PEMILU DAN KUN FAYAKUN

Oleh: Fahrul Abd. Muid/Penulis adalah Dosen pada Fakultas Ushuluddin IAIN Ternate

MENURUT PEMIKIRAN partai Jabariyyah (fatalisme) yang mempunyai keyakinan bahwa semua perbuatan (af’al al-‘ibad) yang dilakukan oleh manusia di atas dunia ini bersumber dari Allah, bukan berasal dari perbuatan manusia itu sendiri, sehingga manusia diibaratkan seperti wayang, sedangkan Allah adalah dalang-Nya yang memainkan wayang itu.

Misalnya, jika manusia membunuh manusia lain, maka sesungguhnya yang membunuh itu bukan manusia, tetapi yang membunuh itu sebenarnya Tuhan yang membunuhnya. Sedangkan partai Qadariyyah memiliki keyakinan yang berbeda dengan partai Jabariyyah, menurut keyakinan partai Qadariyyah, bahwa semua perbuatan manusia bersumber dari manusia itu sendiri bukan dari Tuhan.

Manusia bebas melakukan perbuatannya (free will) dalam berkehendak. Maka yang membunuh manusia itu adalah manusia sendiri sekali lagi bukan Tuhan. Bagi keyakinan partai Qadariyyah tidak ada Qadha dan Qadar Allah bagi manusia, melainkan Allah baru mengetahui setiap kejadian itu setelah kejadian itu terjadi, tetapi sebelum terjadi kejadian itu, maka Tuhan tidak mengetahui-Nya, karena paham partai Qadariyyah dan partai Muktazilah sangat anti dengan Qadha dan Qadar Allah Swt serta mereka tidak percaya keduanya. Tuhan didikte oleh mereka coba itu!.

Disisi lain, paham partai Muktazilah memiliki pandangan yang lebih Liberal, bahwa tidak ada Qadha (ketetapan) dan Qadar (ukuran) dari Allah yang berlaku bagi perbuatan manusia, tetapi Allah mengetahuinya. Misalnya, Allah tidak mencampuri perbuatan manusia tentang kesuksesan dan kegagalan manusia dalam bekerja, melainkan Allah mengetahui-Nya.

Pada pelaksanaan Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah antara pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI dan/atau antara pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubenur dan/atau Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dan/atau Calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang mengikuti Pemilihan Umum serentak tahun 2024.

Maka menurut paham partai Qadariyyah bahwa Allah tidak ikut campur dalam proses Pemilihan Umum, sehingga Allah tidak ikut campur atas siapa yang akan menang dan siapa yang nanti kalah dalam Pemilu 2024, tetapi Allah hanya mengetahui siapa pasangan Capres/Cawapres yang menang dan siapa pasangan yang kalah setelah ada hasilnya.

Jika salah satu pasangan Capres/Cawapres dinyatakan menang oleh KPU, maka kemenangannya itu atas dirinya sendiri bukan kemenangan yang ditentukan dan/atau bersumber dari Allah, tetapi bagi paham partai Jabariyyah adalah kebalikannya.

Kedua paham partai Jabariyyah dan partai Qadariyyah saling berlawanan dalam memahami (af’al Allah) perbuatan Allah pada diri manusia, perlawanan pemikiran keduanya bagaikan arah wilayah antara Kutub Utara dan Kutub Selatan yang tidak akan pernah bertemu. Maka kedua paham ini sangat keliru bahkan salah kaprah karena sangat membatasi kuasa takdir Allah Swt.

Tetapi agaknya tidak konsisten juga paham partai Jabariyyah ini karena masih tetap berpegang kepada makna ‘alhamdulillahi rabbil ‘alamin’, bahwa sesungguhnya Allah yang memberikan kenikmatan yang paling sempurna atas manusia, maka Allah itulah yang harus dipuji oleh manusia dengan mengatakan segala puji bagi Allah atas nikmat yang diberikan kepada manusia.

Sedangkan paham partai Qadariyyah mengatakan, kalau iman manusia itu adalah perbuatan yang lahir dari manusia, maka manusia itu berhak untuk dipuji bukan Allah yang berhak untuk dipuji. Kalau paham partai Jabariyyah adalah kebalikan dari paham partai Qadariyyah.

Misalnya, sahabat Abu Bakar Ashshiddiq dan Umar bin khattab beriman, jika yang memberikan iman itu adalah Allah, maka Allah yang berhak untuk dipuji, jika kafirnya Abu Jahal itu dari Allah bukan dari Abu Jahal itu sendiri, maka yang berhak untuk dipuji adalah Allah bukan Abu Jahal.
Paham ini juga salah dan keliru bahkan sangat membatasi kekuasaan Allah Swt yang mutlak memiliki kekuasaan atas diri manusia sebagai ciptaan-Nya.

Seandainya imannya Abu Bakar itu dari dirinya sendiri, maka yang berhak untuk dipuji adalah Abu Bakar bukan Allah yang dipuji bagi paham partai Qadariyyah. Dan, apabila imannya Abu Bakar itu adalah dari Allah dan Abu Jahal kafirnya itu dari Allah, maka yang berhak untuk dipuji adalah Allah bagi paham partai Jabariyyah.

Mereka memuji dengan ungkapan segala puji bagi Allah yang memberikan iman yang sempurna kepada manusia, maka Allah berhak untuk dipuji oleh manusia. Mereka senang dipuji dengan apa saja yang mereka perbuat, ucapan ‘alhamdulillah’ itu makna secara Zahir adalah tertuju kepada Allah bukan kepada pihak lain, maka Allah berhak untuk dipuji, maka iman manusia itu berasal dari Allah.

Kalau manusia beriman kepada Allah karena perbuatan manusia itu sendiri, maka manusia akan puji atas dirinya sendiri, hal itu sangat tidak baik atau sangat buruk bagi manusia untuk memuji dirinya sendiri.

Ketika Allah memulai kitabnya dengan kalimat ‘alhamdulillah’ yang dimaknai bahwa Allah memuji dirinya sendiri adalah sangat baik dan pantas, tetapi kalau manusia memuji dirinya sendiri terkesan sangat jelek dan sangat tidak pantas. Kondisi Allah sangat berbeda dengan kondisi manusia itu sendiri.

Kita mensucikan Allah dengan cara diqiaskan dengan perbuatannya Allah dengan perbuatan makhluk. Banyak sekali segala sesuatu yang menurut pandangan manusia adalah jelek dan buruk, tetapi dalam pandangan Allah itu adalah sangat baik dan bagus.

Menurut paham partai Muktazilah dalam keyakinannya, bahwa yang dilakukan oleh Allah hanyalah terbatas pada perbuatan yang baik-baik saja, sedangkan pada perbuatan yang buruk-buruk itu Allah tidak melakukannya, melainkan dari manusia itu sendiri.

Jika manusia melakukan perbuatan baik, maka wajib bagi Allah agar memberikan balasan pahala kebaikan atas manusia itu dan wajib bagi Allah untuk memasukkannya kedalam surga. Dan, jika manusia melakukan perbuatan buruk, maka wajib bagi Allah untuk memberikan balasan dosa kepadanya dan juga wajib bagi Allah untuk memasukkan manusia itu kedalam neraka. Maka partai Muktazilah sama sekali tidak percaya dengan adanya Syafa’at ‘Ammah untuk seluruh umat manusia dari Rasulullah Saw pada hari Mahsyar nanti.

Sedangkan menurut paham partai Abu al-hasan al-‘Asy’ari/Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, bahwa terhadap perbuatan manusia dalam kebaikan dan keburukan yang dilakukan oleh manusia di atas dunia ini, maka terhadap balasan pahala kebaikan dan dosa atas perbuatan manusia yang baik dan yang buruk yang dilakukan manusia itu menjadi hak preogratif Allah untuk memberikan balasan-Nya dan itu terserah kepada Allah untuk memasukkan manusia itu kedalam surga atau kedalam neraka.

Disini, Allah memiliki sifat qiyamu binafsihi/bebas atau merdeka untuk menentukan kehendak-Nya (iradah) untuk memberikan balasan atas perbuatan baik manusia agar dimasukkan kedalam neraka dan memberikan balasan dosa atas perbuatan buruk manusia agar dimasukkan kedalam surga, sepenuhnya adalah terserah kepada Allah saja.

Apakah Allah akan memasukkan manusia yang melakukan perbuatan baik itu kedalam neraka, dan apakah Allah akan memasukkan manusia yang berbuat dosa itu kedalam surga sepenuhnya adalah terserah kehendak (iradah) Allah.

Dan partai Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (aswaja) sangat percaya dengan adanya Syafa’at Rasulullah Saw nanti pada hari Mahsyar yang akan diberikan kepada seluruh umat manusia (mukmin atau kafir), dan pada hari itu Allah akan mengatakan kepada Rasulullah Saw terkait dengan kebutuhan apa saja yang dimintakan akan dikabulkan oleh Allah, maka Rasulullah Saw kemudian meminta kepada Allah agar memasukkan semua umatnya kedalam surga.

Maka akan terjadi di hari kiamat nanti rahmat Allah akan disiramkan kepada manusia yang berlumuran dosa itu yang kemudian menyebabkan semua dosa-dosa manusia itu akan menjadi hilang dan manusia akan terbebas dari dosanya sendiri karena berlakunya ampunan (maghfirah) dari Allah kepada para pendosa, sehingga manusia yang banyak dosanya jangan pernah pesimis atau berputus asa dengan dosanya itu, karena pasti diampuni oleh Allah.

Maka semua pihak (peserta pemilu, para caleg, pasangan calon) yang terlibat dalam pelaksanaan Pemilu/Pemilihan tahun 2024 harus memiliki strategi yang is the best untuk keluar sebagai pemenangnya. Karena kalianlah yang lebih mengetahui kekurangan dan kelebihannya masing-masing untuk menang dan kalah dalam Pemilu ini. Jangan lupa bekerja serta bermunajat kepada Tuhan sebagai pemilik takdir kuasa.

Sedangkan menurut paham partai Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (aswaja), bahwa manusia memiliki batasan kemampuan maksimal untuk menang dan kalah dalam pelaksanaan Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Kepala Daerah serentak tahun 2024, persoalan hasilnya ada yang menang dan yang kalah pasti berlakunya Qadha dan Qadar dari Allah dalam menentukan hasilnya siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Maka perbuatan Allah (‘Af’al Allah) yang akan menentukan hasil pelaksanaan Pemilihan Umum/Pemilihan, tetapi adanya ikhtiar dari perbuatan manusia yang maksimal untuk mendukung kemenangan manusia yang ikut dalam pemilihan Umum/pemilihan.

Karena Allah sangat mengetahui proses dan hasil pada pelaksanaan Pemilihan Umum, baik sebelum, sekarang dan sesudah semuanya berada dalam Ilmunya Allah. Maka perbuatan Allah (‘af’al Allah) ada dibalik proses pelaksanaan Pemilu dan perbuatan Allah (‘Af’al Allah) yang menentukan siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah dalam Pemilihan Umum serentak tahun 2024.

Manusia memang wajib melaksanakan kewajibannya yang diberikan Allah kepadanya, sehingga manusia tidak pantas untuk dipuji lagi karena ia telah melaksanakan kewajibannya itu. Kalau demikian begitu, jika Allah mengetahui perbuatan manusia yang buruk berarti Allah itu tidak sempurna dan Allah main-main apalagi jika ada faktor lain yang dilakukan pujian kepada selain Allah.

Sebenarnya Allah itu dipuji karena Dzatnya yang memang sudah terpuji, bukan dipuji karena Allah memberikan rahmat atau perbuatan kepada manusia. Dan Allah tidak butuh dengan pujian-pujian dari manusia karena Allah sendiri sudah terpuji dengan Dzat-Nya dan sifat-sifat Allah Yang Maha Sempurna.

Persoalan manusia itu akan beriman atau tidak beriman kepada Allah merupakan hak prerogatif Allah untuk menentukan iman manusia dan terserah Allah akan memasukkan manusia yang beriman dan manusia yang kafir itu kedalam surga atau kedalam neraka.

Maka perbuatan manusia (‘af’al al-naas) yang bertindak sebagai penyelenggara Pemilihan Umum/Pemilihan (KPU, Bawaslu, DKPP) itu merupakan perbuatan yang muncul dari dalam manusia itu sendiri yang memiliki daya dorong kompetensi/kemampuan sebagai penyelenggara pemilu/pemilihan yang pada hakikatnya kemampuan itu bersumber dari Tuhan-Allah Swt, dan perbuatan manusia (‘af’al al-naas) secara otomatis membersamai dengan kehendak (iradah) Tuhan dalam pelaksanaan tahapan proses Pemilu/pemilihan dan kehendak Allah Swt yang menentukan hasil Pemilihan Umum.

Saya, anda dan kita semua wajib percaya dengan adanya ketetapan Allah melalui Qadha dan Qadar-Nya (rukun iman) dalam memberikan ketetapan atas hasil Pemilu/Pemilihan tentang siapa peserta Pemilu/Pemilihan khususnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan menang dan siapa yang akan kalah dalam pelaksanaan pemilu/pemilihan serentak tahun 2024 yang disebut dengan Takdir Kuasa.

Jika Allah Swt Tuhan Yang Maha Kuasa sudah berkehendak untuk berikan kekuasaan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, maka Allah cukup dengan kalam-Nya “Kun Fayakun” jadi, maka jadilah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk berkuasa untuk Indonesia yang dibarengi dengan ikhtiar yang maksimal ketika mengikuti kontestasi dalam pelaksanaan pemilu/pemilihan serentak 2024. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam bisshawab.(*)

banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner banner

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *