MERAJUT KEMBALI KETERBELAHAN SOSIAL PASCA PILKADA

Oleh: Ramli Yusuf/Akademisi IAIN Ternate

SALAH SATU DARI DAMPAK pemilu langsung adalah perpecahan social, baik sesama saudara, tetangga, teman akrab, maupun lingkungan kerja juga ikut terseret ke dalam episentrum pertarungan politik yang tidak sehat.

Bahkan konon kabarnya problem domestik urusan hubungan suami istri pun terganggu akibat perbedaan pilihan. Indikasi perpecahan ini sudah mulai terjadi ditengah tahapan kampanye sedang berlangsung.

Para kandidat terus berupaya melakukan strategi kampanye negative, dengan memanipulasi data dan informasi tertentu untuk menghancurkan serta menjatuhkan citra lawan politik. Intensitas kondisi ini berlanjut sampai masa pencoblosan dan tampak makin seru. Karena di antara mereka terus saling menyerang, bahkan menyasar hingga membongkar hal-hal yang bersifat pribadi di luar batas etika.

Namun keseruan itu seketika berubah dan trendnya mulai menurun seiring dengan dilakukan penghitungan suara di TPS masing-masing. Perhatian pemilih kemudian beralih tertuju ke layar kaca diberbagai stasiun TV untuk mengikuti perkembangan informasi mengenai hasil pemilu.

Sejumlah lembaga survei berlomba merilis hasil quick count dan real count guna mengetahui siapa paslon yang bakal unggul serta mendapat kepercayaan dari rakyat memimpin daerah ini. Bacaan gestur menunjukan ekspresi diraut wajah semua paslon dan masa pendukung kelihatan tegang, cemas, gelisah, bahkan berkeringat dingin.

Akibat tidak mampu menahan emosi karena melihat dilayar kaca pergerakan angka-angka diantara paslon saling menyalip antara satu dengan yang lain. Ketegangan begitu terasa ibarat menonton permainan bola kaki terjadi perebutan di depan gawang sampai menimbulkan teriakan histeris para penonton tapi tidak menghasilkan gol.

Kini, semua suasana itu telah berakhir, luapan kemarahan cacian, ejekan, fitnah, dan kebohongan dilancarkan dengan tujuan menjatuhkan lawan politik menunjukan tensinya secara perlahan sudah mulai turun.

Kita berharap agar pasangan calon yang merasa tidak puas terhadap hasil pengumuman resmi KPU nanti dapat menggunakan hak konstitusional dan membawanya kerana sengketa pemilu untuk diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK). Terlepas dari apakah MK masih bisa dipercaya oleh rakyat sebagai benteng terakhir pencari keadilan, hanya Tuhanlah yang tahu.

Namun kondisi carut marut politik pilkada kemarin masih tetap menyisakan suka duka di kalangan pendukung. Bagi pendukung yang menang akan merasakan suka cita yang luar biasa, mungkin cukup diekspresikan melalui pawai bersama. Tetapi euforia ini dirayakan tak perlu terlampau berlebihan sampai kebablasan.

Akan jauh lebih damai jika disyukuri dalam bentuk silaturrahmi akbar. Sebaliknya paslon yang belum beruntung nasibnya menjadi gubernur, bupati, dan walikota mungkin akan mengalami duka yang mendalam atas kekalahan dirinya termasuk masa pendukung yang loyal.

Tentu sebagai calon pemimpin, kita juga dituntut harus berjiwa besar, bersikap legowo, dan belajar untuk mengakui kekalahan. Politisi sejati pantang menyerah terhadap segala perjuangan dan pengorbanan, bahkan selalu siap menerima seberat apapun duka dan resiko yang harus dijalani.

Rakyat rindu akan pemimpin yang mampu memberi teladan dan bertanggungjawab. Ciri sederhana dari sikap keteladanan itu adalah satunya kata dan perbuatan. Jadi apa yang sudah dijanjikan dalam kampanye politik, apalagi tertuang dalam visi, missi dan program harus benar-benar dapat dibuktikan dan dilaksanakan secara konsisten.

Inilah yang akan tagih oleh rakyat, bukan hanya sebatas jargon politik dan retorika belaka penuh janji-janji atau memberi harapan palsu. Karakteristik lain dari pemimpin bertanggungjawab biasanya sangat konsen atas penderitaan rakyat, tidak cepat lupa (amnesia) terhadap masa pendukung yang begitu berjasa mengantarkan dia sukses meraih kemenangan.

Karena itu, setelah terpilih dan dilantik secara resmi menjadi gubernur, bupati atau walikota, maka mereka bukan lagi pemimpin sekelompok orang berdasarkan latar belakang ideologi partai, suku dan agama melainkan pemimpin kita semua warga masyarakat Maluku Utara.

Sehingga, untuk melayani kebutuhan rakyat harus dilakukan secara merata dan adil tanpa diskriminasi. Apalagi dalam situasi politik pasca pemilu saat ini, dibutuhkan sosok pemimpin yang cerdas, memiliki kepekaan sikap, dan kritis dalam memahami dan menyelesaikan masalah.

Maka, agenda utama yang mengawali karir sebagai seorang penjabat kepala daerah adalah bagaimana merangkul dan mengajak seluruh komponen masyarakat agar senantiasa mengedepankan sikap toleransi terhadap siapapun yang berbeda dengan kita.

Esensi perbedaan secara kodrati menurut agama dimaksudkan untuk kita saling kenal mengenal antara satu dengan yang lain, penuh toleran, hidup rukun, aman, dan damai. Potensi perbedaan ini juga perlu dikelola dengan baik untuk memperkokoh semangat persatuan dan kesatuan, sekaligus menjadi sumber kekuatan energik dalam proses pelaksanaan pembangunan.

Sekalipun kita tahu bahwa kehidupan social pasca pilkada mengalami keretakan yang luar biasa. Tetapi kita juga sangat berharap semoga para paslon dan pendukungnya yang mengalami kekalahan tidak membutuhkan waktu lama untuk bangkit kembali dan cepat melakukan recovery beradaptasi agar tetap survive.
Sebab, perubahan dan perkembangan kehidupan manusia tak akan pernah berhenti sebelum dunia ini tutup usia.

Maka kita dituntut punya kesadaran kolektif untuk turut menyumbangkan gagasan dan pikiran alternatif sehingga dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, guna merajut kembali keterbelahan sosial, demi terciptanya kondusivitas kehidupan masyarakat yang rukun dan sejahtera. (*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *