Oleh: Moksen Sirfefa Penulis Adalah Pemerhati Politik Keumatan dan Kebangsaan
BLANTIKA POLITIK nasional sedang mengalami pergeseran peta koalisi. Partai Demokrat yang tadinya menjadi pendukung utama ‘koalisi perubahan’ yang digawangi bersama partai Nasdem dan PKS akhirnya hengkang karena “ditelikung” oleh Nasdem yang menunjuk Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar sebagai cawapres mendampingi Anies. Selaku pemerhati politik (umat) Islam, saya menilai keberadaan PKB dan PKS dalam satu perahu koalisi merupakan fenomena politik yang menarik untuk dibicarakan.
_Pertama,_ PKB selama ini mengklaim atau diklaim sebagai corong politik kaum _Nahdhliyin_ yang identik dengan kaum santri dan terkesan “ingin tampil beda” itu kini berkolaborasi dengan PKS, sebuah partai yang secara geneologis memiliki tradisi keislaman yang berbeda. Jika PKB melalui pesantren, maka PKS melalui _haraqah_ dan _tarbiyah._ Dua kekuatan politik berbasis Islam itu memberi harapan baru bagi suasana kebangsaan yang lebih dinamis bersama partai Nasdem, salah satu partai nasionalis sekuler.
_Kedua,_ keberadaan PPP yang hingga kini tidak menampakkan greget elektoral di level _grass-root_ akan mengalami dilema di ‘koalisi perjuangan’ bersama PDIP. Pasalnya, arus-bawah partai Ka’bah itu mengidolakan capres Anies Baswedan. Pilihan sulit elit DPP yang berbeda dengan jajaran konstituen partai di tingkat bawah, bisa memaksa PPP untuk cabut dari ‘koalisi perjuangan’ dan berlabuh di koalisi perubahan.
Jika terjadi koalisi PKS-PKB-PPP-Nasdem, maka dominasi Islam politik menjadi warna baru dalam koalisi ‘perubahan’ menuju Pilpres 2024 mendatang. Saya mengangankan PPP mengambil jalan ini agar tetap eksis di parlemen. Jika PPP tidak segera mengambil langkah radikal tersebut, maka keberadaan PPP di parlemen akan menjadi cerita masa lalu.
Pergeseran peta politik ini memberi harapan akan kembalinya suasana kebangsaan yang damai, demokrasi pluralis berjalan kompetitif dan semua elemen kebangsaan kembali kompak. Kita menginginkan keharmonisan dalam berbangsa dan tidak ada lagi kubu-kubuan antara sesama anak bangsa seperti yang berlangsung di dua periode kepresidenan Jokowi.
Hemat saya dalam satu dekade terakhir, keberadaan umat Islam _vis a vis_ negara tidak terlalu harmonis. Hal itu bermula dari Pilkada DKI tahun 2017 yang mengkontestasi Ahok yang merepresentasi kepentingan rezim Jokowi dan lingkaran oligarkisnya _vs_ Anies yang merepresentasi kepentingan politik umat Islam.
Gerakan umat Islam “212” dan “411” dibawah komando MUI dan Habib Rizieq Shihab secara tidak langsung memberi warna bagi perolehan suara Anies-Sandiaga (57,96%) di atas Ahok-Djarot (42,04%) dengan kemenangan telak di pihak Anies-Sandiaga. Tentu saja kemenangan ini menepis prakiraan sejumlah lembaga survey yang sebelumnya menjagokan Ahok-Djarot.
Umat Islam dianggap kelompok yang berhasil menggagalkan impian Jokowi dan Ahok di DKI Jakarta gegara gerakan “212” maupun “411” — yang diikuti umat Islam dari Sumatera hingga Papua — merupakan politik identitas yang sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI. Dari sana, isu politik identitas dimaknakan sebagai politik sektarian, anti-keberagaman (intoleran) dan radikal. Beberapa waktu lalu lewat kementerian agama, disamping kampanye “moderasi Islam” ( _Islam washathiyah_), para khatib dan muballig diawasi materi khutbah dan ceramahnya. Tapi nampaknya kementerian agama tidak berhasil di dalam “proyek politik” ini karena dicemooh umat Islam.
Rezim politik Jokowi pun memfasilitasi kelompok-kelompok sosial (non-Muslim dan sekuler) dan melancarkan “perlawanan” kepada umat Islam yang dinilai intoleran. Antar sesama anak bangsa dibenturkan dengan secara sengaja mempertajam segregasi dikotomis yang satu nasionalis dan yang satu tidak nasionalis. Jargon “Aku Pancasila” dipimpin langsung oleh presiden Jokowi di beberapa kesempatan.
Salah satunya di instagram pribadinya, @jokowi, ia mengutarakan “Saya Indonesia, Saya Pancasila, …Kalau kamu?” sebagai bentuk eufemisme kepada umat Islam yang distigmatisasi merupakan kelompok intoleran, radikal dan anti-Pancasila.
Jokowi kemudian menggunakan tangan besi kekuasaanya memberangus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), dua ormas Islam yang dipandang berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara. Alasan stabilitas nasional yang tak bedanya dengan era Orde Lama dan Orde Baru. Fenomena ini oleh Dahl (1985) merupakan salah satu dilema dalam demokrasi pluralis. Satu sisi diberikan otonomi tapi di sisi lain dikontrol.
Menurut Dahl, pengakuan terhadap perbedaan (diversitas) memberikan implikasi yang penting. Namun terkadang diversifitas dapat mengarah pada terjadinya diskriminasi dan kesenjangan. Akan tetapi diberlakukannya persamaan juga dapat mengakibatkan hilangnya identitas banyak kelompok, karena adanya pemaksaan terhadap persamaan tersebut.
Tidak sampai disitu, berbagai alasan dicari untuk menjebloskan HRS ke penjara selalu gagal bahkan ketika HRS mengamankan dirinya ke Arab Saudi, dia terus dihantui spionase yang terus memantau gerak-geriknya. Dan ketika HRS kembali ke Indonesia, dia terus dibuntuti. Meskipun selamat dari buntutan aparat keamanan, enam orang pengawalnya menjadi martir (syuhada) dalam “Tragedi Km 50” tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020 dinihari.
Tak lama setelah itu HRS dijembloskan ke penjara dengan tuduhan melanggar protokol kesehatan, dimana ia menggelar keramaian di saat pemerintah memberlakukan kebijakan _social distancing_ karena wabah Covid-19. Suatu alasan yang dibuat-buat karena pada saat pemberlakuan kebijakan _social distancing_ tersebut, sebagian kalangan di Jakarta pun menggelar kegiatan yang menghadirkan banyak orang bahkan iring-iringan kerumunan masa saat pendaftaran Gibran Rakabuming untuk Pilwako Solo tidak ditindak.
Ketidakpuasan semakin membuncah karena proyek-proyek yang ditangani Jokowi saat menjabat gubernur DKI yang dilanjutkan oleh Ahok ditinjau ulang oleh gubernur Anies. Yang paling fenomenal adalah pembatalan proyek reklamasi (pulau buatan) di Teluk Jakarta. Dari sini, Jokowi dan Ahok “menandai” Anies sebagai lawan politik yang berbahaya bagi kelangsungan kepentingan oligarki di pemerintahan DKI dan Indonesia.
Perpindahan Ibukota Negara Nusantara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan yang disebut-sebut merupakan proyek bisnis Jokowi dan kliennya tentu akan gagal kalau Anies berhasil menduduki kursi RI-1 di tahun 2024 yang akan datang. Mungkin tidak ada kerasahan yang lebih mencekam dan menyiksa batin Jokowi di akhir periode kepemimpinannya yang kedua ini dibanding keresahan tidak dilanjutkannya proyek IKN di era kepresidenan Anies. Artinya IKN bakal menjadi proyek gagal Jokowi yang memalukan hingga tujuh turunan.
Atas dasar itulah Jokowi setaraf “bersumpah” akan terlibat di dalam kontestasi capres-capres yang akan bertarung di Pilpres 2024. Istilah “cawe-cawe” adalah ikut campur di dalam menentukan pasangan capres/cawapres dengan memanggil Prabowo, Ganjar dan Paloh ke Istana. Mengapa bukan Anies yang dipanggil untuk sama-sama dengan Prabowo dan Ganjar melainkan Paloh? Kalau bukan kebencian, ya ketakutan. _”Poko’e ojo Anies!”_
_’Alâ kulli hâl,_ umat Islam Indonesia, dan barangkali dunia, punya harapan besar terhadap pasangan capres-cawapres Anies-Muhaimin yang memiliki latar belakang generasi muslim modernis (HMI dan PMII) akan mengendalikan arah kompas biduk Nusantara ini sesuai tujuan luhurnya.
Kapasitas Anies sebagai tokoh muda Indonesia yang telah memiliki reputasi internasional pasti menampilkan wajah Indonesia sebagai _the biggest Muslim population in the world_ lebih terasa. Di tataran kehidupan kebangsaan, kerinduan akan suasana hubungan umat Islam dengan negara yang harmonis merupakan tumpuan harapan yang diamanahkan ke pundak keduanya, Anies-Muhaimin (Amin) Semoga!. (Ciputat, 3 September 2023)