Runtuhnya Arogansi Israel Dibantai Rudal Hipersonik Iran

Oleh: Ramli Yusuf/ Akademisi IAIN Ternate

SELAMA ini Israel selalu mengklaim bahwa teknologi pertahanan militer mereka tidak akan dapat ditembus agresi musuh. Ternyata pernyataan itu terlalu terkesan bersifat paradoks.

Dimana Iron dome, devid’s sling, dan arrow family diyakini menjadi sistem pertahanan paling canggih, dan berfungsi untuk menghalau atau mengantisipasi serangan rudal balistik hipersonik jarak jauh, yang dimiliki Iran justru mengalami kegagalan akibat tidak mampu beroperasi secara maksimal.

Sejumlah gedung bertingkat termasuk pusat pangkalan militer mossad dan kilang minyak di Haifa sebagian hancur porak poranda karena terkena rudal dengan presisi tinggi. Serangan balik yang mematikan dilakukan Iran tanpa menunggu waktu lama langsung direspons begitu cepat, dan dampaknya cukup dahsyat terjadi diluar dugaan Israel.

Sepertinya Iran melakukan testing the water guna mengetahui seberapa hebat kekuatan persenjataan canggih Israel yang diagung-agung selama ini. Disinyalir pula bahwa kebanyakan rudal yang ditembak jatuh tepat sasaran, telah berhasil membumihanguskan sejumlah infrastruktur negara zionis merupakan stok lama yang hendak dihabiskan.

Maka penyerangan balasan bertubi-tubi oleh Iran dengan mengembangkan kekuatan rudal hipersonik fatah 2 yang memiliki kecepatan daya jelajah lima kali lipat dari kecepatan suara juga mampu bermanuver untuk mengecoh prediksi sistem pertahanan Israel.

Selain dari sisi kecepatan, rudal hipersonik yang dilengkapi wahana luncuran HGV dapat melakukan zig-zag sehingga sulit ditembak sebagaimana rudal balistik biasa, kata Alex Gatopoulos, editor pertahanan di Al-Jazeera.

Di tengah kepanikan dentumen rudal dan pesawat nirawak terus membombardir sejumlah kota besar di Israel. Perdana Menteri Netanyahu segera bertemu dengan Trump di gedung putih, sebagai sekutunya untuk membicarakan bagaimana Pentagon ikut terlibat memberikan dukungan dan bantuan untuk menyerang Iran.

Walaupun langkah tersebut telah dilakukan, namun kenyataan menunjukan bahwa kekuatan teknologi persenjataan yang diandalkan paling modern sekalipun oleh Israel tidak mampu melindungi dan menyelamatkan warganya sendiri dari ancaman maut.

Bahkan lebih menyakitkan lagi ketika membalas serangan Iran, rudal yang ditembak justru berbalik arah dan menghantam negaranya sendiri laksana senjata makan tuan.

Dunia tentu tahu bahwa dalang agresi Israel terhadap Iran pada tanggal 14 juni 2025 adalah Amerika Serikat. Sehingga tuduhan pemimpin tertinggi Iran, As-Sayyid Syarif Ali Hosseini Khamenei Al-Husaini membenarkan fakta itu dan menganggap Trump berada di balik semua kejahatan perang Israel vs Iran.

Termasuk skenario penyerangan menggunakan pesawat siluman B-2 yang menyasar pusat-pusat nuklir; baik Natan, Isfahan, dan Fordow. Tuduhan ini sulit terbantahkan, bahkan mengkonfirmasi hasil pertemuaan kedua tokoh tersebut.

Sebab, berselang waktu beberapa hari kemudian, Trump benar-benar mengeksekusi kebijakan itu. Kemudian mengumumkan kepada dunia bahwa pusat pengayaan nuklir Iran untuk pembuatan senjata pemusnah massal benar-benar telah hancur.

Trump berkeyakinan, setelah selesai penyerangan diharapkan kedua negara tersebut akan terjadi gencatan senjata agar perang tidak meluas. Terutama situasi geo politik kawasan regional terganggu dan makin tidak stabil apabila eskalasi konflik gagal dicegah.

Sebagian pengamat menilai serangan AS terhadap pangkalan nuklir Iran terkesan hanya sebagai aksi teatrikal. Karena berdasarkan laporan data satelit AS, bahwa semua bahan uranium yang berada dibeberapa industri tersebut, telah dievakuasi oleh Iran jauh sebelum penyerangan itu terjadi.

Sementara di sisi lain, Trump memang masih berupaya meyakinkan dan menyelamatkan muka Netanyahu, supaya popularitasnya tetap terjaga dan terus memperoleh dukungan dari masyarakat Israel.

Dalam hal penggunaan tenaga nuklir, Iran juga masuk sebagai salah satu anggota perjanjian Non-Proliferasi (NPT) sejak tahun 1968, tapi program nuklir yang dimiliki itu untuk tujuan damai.

Bukan dalam kerangka kepentingan pembuatan senjata nuklir, dan mereka secara terbuka menantang penggunaan senjata nuklir. Hanya saja Amerika selalu membuat standar ganda dalam pengambilan keputusan.

Padahal Israel juga memiliki energi nuklir, lantas mengapa tidak dilarang, malah dibiarkan hanya dengan berdalih mereka telah menarik diri dari perjanjian anggota Non-Proliferasi.

Sebenarnya kalau kita mau jujur menilai, Israel terlalu over confidance. Sehingga mereka lupa diri dan tanpa sadar bahwa teknologi persenjataan Iran mampu mengungguli kekuatan pertahanan mereka. Atau mungkin juga karena salah kalkulasi membuat perhitungan bahwa negara yang diserang itu bukan Palestina atau Yaman sebagai proksi Iran.

Kedua negara ini saja sulit dikalahkan dalam pertempuran, bagaimana mungkin menaklukan Iran. Mestinya Perdana Menteri Netanyahu harus belajar sejarah dari sekutunya, AS ketika terjadi perang teluk dulu. Karena alasan AS menyerang Irak dengan tuduhan yang sama ternyata tidak terbukti.

Sedangkan Iran agak berbeda, negeri para Mullah ini diakui cukup tangguh dalam menghadapi peperangan. Selama 40 tahun keadaan ekonomi mereka hancur karena diembargo oleh AS dan sekutunya. Namun, Iran tetap survive hingga saat ini, bahkan mereka berhasil membangun kekuatan teknologi persenjataan canggih dan sangat diperhitungkan dunia.

Kini, ending dari konflik peperangan kedua negara tersebut, benar-benar telah berakhir di meja perundingan pada tanggal 24 Juni 2025 dengan perjanjian gencatan senjata. Tetapi apakah Israel mampu menjamin dan menjaga konsistensi sikap politik mereka untuk mewujudkan stabilitas perdamaian dengan Iran? Hanya waktu sajalah yang bisa menjawab. (*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *