KEMATIAN dalam bahasa ilmu pengetahuan adalah berhentinya seluruh fungsi biologis yang menopang aktivitas kehidupan manusia.
Dimana semua peralatan vital baik yang berhubungan dengan pernapasan, detak jantung dan fungsi otak tidak dapat lagi bekerja secara permanen. Ini termasuk salah satu diantara beberapa tanda-tanda kematian. Tanda yang lain dapat kita amati yaitu fungsi vital organ tersebut tidak mampu merespon rangsangan dari luar.
Begitu juga perubahan pada tubuh orang yang sedang sakit menjelang kematian biasa ditandai pula dengan warna kulit menjadi pucat, keringat dingin, dan kaku, menunjukan ciri sebagai bagian dari proses pembusukan jasad. Dalam kajian ilmu kedokteran, kematian didefinisikan sebagai penghentian fungsi sirkulasi pernapasan, dan kelumpuhan batang otak yang diderita oleh manusia.
Alqurtubi menjelaskan bahwa kematian adalah terputusnya hubungan roh dengan jasad menyebabkan fungsi keduanya menjadi terhalang. Termasuk hubungan antara sesama manusia pun akan berakhir akibat datangnya kematian.
Itulah sebabnya, di dalam kehidupan ini tidak ada manusia yang dapat memastikan kapan maut itu datang menjemput kita.Sama halnya seperti kita mempertanyakan kapan dunia ini kiamat? Sekalipun kita memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang kosmologi.
Karena mengetahui tentang bagaimana proses asal-usul alam semesta ini berevolusi dan terbentuk melalui teori the big bang. Tetapi tetap tak akan dapat meramalkan secara pasti tentang datangnya hari kiamat.
Manusia hanya mampu membaca gejala atau tanda-tanda alam yang mungkin memberi isyarat bahwa akan terjadi musibah berupa bencana banjir bandang, gempa bumi, tanah longsor, dan sunami.
Namun kapan peristiwa yang mengerikan kehidupan manusia, menghancurkan bumi dan segala isinya ini bakal terjadi tak satupun ilmuan mampu memprediksinya.
Kematian juga sama tidak bisa diramalkan secara sains.
Dengan ilmu kedokteran moderen sekalipun hanya mampu mendiagnosis pasien untuk mengetahui penyakit apa yang sedang diderita. Bahkan dalam kondisi kritis tak sadarkan diri (koma)yang sudah tidak ada lagi harapan untuk disembuhkan. Pasien dipaksakan agar dapat bertahan dengan alat oksigen meski bersifat sesaat.
Sementara keluarga sedang menyaksikan naik turunnya detak jantung dan gelombang pernapasan melalui layar monitor semakin tidak stabil. Ekspresi di wajah mereka sudah mulai tampak panik dan gelisah, perasaan sedih tak bisa lagi disembunyikan.
Diantara mereka saling memandang dengan tatapan yang hampa dan mata berkaca-kaca sebagai pertanda bahwa orang yang selalu dicintai, dikasihi, disayangi, bahkan mungkin menjadi tumpuan dan harapan keluarga akan pergi dan berpisah untuk selamanya.
Dalam kondisi kritis seperti ini, biasa dua cara yang dapat ditempuh. Pertama, keluarga secara suka rela meminta dokter untuk melepaskan oksigen setelah menerima masukan dari orang pintar yang sudah berpengalaman menghadapi kasus-kasus kematian. Kedua, membiarkan oksigen tetap bekerja sampai pasien benar-benar dinyatakan oleh dokter telah menghembuskan nafas terakhir.
Cara pertama menjelaskan kepada kita bahwa secara medis pasien yang dalam kondisi kritis juga dokter tidak memiliki pendapat yang kuat untuk menjamin kapan pasien melewati masa emergensi itu. Artinya sudah tidak ada cara lain lagi yang bisa dilakukan oleh dokter untuk menyelamatkan nyawa pasien kecuali hanya menunggu datangnya keajaiban dari Tuhan.
Karena itu dokter yang agamis mengobati pasien selalu dimulai dengan doa. Dan meminta keluarga pasien untuk turut mendoakan mengingat obat yang paling mujarab sekalipun tanpa pertolongan Allah orang sakit tidak akan sembuh.
Sebab sandaran keyakinan spiritual dokter menuntun pasien ke jalan penyembuhan juga sangat mengandalkan kekuatan doa.
Cara kedua, memungkin kehadiran orang tertentu yang dianggap lebih mengetahui karena memiliki kemampuan spiritual dan pengalaman menyaksikan orang sakit sudah tak sadarkan diri sedang menghadapi sakratul maut.
Tetapi ini wilayah privasi keluarga sehingga dokter menyadari akan hal tersebut dan tidak ikut campur atau intervensi. Sekalipun dia tahu bahwa kondisi pasien tidak dapat diharapkan untuk hidup. Dia tetap konsisten menjalankan tugas secara professional, dan tidak boleh memvonis kematian pasien mendahului takdir Tuhan sebelum ajal menjemput. Mungkin akan jauh lebih bijak jika dokter memanggil keluarga agar memberi tahu keadaan yang sebenarnya. Selanjutnya untuk mengambil keputusan sepenuhnya berada ditangan mereka.
Dari sudut pandang pengetahuan proses manusia menuju taqdir kematian biasanya datang melalui berbagai sebab. Bahkan penyebab meninggalnya sangat beragam dan sulit diduga atau diprediksi sebelumnya. Ada yang kelihatan dalam keadaan sehat secara fisik tanpa sebab lain tiba-tiba terjatuh tak sadarkan diri langsung meninggal.
Sementara orang yang mengalami kecelakaan berat akibat benturan sangat keras hingga batang otak mengalami kelumpuhan dan meregang nyawa. Dilakukan pertolongan melalui tindakan medis oleh dokter membutuhkan waktu berhari-hari belum juga siuman.
Hal ini berarti bahwa kondisi pasien mengalami koma atau tidak sadarkan diri. Pada titik ini hanya dua kemungkinan yang akan terjadi. Apakah pasein bisa sembuh kembali dan menjalani kehidupan seperti biasa. Ataukah sebaliknya justru merupakan jalan terakhir menuju taqdir kematian.
Analogi kematian itu mirip seperti orang sedang tidur lelap, tidak dapat merespon rangsangan yang terjadi disekitarnya. Walaupun masih terus bernafas tetapi sulit dibangunkan.
Bahkan di jaman Yunani kuno, dalam The Iliad misalnya, Homer menyebut “tidur sebagai saudara perempuan kematian”. Dan Plato dalam The Opology-nya mengungkapkan kata-kata yang dikutip dari gurunya Socrates ketika baru divonis hukuman mati oleh majelis hakim Atena.
Seandainya kematian adalah tidur tanpa mimpi, maka hal itu pasti merupakan satu keuntungan yang luar biasa. Demikian pula kisah menarik untuk diteladani tentang 7 pemuda karena keteguhan imannya tidak mau percaya pada berhala, terpaksa harus melarikan diri dari penguasa zalim Raja Diqyanus, dan bersembunyi hingga tertidur selama 309 Tahun.
Kisah inspiratif ini diabadikan dalam Alquran surat Al-Kahfi.
Mereka bersembunyi di gua, tetapi bukan mati melainkan tertidur selama berabad-abad atas izin dan kehendak Allah. Memang agak sulit diterima dan dinalar dengan akal sehat, karena semua gerak-gerik kehidupan itu terjadi dibawah kendali Sang Pencipta pemiliki alam semesta.
Apakah kisah ini mungkin sama seperti istilah orang mati suri, Allahu A’lam Bissawab hanya Tuhan yang tahu. Lagi pula tak ada bukti emperis menunjukan bahwa ada orang lain yang menyaksikan ketiduran mereka saat itu. Berbeda dengan mati suri, karena dalam konteks medis, dikenal sebagai lazarus syndrome (autoresuscitation).
Di mana seseorang yang sempat dinyatakan meninggal dapat hidup kembali setelah upaya resusitasi jantung paru (CPR). Kondisi ini sering dikaitkan dengan near death experience (NDE), pengalaman subjektif saat seseorang mendekati kematian.
Kematian sesunguhnya adalah perpindahan manusia dari kehidupan dunia nyata menuju alam gaib. Setelah roh berpisah dari jasad dan tubuh kita akan kembali menyatu dengan tanah. sebagai tempat asal kejadian manusia.
Eksistensi mengenai roh tidak bisa diperdebatkan secara ilmiah. Karena itu, ketika orang kafir bertanya tentang roh, katakanlah hai Muhammad bahwa roh itu urusanKu, dan kamu tidak diberi pengetahuan terkecuali hanya sedikit.
Keluarnya roh dalam tubuh manusia adalah sesuatu yang mesterius karena tidak ada seorangpun yang melihat atau mengetahui. Kapan roh itu keluar, tiba-tiba saja denyut jantung terhenti sehingga pernafasan tak dapat lagi dirasakan.
Artinya orang itu benar-benar telah mati.
Studi emperis ilmuan barat menjelaskan kepada kita, bahwa pada awal abad ke-20, Perang Dunia Pertama Spanyol dilanda pandemi flu merenggut jutaan nyawa.
Timbul kesadaran akibat rasa kehilangan dan duka yang mendalam terhadap orang-orang tercinta mendorong masyarakat Barat pada masa itu berupaya menemukan alternatif kehidupan yang lebih tentram, aman, nyaman, dan damai.
Sehingga mereka kemudian mencari ketenangan jiwa lewat praktik spiritualisme. Tujuannya dengan harapan agar dapat berkomunikasi kembali dengan para almarhum melalui perantara (medium) spiritual.
Sir Arthur Conan Doyle, penulis ternama yang menciptakan tokoh detektif legendaris Sherlock Holmes dalam novel A Study in Scarlet (1887), hidup pada masa tersebut. Menurut pengakuannya kehidupan nyata yang dijalani justru dirasakan jauh lebih menyakitkan ketimbang kisah fiksi yang dia tulis.
Setelah diterpa cobaan tragis jiwanya mengalami goncangan yang luar biasa, karena kehilangan kedua putranya yang sangat disayangi justru dinyatakan meninggal. Yang satu meninggal dalam perang dan satu lagi akibat penyakit paru-paru.
Puncak dari kesabaran dan ketabahan menghadapi ujian berat tersebut, maka pada tahun 1919, Doyle menghadiri sebuah sesi pemanggilan arwah. Dalam pengalaman tersebut, dia mengaku mendengar suara putranya yang telah meninggal, bahkan merasakan kecupan lembut sang anak di dahinya.
Momen itu dikenang sekaligus menjadi titik balik, Doyle percaya bahwa itu adalah bukti nyata dimana jiwa tetap hidup setelah kematian. Sejak saat itu, dia mendedikasikan hidupnya untuk menyebarkan keyakinan akan keberadaan roh dan mempromosikan spiritisme kepada masyarakat luas.(*)