Oleh: Fahrul Abd. Muid/Penulis adalah Dosen ‘Ulumul Qur’an-Fakultas Ushuluddin IAIN Ternate
BANGSA INDONESIA yang terdiri dari gugusan pulau-pulau yang jumlahnya sangat banyak sekitar 17.000 (tujuh belas ribuan) pulau, dan salah satunya adalah Kepulauan Jaziratul Muluk (negeri para Raja) di Provinsi Maluku Utara.
Pada lingkungan Kepulauan inilah yang menyebabkan warna Islam Indonesia memiliki Khashaish, Muamyyizaat, dan Tipologi yang memberikan warna tersendiri terhadap praktik keislaman kita yang berada di pulau-pulau-bukan Islam secara teologis, sehingga masyarakat Muslim Kepulauan kita.
Dalam hal praktik keislamannya pada keseharian kita tidak sama seperti Islam yang dipahami dan dipraktikkan dalam keseharian yang ada di timur Tengah-karakter keislaman yang dimiliki oleh masyarakat Muslim yang berada di timur Tengah jauh berbeda dengan karakter keislaman yang dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat Muslim Kepulauan yang ada di Indonesia-di Maluku Utara.
Maka, Islam dalam aspek teologisnya pada persoalan Aqidah dan Syari’at kita, dengan keislaman yang ada di timur Tengah 100 % (seratus persen) masih sama dan tidak bisa dibeda-bedakan dengan keislaman kita karena yang namanya Aqidah dan Syari’at dalam keislaman kita sama saja, apakah bagi orang Islam Eropa, Islam Amerika, Islam Maroko, Islam Makkah, Islam Madinah, dan seterusnya.
Tapi yang membedakan kita hanya pada aspek tipologi, karakter dan ciri khas yang kita miliki dalam memahami Islam dan mempraktikkan cara keislaman kita yang jauh lebih berbudaya dan beradab, yang kemudian dalam realitasnya tidak dimiliki oleh keislaman yang ada di timur Tengah. Namun, ada pula letak perbedaan yang signifikan antara keislaman Kepulauan kita dengan keislaman yang ada di timur Tengah yaitu, pada faktor budaya dan peradaban kita yang diwarisi oleh para leluhur-para Wali Songo-para ‘Ulama.
Bahkan jauh sebelumnya kita telah diwarisi tentang urgensi menjaga hubungan yang harmonis-integral-adanya penyatuan yang sudah selesai antara hubungan agama dan budaya yang begitu kuat dan kokoh fondasi bangunan itu, khususnya eksistensi hubungan budaya dan agama di Kepulauan Jaziratul Muluk (negeri para Raja)-Maluku Utara.
Agama Islam merupakan agama yang sanadnya Mutawatir Jiddan bersumber pada power (kekuatan) Wahyu yang bersifat Ilahiyyah, bersifat Sakral, dan berisfat Samawaiyyah-Muqaddasah, dan kemudian pada aspek budaya Kepulauan yang bersifat Profan-bersifat Waqi’iyyah (realitas) dan bersifat al-Insaniyyah (nilai-nilai kemanusiaan) merupakan prodak hasil ijtihad atas kreatifitas pada kecerdasan manusia Kepulauan.
Maka, keduanya wajib untuk digabungkan dalam satu tarikan nafas, sehingga secara otomatis terjadinya ketersalingan-keduanya saling menyempurnakan-keduanya saling mengisi, dan keduanya saling memperkuat dalam satu ikatan yang kokoh. Gambaran ini adalah bukti kongkrit tentang keberhasilan dakwah Islamiyyah yang telah dijalankan dan dilaksanakan oleh para Wali Songo-para ‘Ulama kita di Nusantara ini.
Bagaimana Islam yang didakwahkan itu bertujuan untuk penguatan aspek Teologi dan Syar’at, tetapi pada saat yang sama tidak kemudian merendahkan-mengeyampingkan dan menyisihkan aspek budaya yang ada di tengah masyarakat Islam Kepulauan, bahkan budaya yang ada di masyarakat Kepulauan ini mendapatkan penghormatan yang luar biasa oleh agama Islam sekaligus budaya al-maqshud wajib dijadikan sebagai infra-struktur penguatan agama Islam Kepulauan, sehingga agamanya menjadi indah-ramah-toleran-moderat dan budayanya menjadi kuat-lestari ilaa yaimil qiyamah (sampai pada hari kiamat).
Maka, budaya masyarakat Kepulauan di Jaziratul Muluk wajib kita bela mati-matian agar kuat dan lestari tanpa ada batasannya (unilimited), dan agama Islam kita dakwakan sesuai dengan kekuatan budaya yang ada pada masyarakat Kepulauan di Jaziratul Muluk, kekuatan budaya-tradisi-taqalid dan kekuatan peradaban merupakan prodak leluhur kita untuk kemudian kita lestarikan agar memperkuat dakwah Islamiyyah dan, Islam Kepulauan memberikan ruh/spirit terhadap budaya yang ada di Nusantara ini, sehingga betapa indahnya kehidupan kita ini karena antara kekuatan agama dan kekuatan budaya digabungkan secara harmonis-integral dan bersenyawa yang tidak bisa dimatikan salah satunya atau direduksi.
Sebagai contoh, bagaimana yang namanya budaya Beduk yang tadinya merupakan alat musik tari-tarian bagi masyarakat tanah Jawa ketika agama Islam belum dikenal yang kemudian oleh para Wali Songo dalam menyampaikan dakwah Islamiyyah kepada masyarakat bahwa, yang namanya penggunaan budaya Beduk itu tidak dilarang dalam agama Islam, maka budaya Beduk ini tetap harus dilestarikan di Nusantara ini, hanya saja fungsinya dialihkan bukan lagi untuk alat musik tari-tarian, akan tetapi fungsinya untuk digunakan sebagai alat yang diletakkan di Masjid yang kemudian berfungsi sebagai alat yang dipukul sebagai tanda bagi orang Islam Kepulauan bahwa waktu sholat fardhu telah tiba.
Artinya, bahwa prodak budaya masyarakat Kepulauan yang bernama budaya Beduk tersebut tidak dimusnahkan-tidak dibuang dan tidak dihancurkan oleh Islam itu sendiri, tetapi alat musik Beduk itu dilestarikan dan dipelihara. Maka kemudian budaya Beduk itu dijadikan sebagai infra-struktur agama Islam Kepulauan di Jaziratul Muluk-Maluku Utara.
Maka, hampir dipastikan terdapat budaya Beduk yang setiap saat pasti dibunyikan dengan cara dipukul oleh petugas pada setiap Masjid sebagai tanda tibanya waktu shalat untuk mengingatkan orang Islam Kepulauan yang ada diseluruh Desa/Kampung di Provinsi Maluku Utara.
Oleh karena itu, bahwa yang dimaksud dengan Islam Kepulauan bukan merupakan mazhab baru, aliran baru, atau sekte baru dalam Islam yang berkembang di Indonesia, dan Islam Kepulauan pun bukanlah Islam yang normatif, tapi Islam Emperik yang terindegenisasi.
Akan tetapi, Islam Kepulauan hanyalah sebagai tipologi dan ciri khas keislaman kita sebagai masyarakat Muslim yang kehidupannya terintegrasi dengan lingkungan Kepulauan yang mengitarinya, sehingga Kaefiyyat atau tata cara praktik keislaman masyarakat Kepulauan identik dengan Islam yang Inklusif dengan alam semestanya. Salah satu tampilan Islam Kepulauan di Jaziratul Muluk-Maluku Utara yang dapat kita ketahui.
Dan, masih banyak lagi ditemukan rekonstruksi budaya orang-orang Islam Kepulauan di Jaziratul Muluk-Maluku Utara, misalnya; Budaya Islam Bajo, Islam Ternate, Islam Tidore, Islam Bacan, Islam Makian-Kayoa, Islam Patani-Gebe, Islam Sanana-Taliabu, Islam Tobelo-Galela, Islam Morotai, dan seterusnya. Maka, inilah potret tipologi, karakter, dan ciri khas Islam Kepulauan yang menjadi tradisi orang-orang Islam di Jaziratul Muluk-Maluku Utara.
Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa Islam Kepulauan yang sudah lama dipelihara (al-muhafadzah) di Jaziratul Muluk-Maluku Utara dianggap sebagai instrumen terkuat untuk terciptanya harmonisasi antara ruhiddin (semangat agama) dan ruhul hadharah (semangat budaya), sehingga antara spirit agama dan spirit kebudayaan yang bisa memberikan spirit value (nilai) pada perkembangan budaya, maka budaya menjadi skala prioritas yang harus kita ambil, lestarikan dan kita satukan dengan nilai-nilai agama untuk diharmoniskan-dilanggengkan untuk menjadi kekuatan infra-struktur agar menghidupkan keberlangsungan keislaman di Jaziratul Muluk-Maluku Utara.
Maka, rekonstruksi pengembangan masyarakat pesisir yang berbasis Islam Kepulauan ini yang hari ini menjadi Misi besar pada kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate harus diformulasikan dalam bentuk budaya akademik kampus yang kemudian difokuskan pada kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi keislaman ini yang dapat diwujudkan dalam bentuk ‘amar’ akademik atau perintah akademik kepada dosen-dosen IAIN Ternate untuk selain menunaikan kewajiban pengabdian, pendidikan-pengajaran, dan lebih-lebih melakukan penelitian untuk pemberdayaan masyarakat berbasis Islam Kepulauan di Jaziratul Muluk-Maluku Utara.
Sehingga, hari ini kampus IAIN Ternate secara simultan harus mendorong yang lebih dahsyat lagi ghirah akademiyyah kepada dosen-dosennya untuk terfokus melakukan penelitian serius yang berbasis pada kondisi masyarakat Islam Kepulauan di 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara. Sehingga, Civitas Akademika baik, dosen, mahasiswa dan pegawai pada kampus IAIN Ternate akan dengan sendirinya mengetahui serta memahami tipologi, karakteristik dan ciri khas Islam Kepulauan di Jaziratul Muluk-Maluku Utara.
Yang pada akhirnya, dari proses penelitian yang berbasis Islam Kepulauan oleh para dosen IAIN Ternate bisa mendapatkan output yang baik dan berkualitas, karena debut (tampilan) Islam Kepulauan di Jaziratul Muluk-Maluku Utara dapat dianggap memiliki karateristik yang jauh berbeda dengan daerah yang lainnya, karena rekonstruksi Islam Kepulauan ini murni terinspirasi dari budaya-tradisi dari masyarakat Kepulauan dan masyarakat pesisir.
Baik masyarakat Islam di pulau panjang Halmahera, pulau Bacan, pulau Sanana-Taliabu, pulau Morotai, pulau Ternate, dan pulau Tidore yang berbeda dengan tipologi dan karakteristik Islam Sulawesi, Islam Jawa, Islam Sumatera, Islam Kalimantan, dan Islam lainnya di Negara Kesatuan Republik ini. Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu ‘alam bisshawab.(*)