Oleh: Fahrul Abd. Muid/ Penulis adalah Dosen pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate
JIKA MEMBACA FATWA Keagamaan yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Muhammadiyyah serta kebanyakan ulama yang mengeluarkan pendapat pribadinya masing-masing tampaknya ada hal yang sama dan ada hal yang berbeda dalam fatwanya tentang kedudukan hukum money politic dalam pemilu.
Hal yang berbeda juga dengan Nahdlatul Ulama (NU) dalam mengeluarkan fatwa yang rumit tentang money politic dalam kegiatan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU dan Konferensi Besar di Cirebon, Jawa Barat pada bulan September 2012.
Fatwa tersebut diberi judul “risywah politik” atau suap politik. Produk fatwa NU dan rekomendasi yang dihasilkan dipertemuan ini diterbitkan sekitar tiga tahun kemudian tahun 2015, sehingga menjadi dasar hukum bagi kalangan Nahdliyyin yang harus dibaca dan dijadikan pegangan dalam menyalurkan hak suaranya dalam pemilu serentak tahun 2024.
Fatwa tentang money politic ini menjadi bagian dari isu-isu keagamaan kontemporer (diniyyah waqi’iyyah) dalam dunia kepemiluan. Fatwa ini jika ditelaah secara rinci, memiliki ciri khas karena menggunakan konsep “niat” sebagai acuan dan berujung pada kesimpulan bahwa larangan memberikan hadiah atau uang tunai kepada pemilih dalam pemilu sebenarnya memiliki suatu pengecualian.
Oleh karena itu, fatwa NU ini menunjukkan adanya spektrum hukum yang lebar untuk tindakan pemilih yang memberikan dukungan suara kepada si calon dan/atau si caleg tertentu setelah menerima uang atau hadiah darinya. Fatwa NU memiliki format tanya jawab yang disusun berdasarkan kerangka berpikir sebagai berikut:
“Dalam upaya menarik simpati masyarakat dan merebut suara terbanyak, (di masa pemilu) acap kali kita melihat berbagai bentuk pemberian dari para calon kepada para pemilih. Para calon membagikan kepada mereka pemberian dengan dalih ongkos jalan, ongkos kerja, atau kompensasi meninggalkan kerja untuk datang ke lokasi pencoblosan.
Bahkan para calon terkadang menggunakan momen pemilihan umum untuk memberikan kepada para pemilih zakat dan sedekah. Pemberian dengan berbagai dalih tersebut tidak lepas dari maksud tertentu dan berpengaruh kepada pemilih dalam menentukan calon yang akan dipilihnya”.
Fatwa NU yang berkaitan dengan tindakan si calon dan/atau si caleg dan menetapkan hukum atas memberi hadiah kepada pemilih. Dalam merumuskan fatwa ini, ulama NU tidak hanya mengacu pada semangat nash yang melarang risywah (suap), tetapi juga hadits tentang pentingnya nawaitu atau motivasi dalam mendefinisikan tindakan.
Isi dari fatwa itu berbunyi pemberian si calon dan/atau si caleg kepada pemilih dengan alasan uang transportasi, uang ongkos kerja, uang rokok dan uang kompensasi meninggalkan kerja yang dimaksudkan agar si penerima/pemilih dapat memilih calon tertentu adalah tidak sah dan termasuk kategori risywah (suap).
Jadi, menurut fatwa NU, haram hukumnya bagi peserta pemilu (si caleg, si calon anggota DPD dan pasangan calon) memberikan uang kepada pemilih dengan maksud semata hanya untuk kepentingan pemilu, yakni agar penerima uang mau memilih si caleg dan/atau si calon. Dalam pandangan NU, tindakan tersebut merupakan suap politik.
Klaim bahwa uang itu adalah sesuatu yang lain, seperti uang biaya transportasi dan kompensasi meninggalkan pekerjaan, tidak mengubah statusnya sebagai suap. Sampai di sini, fatwa NU tentang politik uang nampak tidak berbeda dari fatwa-fatwa-fatwa organisasi Islam yang lain ataupun buatan ulama secara individual.
Namun jika ditelisik lebih jauh, bahwa fatwa NU ternyata lebih kompleks. Perbedaan fatwa yang dianalisis oleh NU telah menunjukkan bahwa fatwa NU mempertimbangkan dua faktor, yaitu, niat sedekah bagi si calon dan/atau si caleg dan niat membeli suara bagi si caleg dan/atau si calon dalam pemilu.
Tafsir “Money Politic” atas Nama Zakat dan Sedekah dalam Electoral
Dalam fatwanya, NU juga merespon sebutan lain bagi uang tunai yang dibagikan kepada pemilih, yaitu sebagai sedekah sesama muslim (zakat) dan sedekah sunnah. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah sah atau tidak membayar zakat dan memberikan sedekah kepada pemilih semasa pemilu. Fatwa ini memberi dua putusan. Pertama, pemberian zakat atau sedekah yang dimaksudkan semata-mata agar si penerima memilih calon tertentu adalah tidak sah dan termasuk risywah (suap).
Pada dasarnya, bagian ini hanya menerapkan hukum yang sama seperti di bagian sebelumnya dari fatwa tentang politik uang. Tetapi teks fatwa kemudian berlanjut dengan penafsiran yang berbeda dan lebih pemaaf: Jika pemberian zakat atau sedekah itu dimaksudkan untuk membayar zakat atau memberi sedekah, dan sekaligus dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu, maka zakat atau sedekah itu sah, tetapi pahalanya tidak sempurna, dan sesuai perbandingan antara dua maksud tersebut.
Jadi, jika ada niat untuk membayar zakat atau memberikan sedekah, dan hadiah dari si calon dan/atau si caleg dapat digolongkan sebagai zakat atau sedekah. Ketika niat baik itu tidak ada, dan yang tertinggal hanya motivasi untuk mempengaruhi perilaku pemilih, maka hadiah yang sama dianggap sebagai risywah siyasah.
Dengan demikian, niat si calon dan/atau si caleg merupakan elemen penting dalam fatwa buatan NU ini. Jelas bahwa niat merupakan konsep yang sangat penting dalam Islam. Begitu niat dipertimbangkan, seseorang tidak dapat menilai suatu tindakan hanya berdasarkan penampilan luarnya. Nabi Muhammad bersabda bahwa perbuatan dinilai berdasarkan motivasi niat yang melatar belakanginya.
Apabila kita narasikan ulang fatwa ini, kita akan menemukan ilustrasi berikut. Misalkan kita memiliki dua calon dan/atau caleg yang memberikan uang kepada pemilih. Kedua kandidat berharap bahwa penerima akan memilih mereka. Dalam perspektif NU, ada kemungkinan salah satu calon melakukan risywah siyasah, sementara calon lainnya secara sah membayar zakat atau bersedekah.
Oleh karena itu, salah satu si calon dan/atau si caleg berpotensi berdosa karena melakukan risywah siyasah, sedangkan yang lain memenuhi kewajiban agama dengan membayar zakat atau sedekah, meskipun sang muzakki tidak mendapatkan pahala secara sempurna. Garis tipis yang memisahkan kedua tindakan tersebut adalah apakah ada “nawaitu” untuk mengamalkan ajaran agama berupa zakat atau sedekah.
Di sini, kita melihat bahwa ulama NU terbuka terhadap kemungkinan bahwa memberi uang kepada pemilih mungkin mengandung nawaitu yang baik dan bisa diterima agama.
Masalahnya, mempertimbangkan faktor niat dalam urusan ini dapat menciptakan celah yang mengijinkan orang membeli suara. Karena itu, orang mungkin menuduh bahwa fatwa NU ini memberikan jalan keluar dari dosa risywah, bukan dengan menghalangi si calon dan/atau si caleg dari membagikan uang kepada pemilih, tetapi dengan memasukkan unsur niat yang “benar”.
Hal ini memudahkan si calon dan/atau si caleg untuk beralih dari risywah (suap) ke niat sedekah. Berdasarkan kritik di atas, penulis juga terbuka pada kemungkinan bahwa penekanan fatwa ini ada pada pahala yang “tidak sempurna”. Artinya, NU tidak menginginkan si calon dan/atau si caleg muslim membeli suara, karena meskipun ada niat berzakat atau bersedekah, ganjaran yang diterimanya pasti jauh dari sempurna. Namun harus diakui bahwa fatwa ini terbuka untuk tafsiran yang permisif tentang kegiatan jual-beli suara dalam pelaksanaan pemilu.
Menafsirkan “Niat” Money Politic dalam Electoral. Salah satu frasa penting dalam fatwa NU ini, yaitu “pahalanya tidak sempurna” bagi si calon dan/atau si caleg, muncul dalam teks fatwa namun tanpa penjelasan. Dokumen fatwa ini tidak melampirkan referensi dalam soal ketidak-sempurnaan pahala sedekah akibat niat yang bercampur dengan money politic.
Menurut penulis, dengan memahami doktrin niat, tindakan dan ganjaran dalam Islam, kita bisa mendapatkan petunjuk dari Nabi Muhammad saw. Teks-teks keagamaan menunjukkan bahwa niat membingkai tindakan dan menentukan ukuran pahala setiap muslim dalam bertindak.
Adalah argumentasi singkat tentang doktrin keagamaan untuk mendukung tafsiran dalam memaknai frasa tersebut. Sebuah contoh yang umurnya telah berabad-abad tentang poin bahwa niat membingkai tindakan adalah tentang orang-orang yang ikut berhijrah dengan Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke Madinah itu dinilai oleh Allah Swt pada kedudukan niatnya.
Tafsir Melarang “Money Politic” dalam Electoral Penafsiran ini mendukung gagasan bahwa fatwa NU menyayangkan tindakan mencampurkan niat sedekah dengan motivasi elektoral. Tapi sambil menawarkan penafsiran ini, penulis juga mencatat bahwa fatwa NU ini masih murah hati.
Ajaran sufi yang lebih ketat menerangkan bahwa ikhlas berarti kemurnian niat dan ketidak-ikhlasan tidak memberikan apa pun kepada orang-orang beriman di akhirat. Beberapa tulisan ulama salafi bahkan menganggap bahwa ibadah yang dicampur dengan tujuan duniawi merupakan tanda cacatnya iman seseorang.
Singkatnya, fatwa NU ini tidak totalitas melarang praktik politik uang dalam pelaksanaan Pemilihan Umum, dan ini karena faktor niat dari si calon dan/atau si caleg dipertimbangkan oleh para ulama pembuat fatwa ini. Berbeda dengan NU, MUI dan Muhammadiyah tidak menganggap perlu untuk mempertimbangkan niat dari si calon dan/atau si caleg yang memberi hadiah kepada pemilih; tindakan menyuap pemilih saja sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa seorang calon dan/atau si caleg telah melanggar aturan agama dan berdosa karena melakukan praktik money politic.
Analisis ini dapat dilakukan melalui pemeriksaan yang cermat terhadap fatwa dari Nahdlatul Ulama, di mana rincian fatwa benar-benar penulis perhatikan. Jika melihat fatwa tersebut tanpa kehati-hatian, maka kesan yang muncul adalah bahwa fatwa NU sama saja dengan fatwa organisasi Islam lainnya, yaitu sangat anti politik uang. Kesimpulan kurang akurat ini terjadi, misalnya, pada seseorang yang membaca fatwa NU kata demi kata dan kemudian menyimpulkan bahwa “Islam sangat melarang politik uang”. Padahal, hukum politik uang lebih bernuansa daripada yang umumnya diketahui orang.
Hal tersebut mengabaikan bagian penting dari dokumen fatwa NU yang menganggap sah jika si calon dan/atau si caleg membagikan uang dengan agenda ganda, yaitu memberikan uang kepada pemilih dengan niat sedekah dan memberikan uang dan mempengaruhi perilaku pemilih. Sebagaimana dibahas di atas, bagian itu mengungkap adanya ambiguitas dalam fatwa anti politik uang yang dilakukan oleh fatwa NU. Karena memang ulama-ulama NU terkenal sangat lihai dan cerdas dalam memainkan ijtihad politiknya dalam pemilu.
Kesimpulan
Ulama NU yang memproduksi fatwa berjudul “Risywah Politik” (suap politik) tidak pukul rata dalam menentukan status hukum pada money politic. Dari sisi si pemberi uang, yakni si calon dan/atau si caleg, fatwa NU ini menyebut bahwa pemberian mereka bisa menjadi risywah atau suap yang haram diserahkan (si pemberi) dan haram diterima (si penerima).
Namun pemberian yang sama bisa pula menjadi infaq dan sedekah, yang artinya tidak haram diberikan, bahkan berpotensi mendatangkan pahala bagi keduanya (si pemberi dan si penerima) meskipun tidak sempurna pahalanya. Perbedaan hukum ini tergantung pada niat si calon dan/atau si caleg saat memberi uang atau hadiah kepada pemilih.
Inilah ke-khasan pandangan keagamaan Nahdlatul Ulama dalam memaknai frasa “money politic”. Organisasi Islam lain, misalnya Majelis Ulama Indonesia dan Muhammadiyah tidak mempertimbangkan faktor niat si calon dan/atau si caleg. Bagi mereka, semua pemberian dalam bentuk uang tunai dari si calon dan/atau si caleg itu dalam pemilu adalah tindakan suap dan sama saja hukumnya, yaitu, haram.
Pola yang sama terlihat dalam pandangan keagamaan NU ketika menghukumi tindakan pemilih yang memberikan suara setelah menerima pemberian uang dari si calon dan/atau si caleg. Spektrum hukumnya bahkan lebih luas, mulai dari hukumnya haram, menjadi hukumnya mubah hingga menjadi hukumnya wajib.
Dengan demikian, tidak semua pemilih yang mencoblos si calon dan/atau si caleg setelah menerima pemberian uang darinya pasti berdosa. Sebagai sebuah hasil pemikiran keagamaan, fatwa NU ini sungguh menarik dan pasti disukai oleh peserta pemilu dan/atau pasangan calon dan si caleg, karena fatwa NU yang satu ini lebih lengkap dan mampu menangkap motivasi yang berbeda-beda dalam sebuah tindakan yang sama.
Bisa kita katakan bahwa ulama NU memiliki pandangan yang luas dalam menentukan vonis bagi pihak-pihak yang terlibat dalam “money politic”. Namun sisi negatifnya juga ada, yaitu hukum yang tidak tunggal akan buruk bagi kampanye anti-politik uang.
Bukannya terdorong untuk menghindari money politic, sebagian anggota masyarakat justru akan mendapatkan alasan pembenar untuk terlibat ke dalam praktik yang dinyatakan terlarang oleh undang-undang pemilu. Jika itu yang terjadi, maka seruan agama dalam bentuk fatwa dari organisasi Islam tidak bisa menjadi solusi atas masalah money politic. Semoga bermanfaat tulisan ini.
Wallahu ‘Alam Bisshawab.(*)