DUGAAN praktik diskriminasi terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) bernama Yofani Bandari di lingkungan pemerintahan daerah menuai sorotan tajam dari kalangan praktisi hukum. Perlakuan berbeda antar-ASN dinilai sebagai bentuk penyimpangan serius dalam tata kelola birokrasi dan pelanggaran prinsip negara hukum.
Sementara itu, tiga oknum ASN lainnya memiliki kasus (Tipikor) yang sama seperti MH, M.SK dan R.JM. Hal ini menunjukkan adanya pengecualian terhadap yofani bandari. Jika ingin membersihkan pelaku korupsi dalam birokrasi Pemerintahan, semua harus diperlakukan sama.
Praktisi Hukum Tamhid H.Idris S.H menilai, apa yang dialami Yofani Bandari bukan sekadar persoalan administratif, melainkan ada dugaan indikasi kuat patologi birokrasi dan maladministrasi sistemik. Ia menegaskan bahwa birokrasi seharusnya berdiri netral dan profesional, bukan dijadikan alat kepentingan kekuasaan atau politik tertentu.
“Ketika ada ASN yang diperlakukan istimewa dan dilindungi, sementara ASN lain yang hak-haknya dilanggar justru dibiarkan tanpa kepastian hukum, maka ini adalah bentuk diskriminasi nyata. Ini bukan lagi kesalahan individu, tetapi kegagalan sistem pemerintahan,” tegas, Tamhid (20/12/2025).
Menurutnya, praktik tebang pilih dalam birokrasi telah mencederai asas keadilan dan merusak marwah ASN sebagai pelayan publik. Padahal, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, khususnya Pasal 52 ayat (3), mengatur secara jelas kewajiban pemberhentian ASN yang telah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Ketika ketentuan ini tidak diterapkan secara adil dan konsisten, maka pemerintah daerah dinilai telah gagal menjalankan mandat hukum.
“Hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan. Jika aturan hanya diberlakukan kepada ASN tertentu dan diabaikan terhadap ASN lain, maka yang runtuh bukan hanya keadilan, tetapi juga kepercayaan publik,” ujarnya.
Praktisi hukum tersebut menegaskan, diskriminasi dalam birokrasi merupakan pelanggaran serius terhadap hak ASN dan berpotensi melahirkan preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan daerah. Ia mendesak agar dilakukan reformasi administrasi, penegakan hukum tanpa tebang pilih, serta pembenahan menyeluruh melalui transparansi dan akuntabilitas.
Sebagai pimpinan Daerah, Bupati dinilai memiliki tanggung jawab penuh untuk memastikan roda pemerintahan berjalan secara adil, bersih, dan taat hukum.
“ASN bukan alat politik. Jika kepala daerah membiarkan diskriminasi terjadi, maka itu sama saja dengan mengkhianati amanat konstitusi dan prinsip negara hukum,” pungkasnya.
Kasus dugaan diskriminasi terhadap Yofani Bandari ini diharapkan menjadi momentum evaluasi serius bagi pemerintah daerah agar keadilan tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar ditegakkan dalam praktik pemerintahan.
Sementara Kepala BKD Pulau Morotai Alfatah Sibua baru-baru mengatakan pemberhentian Yofani Bandari dari ASN sudah sesuai dengan mekanisme.(*)
Penulis : Moh
Editor. : S.S.Suhara






