IAIN Ternate Gelar Kuliah Umum Pendidikan Anti Korupsi, Deputi BPPSM KPK Sebut Kebiasaan Masyarakat Melahirkan Budaya Gratifikasi

Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK RI, Dr. Ir. Wawan Wardiana, MT

PIKIRANPOST.COM– Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bekerjasama dengan IAIN Ternate menggelar kuliah umum Antikorupsi, Selasa (13/6).

Kegiatan yang belangsung di Auditorium IAIN Ternate tersebut dihadiri Plh rektor, Dr Adnan Mahmud, S.Ag, MA, Dekan Fakultas Syariah Prof Dr H Jubair Situmorang, M,Ag dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Dr Abu Sanmas, S.H., MH serta dosen, ratusan mahasiswa, kegiatan tersebut mengusung tema terkait Pembangunan Budaya Integritas Melalui Pendidikan Anti Korupsi.

Dalam kesempatan tersebut Plh Rektor IAIN Ternate, Dr Adnan Mahmud, S.Ag, MA mengatakan IAIN Ternate merupakan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) tertua di provinsi Maluku Utara.

Dia mengungkapkan IAIN Ternate sebelumnya adalah Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Cabang Makassar, dan resmi beralih status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), kemudian bertransfromasi menjadi IAIN pada 2014 silam.

“Lahan yang ditempati saat ini merupakan fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Makassar, dan kita sudah mengalami transformasi dari fakultas Tarbiyah menjadi STAIN pada 1997, kemudian ke IAIN. Dan, saat ini kita tengah melakukan berbagai persiapan untuk transformasi ke UIN,” ungkapnya

Soal persiapan menuju UIN, Adnan mengaku sejumlah persyaratan telah terpenuhi seperti pengembangan kampus, dan Sumber Daya Manusia (SDM). Dia menilai salah satu persyaratan yang kini menjadi perhatian adalah akreditasi program studi.

“Tetapi secara institusional bahwa kepemimpinan rektor sekarang tengah melakukan perbaikan untuk melengkapi sejumlah persyaratan, guna melakukan transformasi ke UIN,” terangnya

Lebih lanjut, ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Maluku Utara menyampaikan bahwa di IAIN Ternate, memang belum memiliki mata kuliah antikorupsi. Walupun begitu, Adnan menilai pendidikan antikorupsi sudah diajarkan melalui mata kuliah Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan.

Menurutnya, penambahan mata kuliah, praktis ikut menambah beban Satuan Kredit Semester (SKS). Sehingga, pihaknya lebih memilih mengajarkan pendidikan anti korupsi pada dua mata kuliah tersebut.

“Sehingga, kami merumuskan dan memutuskan materi-materi anti korupsi itu pada mata kuliah pancasila dan pendidikan kewarganegaraan,” paparnya.

Sementara itu, Deputi KPK Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Dr Ir Wawan Wardiana, MT memaparkan empat hal penting terkait pemberantasan korupsi di Indonesia yakni kondisi korupsi di Indonesia, peran KPK, membangun integritas, dan peran Perguruan Tinggi dalam pemberantasan korupsi.

Dia menilai pemberantasan korupsi di Indonesia, tidak terlepas dari peran serta sejumlah organisasi masyarakat, baik yang ada di Indonesia maupun di luar negeri, menurutnya penilaian organisasi kemasyarakatan itu, terkait dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang ada di Indonesia. Menurut dia, IPK yang disampaikan adalah dalam bentuk angka, yakni angka 0-100 persen.

“Kalau kita bicara kondisi korupsi, maka ada beberapa potret yang dilakukan oleh teman-teman di luar negeri maupun di Indonesia, potret tersebut memperlihatkan bagaimana kondisi Indonesia sesungguhnya,” paparnya

Dia mengungkapkan, bahwa apabila suatu negara dalam potret pemberantasan korupsi mendekati angka nol persen, maka negara tersebut masih diberi predikat sebagai negara korup, atau rentan melakukan korupsi.

Begitupun sebaliknya, jika negara yang mencapai angka mendekati seratus persen, praktis disebut kerentanan korupsinya sangat rendah, bahkan tidak terdengar masyarakat melakukan korupsi pada negara tersebut.

“Sepuluh negara terkorup di Asia Tenggara versi Transparency International tahun 2022, kita berada di urutan kelima, hanya Singapura satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menempati negara dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) terbaik, karena mereka berada pada angka 80 persen, dan menempatkan mereka setara dengan negara-negara Eropa Utara,” ungkapnya

Menurut Wawan Wardiana, masyarakat masih cenderung menilai bahwa IPK adalah kewenangan KPK. Sehingga, kata dia, baik buruknya IPK tentu yang disoroti hanya KPK, padahal kata dia, IPK merupakan potret secara keseluruhan. Untuk itu, menurutnya jika mewujudkan negara bebas korupsi, bukan hanya yang dilihat hanya peran KPK, melainkan semua lembaga negara.

“KPK adalah bagian dari negara, sementara yang mendukung nilai-nilai tersebut menjadi bagus atau tidak, ya itu adalah kinerja semua pihak,” tandasnya

“Kalau kita bicara ekspor dan impor di sana ada kementerian keuangan, kalau kondisi pengendalian barang pokok ada kementerian perdagangan, kalau kita bicara perizinan ada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Jadi, hampir semua kementerian ini juga dipotret dalam bentuk indeks persepsi korupsi, sayangnya masyarakat kita ini masih punya persepsi bahwa IPK itu, untuk memperlihatkan kinerja KPK, ahkhirnya apa? Kementerian-kementerian terkait, ketika IPK merosot ya mereka tenang-tenang saja,” paparnya

Untuk itu, menurut dia bukan hanya KPK, melainkan harus ada peran serta semua lembaga negara, termasuk masyarakat ikut serta dalam mewujudkan IPK yang jauh lebih baik.

Terkait mendongkrak nilai IPK, dia mengaku KPK membuat potret melalui Survei Pengendalian Integritas (SPI) terhadap kementerian, lembaga negara, pemerintah daerah dari provinsi, sampai di kabupaten dan kota. Hal ini, kata dia untuk menilai budaya organisasi instansi, serta bagaimana pengelolaan perencanaan anggaran yang dilakukan.

“Di sini, selain kami memberikan angka, juga rekomendasi untuk memperbaiki tata kelola perencanaan keuangan dan instansi. Jadi, SPI itu memotret sebuah instansi, kemudian hasilnya dikembalikan ke instansi tersebut. Ada rekomendasi diberikan, supaya mereka melakukan perbaikan-perbaikan, kalau butuh pendampingan KPK, maka KPK memberikan pendampingan kepada mereka.”jelasnya

Selain KPK berperan mendongkrak IPK, Wawan mengungkapkan bahwa KPK juga mengukur indikator pemberantasan korupsi melalui survei yang dilakukan Global Corruption Barometer. Kata dia, survei yang dilakukan GCB lebih pada hubungan masyarakat dengan kantor pemerintah, lembaga pendidikan, kantor polisi, maupun lembaga pemerintah lainnya.

Dari survei yang dilakukan GCB, kata dia menghadirkan data bahwa 30 persen masyarakat Indonesia adalah orang dermawan. Hal ini menurutnya, ikut menumbuhkan praktik gratifikasi di Indonesia. Dia mengungkapkan bahwa masyarakat kita, ketika berurusan di kantor pemerintah, lembaga pendidikan, kantor polisi kerap memberi uang lebih pada petugas, dia menilai administrasi yang seharusnya gratis, tapi masyarakat selalu memberikan uang terima kasih.

“Pokoknya 30 persen masyarakat kita selalu ngasih lebih, kenapa demikian? Ketika ditanya kenapa kalian kasih lebih, jawaban mereka karena diminta sama petugas, kalau nggak dikasih, nggak mungkin urusannya beres. Jadi, bukan sikap dermawan yang dilihat, tapi hal ini nantinya menghadirkan diskriminasi pada masyarakat lainnya, karena pasti mereka diperlakukan berbeda, apabila tidak memberi sesuatu sebagai ucapan terima kasih,” jelasnya

Dia menjelaskan bahwa tenaga administrasi pada Perguruan Tinggi, kantor pemerintah dan lainnya, dalam menjalankan tugas, tentu diganjar dengan gaji dan honorarium, sehingga masyarakat tidak sepatutnya memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih. Sebab, sikap seperti ini, menurut dia nantinya ikut menyuburkan praktik gratifikasi di Indonesia.

“Kenapa yang ditangani KPK lebih dominan adalah gratifikasi? Karena potret masyarakat kita ya seperti itu, suka memberi untuk mempercepat proses, akibatnya seperti seseorang yang ditakdirkan menjadi pejabat negara dan yang satunya sebagai pengusaha, lalu terjadi kasih mengasih atau suap, dan akhirnya ditangkap KPK, Makanya kalau kita melihat mayoritas atau hampir 80 persen yang ditangkap KPK karena terlibat aksi suap menyuap,” ungkapnya

Walaupun kasus suap yang kerap terjadi, namun menurut dia, berdasarkan survei yang dilakukan BPS menunjukkan perilaku anti korupsi dari masyarakat pada setiap tahun sudah jauh lebih baik.

“Jika dilihat dari angka, masyarakat kita setiap tahun cenderung makin anti korupsi, jadi melalui kegiatan sosialisasi seperti ini, begitupun juga bimtek, dan kampanye anti korupsi, membuat masyarakat Indonesia mulai melek, mulai bersikap anti korupsi,” pungkasnya

Untuk diketahui, kuliah umum yang berlangsung di auditorium diakhiri dengan pemberian hadiah pada lima mahasiswa dan seorang dosen, oleh Deputi KPK Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Dr Ir Wawan Wardiana, MT, lantaran mereka menyampaikan pertanyaan dan tanggapan terkait pemberantasan korupsi di Indonesia.(*)

Penulis : Hms

Editor   : S.S.Suhara

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *