SOSIOLOGI MEMBACA

Herman Oesman Dosen Sosiologi FISIP UMMU

BACALAH dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”
(QS. Al ‘Alaq (96) :1)

Membaca, lebih dari sekadar mengartikan huruf-huruf, adalah sebuah tindakan sosial. Ia bukan hanya kerja mental individu, melainkan praktik budaya yang hidup dalam struktur masyarakat.

Setiap halaman yang dibaca sesungguhnya adalah medan pertemuan antara pengalaman pribadi dan dunia sosial yang lebih luas. Membaca menghubungkan manusia dengan sejarah, membuka kemungkinan-kemungkinan masa depan, sekaligus memantulkan struktur kekuasaan yang tengah bekerja.

Dalam perspektif sosiologi, membaca merupakan cermin sekaligus medan perjuangan tentang siapa yang berhak berbicara, siapa yang berhak mendengar, dan siapa yang dibungkam.

Pierre Bourdieu, dalam karyanya yang fenomenal, *Distinction*, menjelaskan bahwa kebiasaan membaca sangat berkaitan dengan modal budaya yang dimiliki seorang individu (Bourdieu, 1984: 94).

Karenanya, membaca bukanlah aktivitas yang bebas nilai; ia dipengaruhi oleh, meminjam istilah Bourdieu, _habitus_, yakni struktur mental dan sosial yang dibentuk sejak kecil, yang menentukan jenis bacaan apa yang dianggap “layak” atau “bergengsi.”

Seorang anak dari keluarga kelas menengah mungkin tumbuh dengan novel-novel sastra klasik, yang boleh saja sekarang sudah berganti dengan film-film dari Netflix di lemari buku atau gawainya, sementara anak dari keluarga biasa mungkin lebih akrab dengan cerita rakyat yang beredar dari mulut ke mulut. Di sini, membaca tidak sekadar memilih teks, melainkan memilih posisi dalam medan sosial.

Sosiologi membaca mengajak kita untuk bertanya: mengapa seseorang membaca, apa yang ia baca? Bagaimana kekuasaan menentukan akses terhadap bacaan? Membaca, dalam kerangka ini, bukanlah ruang netral. Ia adalah tempat di mana hegemoni kultural beroperasi, mengangkat jenis-jenis teks tertentu sebagai “kanon,” sambil mengabaikan narasi-narasi lain yang tak sesuai dengan norma dominan.

Seiring waktu, praktik membaca juga berubah sejalan transformasi ruang publik. Sebagaimana disentil Habermas, bahwa budaya membaca berkembang sejalan dengan lahirnya ruang publik borjuis di Eropa abad ke-18 (Habermas, 1989: 51).

Di kedai kopi, klub sastra mahasiswa, dan klub buku di kampung dan desa, membaca bukan lagi aktivitas privat semata, melainkan menjadi dasar diskusi kritis dan pembentukan opini publik, yang biasa digerakkan mahasiswa di lorong-lorong kampus yang geriap.

Membaca mendorong lahirnya “publik rasional”, yakni warga negara yang berpikir kritis dan dapat berdialog tentang urusan bersama.

Namun, dalam masyarakat kapitalis dan pragmatis, sebagaimana yang ada sekarang, budaya membaca mengalami komodifikasi. Buku-buku, jurnal, bahkan teks digital, dijual dan dipasarkan seperti produk konsumer lainnya. Bacaan populer membanjiri pasar, menciptakan ilusi kebebasan pilihan, padahal acapkali membelenggu dalam pola konsumsi massal yang dangkal.

Di sinilah ditemukan ironi : ketika membaca menjadi luas, substansi kritisnya justru kian melemah.
Membaca yang kritis merupakan bentuk perlawanan. Sebaliknya, membaca melawan arus, memilih untuk menyelami teks-teks alternatif, mendekonstruksi narasi dominan, merupakan tindakan politik. Sebagaimana Paulo Freire yang menekankan pentingnya “membaca dunia” sebelum “membaca kata.” Bagi Freire, membaca merupakan alat emansipasi, bukan sekadar akumulasi informasi (Freire, 1970: 87).

Dalam konteks ini, sosiologi membaca tidak hanya berhenti pada analisis sosial, tetapi meluas menjadi praksis perubahan. Membaca berarti membongkar struktur-struktur ketidakadilan yang membentuk pengalaman manusia. Ia adalah proses menyadari keterkaitan antara diri dan dunia, antara teks dan konteks.

Sosiologi membaca membuka mata kita bahwa setiap tindakan membaca adalah juga tindakan sosial. Ia merefleksikan modal budaya, medan kekuasaan, dan struktur sosial yang melingkupinya.

Membaca bukan hanya soal teks, melainkan soal dunia yang membentuk dan dibentuk oleh teks itu. Dalam dunia yang dipenuhi simulasi dan informasi instan, mempertahankan membaca sebagai aktivitas reflektif dan kritis merupakan bentuk keberanian sosial.

Di akhir esai pendek ini, ingin dikatakan, membaca tidak hanya berarti “membuka buku,” tetapi membuka dunia. Sebab setiap kata, setiap kalimat, merupakan percikan kecil dari arus besar sejarah manusia—arus yang dapat kita arungi dengan sadar, atau hanyut tanpa arah. Ayo mahasiswa, mari membaca dengan nalar yang riang dan kritis. Selamat Membaca Buku. (*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *