Oleh: Fahrul Abd. Muid/Penulis adalah Dosen ‘Ulumul Qur’an-Fakultas Ushuluddin IAIN Ternate
SALAH SATU TAMPILAN ISLAM Kepulauan di Jaziratul Muluk-Maluku Utara yang dapat kita jumpai adalah dengan memotret tradisi orang-orang Bajo Joronga, Kabupaten Halmahera Selatan.
Yang pada praktik ibadahnya orang-orang Bajo Joronga dalam kesehariannya dengan sebuah pemahaman, bahwa hukumnya wajib menggunakan air laut untuk berwudhu. Ketika mereka hendak mengerjakan shalat 5 (lima) waktu karena air laut itu adalah air suci dan mensucikan, bahkan air laut berfungsi sebagai obat bagi tradisi orang-orang Bajo Joronga.
Maka, tradisi orang-orang Bajo ini, adalah mereka hendak menampilkan semacam hubungan yang erat antara peran Fikih dan Tradisi yang dalam Kaidah Ushulul Fiqh dikenal dengan kaidah “al-‘adah al-muhakkamah” (adalah tradisi bisa menjadi hukum).
Dalam realitasnya, dapat dijumpai proses Islamisasi tradisi dalam masyarakat Islam Bajo Joronga pada praktik tradisi pengobatan orang sedang sakit yang tidak pernah kunjung sembuh sebelum dilakukannya yang dinamakan dengan tradisi pengobatan “disasaokan” ini, yaitu sebuah proses pengobatan dalam tradisi orang-orang Bajo Joronga dengan cara ada seseorang yang bertugas untuk mengumpulkan sarung-sarung baru yang dipinjam dari tetangga atau keluarga orang yang sakit itu,lalu kemudian orang yang sedang sakit itu disuruh oleh orang yang mengobatinya agar memilih salah satu dari sarung-sarung tersebut yang sudah disusun dihadapannya.
Jika kemudian orang yang sakit itu menyukai dan memilih 1 (satu) dari sarung-sarung tersebut miliknya si fulan, maka itu tandanya bahwa, semoga orang yang dipilih sarungnya itu dapat memberikan semacam sumanga’ (kekuatan ruhnya) kepada orang yang sakit tersebut sebagai wasilah agar ‘Adipapuan’ yakni Allah Swt cepat memberikan kesembuhan dari sakitnya.
Selanjutnya, akan dilakukan tradisi pengobatan oleh seorang ‘pananabar’ (orang yang mengobati) dengan cara membaca do’a-do’a yang berlafaz bahasa Bajo Joronga yang sifatnya sirrun atau rahasia yang intinya adalah ‘mamma’ ka adipapuan’ yang dikhususkan kepada orang yang sedang sakit tersebut, dan kemudian seorang ‘pananabar’ itu melakukan tradisi pengobatan lainnya yang dinamakan dengan istilah bahasa Bajonya.
Yaitu, ‘diparapa’ sumanga’na’ dengan menggunakan bahasa Bajo Joronga yaitu, ‘mole ko sumanga’na ka badanna’ (semoga orang yang sedang sakit itu badannya cepat sembuh) yang kemudian ditandai dengan tradisi mengikat dipergelangan tangannya dengan menggunakan tali benang yang tidak boleh dibuka oleh orang yang sedang sakit itu atau oleh orang lain selama 3 (tiga) hari.
Maka, selama 3 (tiga) hari tersebut tidak dibolehkan atau berlaku keadaan ‘pamali’ yakni, dilarang ada orang yang mengambil barang atau meminta sesuatu apa pun didalam rumah orang yang sakit itu untuk dibawah keluar rumahnya, apabila dilihat langsung oleh orang yang sakit itu ada sesuatu yang dibawah keluar, maka itu adalah bentuk sebuah pelanggaran tradisi yang akan menyebabkan orang yang sakit itu tak kunjung sembuh dan mengurangi kualitas tradisi pengobatan di ‘sasokan’ dimaksud.
Dan, tradisi ini harus dijaga dengan baik sesuatu yang ‘pamali’ itu agar proses pengobatan ini berjalan dengan baik, sehingga hasil tradisi pengobatan ala orang Bajo ini berkualitas dan atas izin ‘Adipapuan’ yakni Allah Swt-Tuhan Yang Maha Kuasa, maka orang Bajo yang sedang sakit tersebut pada akhirnya sembuh dari penyakitnya. Maka, tradisi pengobatan ‘disasaokan’ bagi orang-orang Bajo Joronga ini mau dipercaya silahkan, jika tidak dipercaya juga silahkan.
Dalam tradisi orang-orang Bajo Joronga, bahwa yang namanya ‘al-muhafadzah’ (memelihara) tradisi yang lama dan masih dianggap sangat baik merupakan sebuah keniscayaan. Tradisi orang-orang Bajo Joronga sangat melarang secara keras tentang perilaku yang bertentangan dengan adat-istiadat.
Maka, menurut tradisi orang-orang Bajo Joronga bahwa tidak dibolehkan seorang laki-laki dewasa dan seorang perempuan dewasa untuk duduk hanya berdua di tempat yang gelap pada malam hari didalam kampung, dan apabila kedapatan atau dalam istilah hari ini terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh petugas badan Syara’ dengan cara ‘diada’’ atau dilempar dengan menggunakan sajadah atau sejenisnya kepada mereka berdua dan kemudian dikatakan kepada mereka itu dengan bahasa Bajo ‘kahan duangan didaka sangan itu’ (kalian berdua telah ditangkap di malam ini).
Lalu sajadah tersebut harus dikembalikan oleh ‘lillana’ atau lelakinya kepada petugas dimaksud yang bertugas atau berjaga malam, maka sanksi adat yang diberlakukan kepada keduanya adalah harus dinikahkan oleh kedua orang tuanya agar keduanya tehindar dari perbuatan maksiat dan kemudian tidak menjadi fitnah yang merendahkan kewibawaan dan martabat keluarganya di kampung/desa. Dan, sebaliknya jika mereka berdua tidak dinikahkan, maka sanksi tradisi yang diberlakukan kepada mereka adalah dengan cara ‘dipalu je duangan’ atau mereka berdua harus di ‘jildah’ atau dipukul didepan umum untuk menjadi ‘durussahihah’ bagi yang lain.
Dan, tradisi orang-orang Bajo Joronga dalam hal untuk menangani seorang ibu ‘ma bitta’’ atau ibu mengandung yang akan melahirkan bayinya, untuk tradisinya adalah ketika pada usia kehamilannya sudah memasuki 9 (sembilan) bulan dalam kandungannya, maka tugas dari seorang ibu bian atau ‘mapa ngaka’ baka ma nanarinta’ akan melakukan pemeriksaan seperti layaknya seorang dokter kandungan dalam memerika keadaan kandungan ibu yang sedang hamil.
Maka, seorang ibu bian ‘mapa nanarinta’ dalam memeriksa terhadap posisi bayi itu dengan cara ‘nguru’’ dan ‘ngaka bitta’’ (memijit dan memeriksa) dengan tangannya pada perut ibu yang mengandung itu tentang posisi bayi tersebut. Maka, hasilnya akan ketahuan perihal posisi bayi itu, apakah sudah berada pada posisinya yang benar ataukah bayi itu belum berada pada posisinya yang benar.
Pada saat ibu melahirkan, jika yang keluar terlebih dahulu adalah ‘tamuni’ atau ‘dodominya’ yang kemudian disusul oleh sang bayi itu, maka dalam tradisi orang-orang Bajo Joronga, bahwa proses kelahirnya ini berjalan secara normal, dan bayi itu akan langsung menangis dengan jenis tangisan yang berbeda antara bayi lelaki dan bayi perempuan, sehingga langsung di Azankan oleh ‘uwwana’ atau ayahnya.
Tetapi kemudian bayi tersebut belum langsung di potong tali pusarnya oleh ibu bian, akan tetapi ‘tamuni’ atau ‘dodomi’ serta bayi itu disatukan dalam satu kesatuan dan segera dibawah ke laut oleh ayahnya untuk kemudian dilakukan tradisi orang-orang Bajo yaitu dengan cara agar menyelam kedalam laut bersama bayi dan ‘tamuni’ atau ‘dodomi’ itu untuk melintasi dibawah ‘lepa’ atau perahu bersama ayahnya.
Hal ini, dimaksudkan agar anak ini jiwanya menyatu dengan alam lautan, sehingga anak ini akan menjadi ‘Aquaman’ (manusia laut) dan ketika anak ini tumbuh besar pada usia anak-anak dengan sendirinya atau secara alamiah anak ini bisa berenang, bisa menyelam kedalam laut tanpa harus diajarkan oleh seorang guru, dan kemudian anak ini akan secara otomatis dapat menguasai dunia laut.
Ternyata, bahwa tradisi orang-orang Bajo Joronga untuk mengajarkan anak-anaknya untuk pandai berenang sejak masih bayi merupakan sebuah tradisi yang jauh sebelumnya telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad Saw kepada ummatnya. Hadis yang sanadnya bersumber dari Abu Bakar Ahmad bin Al-Hasan Al-Qadhi mengabarkan kepada kami, Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Duhaim Asy-Syaibani mengabarkan kepada kami, Ahmad bin Ubaid bin Ishaq bin Mubarak Al-‘Thar mengabarkan kepada kami, dari ayahku (Ubaid bin Ishak) mengabarkan kepadaku, Qais menuturkan kepadaku, dari Laits, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Ajarkanlah anak-anak kalian berenang, melempar, dan ajarkanlah kaum wanita kalian memintal”.
Maka, tradisi berenang yang telah dilakukan oleh orang-orang Bajo Joronga adalah dalam kerangka melestarikan tradisi ke-Nabian. Sesudahnya, barulah tali pusar bayi itu akan dipotong oleh ayahnya dan terpisahlah antara bayi itu dengan ‘tamuni’ atau ‘dodominya’. Maka, ‘tamuni’ atau ‘dodomi’ bayi itu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah ‘tamporu’ atau tempurung kelapa dan diikat dengan tali, untuk selanjutnya ditenggelamkan ke dasar laut sambil berkata dengan menggunakan bahasa Bajo, “e kodo mole ne ko ka asalnu kka anana’ daha ko ganggu-ganggunu danakannu itu” (wahai engkau ‘tamuni’ atau ‘dodomi’ segera balik ke asalmu wahai kakak dari adikmu ini, janganlah engkau mengganggu kehidupan saudaramu ini).
Ternyata, ketika ‘tamuni’ atau ‘dodomi’ yang telah ditenggelamkan ke dasar laut itu dengan sendirinya menghilang atau ghoib, karena ‘tamuni atau dodomi’ itu telah kembali keasalnya dengan izin ‘Adipapuan” yakni Allah Swt, subhanallah (Maha Suci Allah).
Dalam tradisi orang-orang Bajo Joronga dalam hal menentukan masuknya awal Ramadhan atau awal bulan puasa, maka metode yang digunakan oleh mereka dengan cara melihat tanda-tanda air laut yang pasti mengalami perubahan keadaan air laut saat ketika akan memasuki awal Ramadhan, sehingga antara keadaan air laut yang ‘pangirri baka pasolon’ atau keadaan air laut yang pasang dan/atau air laut yang surut.
Maka, biasanya yang terjadi adalah keadaan air laut saat itu tidak dalam kondisi ‘pangirri dan tidak ‘pasolon’ atau dengan kata lain, bahwa air laut ketika itu berada pada kondisi yang air lautnya mengalami keadaan yang staga’ atau stabil kedudukan air laut dalam beberapa menit saja.
Sehingga, kondisi air laut yang seperti ini akan mempengaruhi yang namanya pohon ‘samo’ atau gamsungi yang ada di lautan. Maka, pada saat itu pohon ‘samo’ atau gamsungi tersebut dengan sendirinya mengalami keterpecahan buahnya yang berwarna putih itu, dan secara otomatis buahnya akan muncul atau terapung kepermukaan laut yang jumlahnya sangat banyak, dan pada permukaan lautan ketika itu akan terlihat putih dengan buah ‘samo’ atau ‘gamsungi’ al-maqshud.
Jika, fenomena alam yang seperti ini telah terjadi dalam tradisi orang-orang Bajo Joronga, maka hal ini sebagai tanda alam lautan bahwa telah jatuh awal atau 1 (satu) Ramadhan atau awal bulan puasa yang kemudian ditandai dengan pelaksanaan shalat Sunnah Taraweh dan makan sahur dimalam harinya dengan niat untuk melaksanakan ibadah shaum atau puasa.
Dan, inilah yang dikatakan sebagai salah satu Fikihnya orang-orang Bajo Joronga dalam menentukan jatuhnya awal bulan Ramadhan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Wallahu ‘alam bisshawab. (*)