PEMILU ARENA KONFLIK

Oleh: Fahrul Abd Muid/ Penulis adalah Dosen IAIN & Sekretaris ICMI Kota Ternate

KONSEP PEMILU yang demokratis adalah adanya situasi yang dikenal dengan istilah berkepastian hukum pemilu/pemilihan dan berkepastian prosedur pemilu/pemilihan, tetapi hasil pemilu/pemilihan tidak bisa diprediksi oleh siapa pun sepanjang tahapan pemungutan dan penghitungan suara pemilu/pemilihan belum dilaksanakan.

Maka, tidak dibolehkan bagi semua pihak untuk mengatakan bahwa, hasil pemilu/pemilihan serentak tahun 2024 sudah diketahui hasilnya bahwa, partai A, partai B, partai C, dan pasangan calon tertentu yang keluar sebagai pemenangnya sedangkan, tahapan pemungutan dan penghitungan suara saja belum dilaksanakan.

Dan, salah satu hal penting untuk menjaga proses penyelenggaraan pemilu/pemilihan yang berintegritas yaitu, adanya kepastian hukum pemilu/pemilihan maka, kepastian hukum pemilu/pemilihan disini setidak-tidaknya mempunyai empat makna yaitu, pertama, tidak ada kekosongan hukum pemilu/pemilihan, kedua, tidak terjadi multi-tafsir, ketiga, tidak saling bertentangan satu pasal dengan pasal yang lainnya, keempat, aturannya dapat dilaksanakan.

Maka, proses penyelenggaraan pemilu/pemilihan yang berintegritas ini sering kali dimaknai secara mudah yakni satunya kata dengan tindakan/perbuatan artinya, bahwa penyelenggara pemilu/pemilihan dalam bertindak dan membuat policy (kebijakan) pada pelaksanaan tahapan pemilu/pemilihan itu harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan (peraturan, regulasi, kerangka hukum pemilu/pemilihan) yang telah disediakan menu-menu pasalnya oleh undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan dan peraturan komisi pemilihan umum (PKPU) pada setiap pelaksanaan tahapan pemilu/pemilihan serentak tahun 2024.

Bahwa, untuk melaksanakan tahapan pemilu/pemilihan harus berdasarkan pada regulasi yang telah disepakati bersama antara penyelenggara pemilu/pemilihan yakni salah satunya adalah KPU, legislatif (DPR) dan eksekutif (pemerintah) dalam forum rapat dengar pendapat (RDP) yang seringkali digelar oleh DPR RI pada komisi 2 (dua) untuk melakukan pembahasan bersama dan, mendapatkan persetujuan bersama antar ketiga lembaga negara ini untuk kemudian menetapkan suatu peraturan tertulis yang dibuat oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini adalah KPU untuk mengundangkan suatu peraturan komisi pemilihan umum (PKPU) sebagai peraturan teknis untuk pelaksanaan undang-undang pemilu/pemilihan.

Mengutip pendapatnya Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari yang mengatakan bahwa, “pemilu/pemilihan dimaknai sebagai ‘arena konflik’ yang dianggap sah dan legal untuk kemudian dapat mempertahankan kekuasaan dan/atau untuk mencapai kekuasaan oleh peserta pemilu/pemilihan dalam memperrebut alokasi kursi yang jumlahnya sedikit pada setiap daerah pemilihan tapi, jumlah calon legislatifnya sangat banyak agar berkompetisi untuk memperoleh suara terbanyak pada tahapan pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara secara serentak di.seluruh wilayah kesatuan republik Indonesia.

“Maka, kemudian dapat dimaknai bahwa, sebenarnya posisi KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai penyelanggara pemilu/pemilihan adalah sebagai “manajer konflik” dalam penyelenggaraan pemilu/pemilihan sehingga, yang harus ditampilkan oleh KPU secara berjenjang dalam bentuk mengambil tindakan dan policy/kebijakan yang tidak kemudian menunjukkan bahwa, KPU secara berjenjang dapat berpotensi dicurigai berpihak/tidak netral dan, penyelenggara pemilu/pemilihan dikatakan sebagai bagian dari faktor penyebab terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) bagi semua pihak dalam penyelenggaraan tahapan pemilu/pemilihan.

Tapi, tentu saja hal-hal ini tidak selalu berjalan secara mulus di lapangan dan, tentu saja dalam realitasnya pasti terdapat problem-problem yang terjadi di lapangan dan, fakta ini benar-benar dirasakan oleh penyelenggara pemilu yakni KPU itu sendiri.

Paling tidak, dalam kerangka hukum pemilu/pemilihan seringkali KPU diperhadapkan secara nyata bahwa, dalam proses penyelenggaraan tahapan pemilu/pemilihan maka, realitasnya disana-sini dapat ditemukan masih adanya problem kekosongan hukum pemilu/pemilihan, masih terjadi multi-tafsir peraturan perundang-undangan pemilu/pemilihan, masih terjadi problem pertentangan hukum dalam pemilu/pemilihan dan, adanya ketentuan tertulis yang tidak dapat dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu/pemilihan yaitu KPU.

Kemudian, seringkali yang dihadapi oleh KPU bahwa, aturannya sudah tersedia/tertulis tapi, pada konteks pelaksanaannya dilapangan tidak sesuai benar dengan aturan yang tersedia karena, bisa jadi terletak pada persoalan pemahaman yang multi-tafsir oleh penyelanggara pemilu baik, KPU, Bawaslu dan DKPP, dan disisi yang lain bisa jadi, karena problem internalisasi aturan tertulis yang belum memadai/belum cukup.

Oleh karena itu, jika kita ingin berkehendak agar penyelenggaraan tahapan pemilu/pemilihan serentak tahun 2024 dapat berjalan dengan baik dan lancar, maka, yang harus dilakukan oleh penyelenggara pemilu yakni KPU adalah, memastikan tersedianya kerangka hukum pemilu/pemilihan yang memadai.

Dalam konteks ini bahwa, setidak-tidaknya KPU sebagai penyelenggara teknik tahapan pemilu/pemilihan harus bisa melakukan identifikasi aturan selevel undang-undang pemilu/pemilihan bahwa, apakah terdapat kekosongan hukum pemilu/pemilihan? apakah ada yang potensial terjadi multi-tafsir memahami pasal-pasal dalam undang-undang pemilu/pemilihan? apakah ada yang saling bertentangan antara satu pasal dengan pasal lainnya dalam undang-undang pemilu/pemilihan?

Dan tentunya regulasi yang disediakan harus dapat dilaksanakan dengan mudah pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang pemilu/pemilihan oleh penyelenggara pemilu/pemilihan yakni KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Karena, dalam praktiknya terhadap norma-norma dalam undang-undang tentang pemilu/pemilihan seringkali dilakukan judicial review oleh para pihak yang merasa tidak puas dengan pasal-pasal tertentu dalam undang-undang pemilu/pemilihan tersebut di Mahkamah Konstitusi yang dianggap berpotensi bertentangan dengan undang-undang dasar 1945.

Maka, idealnya jika dalam judicial review/uji materi atas undang-undang pemilu/pemilihan yang kemudian dikabulkan oleh MK dengan menerbitkan amar putusannya yang berbunyi bahwa, menurut penilaian MK bahwa, norma pasal yang di judicial review tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945 maka, norma tersebut pastinya dibatalkan oleh putusan MK sehingga, idealnya pembatalan sebuah pasal dalam undang-undang pemilu/pemilihan oleh MK itu harus diikuti dengan revisi terbatas atas undang-undang pemilu/pemilihan atau, kemudian harus diikuti dengan diterbitkannya peraturan pengganti undang-undang/perpu oleh Presiden.

Bahwa, realitas selama ini sangat banyak dialami oleh KPU dalam proses yang terjadi seperti ini dan, sama sekali tidak pernah diikuti dengan diterbitkannya peraturan perundang-undangan oleh pemerintah untuk mengatur kekosongan hukum yang sudah dibatalkan oleh MK maka, kemudian KPU harus mengambil tindakan/kebijakan yang progresif yang pengaturannya diatur secara tertulis dalam peraturan komisi pemilihan umum (PKPU) sebagai pelaksana teknis undang-undang pemilu/pemilihan dengan mengadopsi cara pandang Mahkamah Konstitusi.

Dan, walaupun tindakan/kebijakan yang dilakukan oleh KPU tidak ideal tetapi, demi memastikan agar penyelenggaraan tahapan pemilu/pemilihan tidak terjadi peristiwa kekosongan hukum pemilu/pemilihan maka, suka atau tidak suka bahwa, KPU tidak ada pilihan lain kecuali melakukan tindakan/kebijakan yang kreatif dan progresif dengan cara memberikan pengaturan tertulis dalam peraturan komisi pemilihan umum (PKPU) agar, tidak terjadi adanya kekosongan hukum dalam penyelenggaraan tahapan pemilu/pemilihan serentak tahun 2024.

Oleh karena itu bahwa, peraturan komisi pemilihan umum (PKPU) bersifat progresif, ‘adil, dan bersifat operasional maka, kemudian KPU harus menyiapkan serangkaian peraturan lainnya untuk memastikan kerja-kerja teknik KPU secara berjenjang berdasarkan norma peraturan yang tertulis karena, memang KPU dihadapkan pada realitas yang sedemikian rupa bentuk kerumitannya untuk di lakukan model standar operasional prosedur (SOP) yang menggambarkan lima (5) hal didalamnya pertama, siapa yang melakukan, kedua, melakukan apa, ketiga, bagaimana caranya, keempat, bagaimana kerangka waktunya, kelima, ouputnya seperti apa.

Karena, semua kegiatan-kegiatan untuk pelaksanaan tahapan pemilu/pemilihan yang diselenggarakan oleh KPU sangat dibatasi dengan waktu sehingga, standar keberhasilan kerja-kerja KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota adalah terselenggaranya pemilu/pemilihan yang tepat waktu artinya, tersedianya calon terpilih atau tersedianya pasangan calon terpilih yang siap dilantik sebelum berakhirnya masa jabatannya dalam rangka agar tidak terjadi keadaan yang menyebabkan adanya kekosongan jabatan khususnya, kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Semisal, ketika terjadinya proses sengketa hasil pemilu/pemilihan di Mahkamah Konstitusi oleh para pemohon yang merasa tidak puas dengan penetapan hasil pemilu/pemilihan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota maka, posisi KPU sebagai termohon dalam menyampaikan jawaban tertulis pada proses persidangan di MK dan, pengajuan alat bukti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berbentuk dokumen hasil penghitungan suara dan pendokumentasian pada proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS semuanya dapat dipastikan dengan benar atau tidak ada kekeliruan atas kerja-kerja KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS hanya, yang menjadi problem tersendiri adalah hasil pendokumentasian pada data tentang penggunaan hak pilih di TPS karena, di TPS itu ada 3 (tiga) kategori pemilih yaitu, pertama, daftar pemilih tetap (DPT), kedua, daftar pemilih tambahan (DPTb), dan ketiga, daftar pemilih pindahan (DPPh) sehingga, hal ini masih menjadi problem tersendiri yang seringkali terjadi pada sisi pendokumentasiannya yang belum maksimal.

Dengan demikian bahwa, KPU harus memastikan pada level peraturan-peraturan yang diterbitkan baik berbentuk PKPU tahapan pemilu/pemilihan dan peraturan teknis lainnya semisal Keputusan KPU, Surat Edaran, Juknis dan, standar operasional prosedur (SOP) yang akan digunakan sebagai pedoman dalam memberikan jaminan kepastian hukum pada kerja-kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS dan, yang tidak kalah pentingnya adalah KPU harus melakukan model-model traning atau pelatihan yang mencukupi bagi jajarannya dan, harus secara simultan agar dilakukan model supervisi, monitoring dan lebih-lebih KPU harus melakukan strategi pengendalian yang komprehensif bagi jajaran KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota agar memiliki pemahaman yang seragam atau pemahaman yang sama tentang pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan tahapan pemilu/pemilihan.

Jika, semua tata cara pelaksanaan tahapan penyelenggaraan tahapan pemilu/pemilihan dijalankan dengan on the track, sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan, dapat dilaksanakan secara baik dan benar maka, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dipastikan tidak akan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) diantara semua pihak pada pelaksanaan pemilu/pemilihan serentak tahun 2024.

Mengingat bahwa, KPU secara berjenjang memiliki kewenangan yang sangat besar yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk memutuskan siapa yang terpilih dan siapa yang tidak terpilih dalam pelaksanaan pemilu/pemilihan. Semoga bermanfaat tulisan ini. Wallahu ‘alam bisshawab.(*)

 

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *