saat akan hilang atau sirna. Sebagaimana yang digambarkan oleh Aldous Huxley dalam novel futuristiknya “Brave New Word” atau dalam film fiksi-ilmiah “Logan’s Run. Semoga (*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *