POLITIK AKAL SEHAT sepertinya hanya merepresentasi hak-hak kelompok masyarakat tertentu, yang cerdas menggunakan pemilukada sebagai sarana mewujudkan tujuan demokrasi secara elegan dan bermartabat.
Itu artinya akal dapat dioptimalkan fungsinya, guna menentukan hak berdemokrasi tanpa harus diintervensi atau didikte oleh siapapun dengan tawaran apapun.
Bagi mereka, pemilu bukan sekadar soal elektabilitas calon pemimpin yang disurvei untuk memotret persepsi masyarakat. Melainkan menyangkut prinsip dan esensi kehidupan setiap warga, apakah hak dan kemerdekaan berdemokrasi yang dimilikinya mampu dilindungi oleh negara atau tidak. Sebaliknya, politik akal bulus adalah upaya memanfaatkan sumberdaya material (money politic) untuk mempengaruhi hak pilih masyarakat dalam memenangkan kandidat tertentu.
Maka, tidak boleh heran menjelang hari pencoblosan H-1 selalu terjadi serangan fajar yang luar biasa. Berapa banyak jumlah uang beredar dengan nilai transaksi bervariasi, mendorong semua tim sukses berlomba saling mengejar suara pemilih.
Kondisi ini, menandakan demokrasi kita bukan saja tumbuh dalam budaya pragmatisme yang begitu tinggi, tapi sudah berada dalam ancaman kaum kapitalis dan predator politik. Fenomena perilaku politik seperti ini selalu dikendalikan oleh kekuatan oligarki berkolaborasi dengan penguasa dan merusak peradaban demokrasi, yang sudah susah payah kita bangun pasca reformasi.
Padahal, kita harapkan ke depan adalah agar politik akal sehat ini diasuh atau disponsori oleh kalangan orang berpendidikan harus terus disosialisasikan ke masyarakat.
Sehingga mereka tidak salah pilih. Sebab masalahnya, kesalahan menentukan pilihan akan berdampak terhadap produk kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak, melainkan hanya melindungi kelompok tertentu saja.
Jadi resiko penderitaan akibat salah pilih ditanggung oleh generasi selama lima tahun ke depan. Hal ini yang kita tidak inginkan terjadi. Jangan juga melakukan kalkulasi politik akal bulus, dalam mengais keuntungan sesaat dengan mengamputasi hak-hak demokrasi rakyat.
Karena ending dari drama politik akal bulus orientasinya adalah bagaimana memenangkan pertarungan para kandidat, untuk memenuhi hasrat dan sahwat kekuasaan, tak perduli apakah itu melanggar norma etik atau tidak.
Sementara kita mengakui bahwa praktik politik uang itu bukan saja melanggar norma hukum dan etika demokrasi, tapi juga mengabaikan prinsip hukum agama. Dimana posisi perbuatan orang yang memberi suap dan mereka yang menerima suap, kedua-duanya terancam sanksi dosa.
Mungkin dalam sistem hukum kita saat ini, masih sulit dibuktikan akibat tafsiran terhadap sejumlah pasal karet yang diterapkan akibat kelemahan undang-undang pemilu.
Kita sadar akan hal itu, bahwa setiap pemberian atau bantuan didasari oleh niat dan motivasi untuk berbuat kebaikan bernilai ibadah, membangun masjid, membantu anak yatim, fakir miskin dan atau amal sosial lain, maka tidak dapat dikategorikan money politik, dan dipandang sebagai perbuatan melawan hukum. Terkecuali tujuannya guna kepentingan memenangkan paslon atau kandidat tertentu baru disebut pelanggaran hukum.
Berbagai argumentasi hukum dibangun dan dikonstruksi demi mendalilkan pembenaran atas perbuatan tersebut. Kalau mau menggunakan akal sehat, untuk berpikir secara jujur dan objektif, apapun alasan di balik bantuan yang diberikan tetapi dilakukan pada momentum kampanye politik pilpres atau pilkada mestinya adalah money politik, sehingga konsekuensinya paslon harus didiskualifikasi.
Karena itu, sudah termasuk dalam kategori pelanggaran pemilu. Itulah akibatnya yang harus dipikul adalah rakyat sebagai penerima bantuan. jika politik menjadi panglima, maka hukum dapat distel untuk kepentingan penguasa.
Lihatlah bagaimana Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai benteng terakhir pencarian keadilan justru gagal membuktikan berbagai bentuk pelanggaran hukum pemilu karena sudah masuk dalam jebakan batman kekuasaan. Mereka mempertontonkan kemampuan akrobatisnya melindungi penguasa dan oligarki hanya mempertahankan keberlanjutan pemerintahan sekaligus melindungi dan memelihara kekuatan dinasti politik era Presiden Jokowi.
Kita diperhadapkan dengan fenomena yang kontrovesial dan menimbulkan polemik di kalangan ahli hukum tatanegara. Publik dibuat semakin bingung mencerna pembelajaran politik hukum seperti apa yang hendak ditegakkan di negeri ini.
Sehingga akal sehat sulit diterima, padahal begitu banyak bentuk pelanggaran pemilu, diajukan sebagai bukti, tapi tak satu pun mampu mematahkan argumentasi hukum dalam amar putusan MK.
Prosesnya dimulai sejak penetapan Gibran menjadi calon wakil presiden sudah dianggap sebagai bentuk pelanggaran etik, karena melibatkan pamannya Anwar Usman. Namun apa hendak dikata anjing menggonggong kafila berlalu, itulah adagium klasik yang sering diungkapkan.
Kondisi penegakan hukum kita sedang mengalami krisis moral melibatkan konspirasi oknum para hakim tertentu dengan oligarki kekuasaan. Realitas demokrasi ini, sepertinya hendak dicederai secara berjamaah dan terstruktur, sehingga mengakibatkan seluruh pranata hukum tidak berdaya untuk mencegah. Ini menjadi preseden buruk sepanjang sejarah pemilu presiden RI.
Oleh sebab itu, politik akal sehat menjadi penting dan harus dimaknai bukan dalam konteks demokrasi procedural, melainkan demokrasi substantif. Terkadang tanpa sadar kita cenderung mengakali demokrasi prosedural untuk membarikade dan meloloskan kepentingan calon tertentu melalui transaksi money politik.
Padahal, kita sedang meremehkan dan menjatuhkan martabat manusia dengan mempreteli kesempatan untuk menyuarakan hak politik. Tuhan saja menjunjung tinggi derajat manusia dan bahkan memberikan hak kebebasan serta kemerdekaan sepenuhnya untuk menentukan pilihan. Mengapa sesama kita, justru saling mencelah dan menjatuhkan dengan cara-cara keji dan kotor, hanya karena perbedaan ideologi politik dan keyakinan agama yang dianut.
Dalam sejarah transisi kekuasaan negeri ini, strategi politik akal bulus dan akal fulus hampir tak pernah kalah. Bahkan mungkin selalu berhasil meruntuhkan prinsip-prinsip demokrasi dimana suara rakyat adalah suara Tuhan tidak lagi mendapat perlindungan untuk dihargai dan dihormati oleh institusi hukum negara.
Kemungkinan inilah memberi ruang bagi hak rakyat menyalurkan aspirasi secara langsung, umum, bebas dan rahasia (luber) sangat mudah disabotase entah dengan cara apapun, kotak suara dibuang kelaut atau kertas suara dibuat rusak agar tidak sah dalam penghitungan.
Bahkan, yang lebih parah lagi adalah upaya memobilisasi aparatur sipil negara (ASN), melalui jalur birokrasi agar dapat meraih dukungan suara secara utuh, terutama bagi incumbent, sehingga segala cara harus dilakukan termasuk menggunakan tangan-tangan besi dalam melanjutkan kekuasaan.
Secara kasat mata, kita juga melihat langkah ini seringkali gagal dibuktikan oleh Bawaslu sebagai bentuk pelanggaran Terstuktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Begitu kejamnya skenario politik akal bulus bekerja di luar nalar yang penuh misteri.
Belajar dari pengalaman demi pengalaman, harusnya membuat kita tersadar bahwa tugas dan tanggungjawab untuk membangun keadaban politik dan demokrasi menjadi konsen bagi setiap anak negeri. Akhirnya kondisi ini mengibaratkan kita tumbuh dalam demokrasi yang benar-benar kekurangan gizi, tidak sehat karena kebutuhan paling dasarnya sudah diamputasi.
Fakta ini yang kemudian mengkonfirmasi hasil rilis data riset The Economist Inteligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia secara konsisten turun dua peringkat setiap tahun. Sehingga posisi terakhir saat ini berada diperangkat ke 64 dari 167 negara di dunia.
Namun demikian, kita tak ingin lagi bangsa ini set back ke belakang, meski kita tahu harapan dalam mewujudkan budaya dan iklim kehidupan negara yang demokratis masih sebatas jargon politik, ketimbang menegakan sikap konsistensi untuk menjunjung tinggi, dan menghargai hak kebebasan warga menyampaikan pendapat sesuai kehendak hati nurani. Sebab dengan kejujuran hati nurani sajalah yang berani mengatakan demokrasi politik akal sehat Yes dan Politik akal bulus No! (*)