Oleh: Fahrul Abd. Muid/Penulis adalah Dosen ‘Ulumul Qur’an-Fakultas Ushuluddin IAIN Ternate
SUKU BAJO KEPULAUAN Joronga lebih dikenal sebagai suku laut atau suku yang identik dengan kelautan. Sejak awal kehidupannya, suku Bajo ini dikenal sebagai suku sang pengembara laut atau manusia ‘Ma Laotan’, karena mereka al-‘adah (kebiasaan) hidupnya sejak awal secara nomadik di atas lepa atau perahu-perahu tradisionalnya.
Namun, saat ini sebagian besar dari suku Bajo telah hidup menetap dengan mendiami 6 (enam) desa di Kepulauan Joronga, yaitu; desa Kukupang, Kurunga, Liboba Hijrah, Pulau Gala, dan desa Tawabi. Budaya mereka adalah senang membangun pemukiman di gugusan karang atau di pantai-pantai.
Namun, tetap rumah-rumah mereka masih terlihat dibangun di atas laut dan bahkan lokasi laut yang menjadi pemukiman orang Bajo itu, mereka bisa merubahnya menjadi pemukiman daratan oleh orang Bajo hari ini. Sebagai suku laut, suku Bajo Kepulauan Joronga memiliki kepercayaan asli mereka yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam-semesta tempat untuk mereka survive (bertahan hidup).
Mereka percaya kepada para penguasa laut yakni Nabi Khidir AS, yang mereka sebut sebagai Mbo Ma Dilao. Karena, orang Bajo Kepulauan Joronga 100 % (seratus persen) memeluk agama Islam dan sulit kita temukan atau jumpai didunia ini ada orang Bajo yang beragama non-Islam.
Oleh karena itu, identitas keagamaan orang Bajo Kepulauan Joronga adalah perpaduan antara keyakinan Islam dan keyakinan asli mereka kepada para penguasa laut. Tapi, bukan berarti orang Bajo Islam Kepulauan Joronga memiliki keyakinan ganda dalam aqidahnya atau mereka melakukan perbuatan syirik kepada Allah Swt.Justru, sebaliknya orang Islam Bajo Kepulauan Joronga memiliki keyakinan aqidah yang mantap kepada ‘Adipapuan’ atau Allah Swt.
Maka tulisan ini akan berfokus pada proses pembentukan dan pergulatan identitas keagamaan suku Bajo di Kepulauan Joronga, dan bagaimana suku Bajo Kepulauan Joronga membentuk identitas keagamaan mereka dalam hubungannya dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya, serta bagaimana pengaruh dan tantangan dari luar terhadap identitas keagamaan mereka itu dialami dan dihadapi.
Sehingga, menjadi penting untuk memotret Islam suku Bajo yang tinggal di Kepulauan Joronga sebagai entitas komunal yang sangat unik untuk terus menerus dijadikan sebagai objek penelitian lebih lanjut oleh para peneliti agar suku Bajo Kepulauan Joronga tidak lagi menjadi warga negara Indonesia kelas bawah yang selama ini termarjinalkan.
Maka, kehadiran tangan Negara Republik Indonesia melalui Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara agar wajib memberikan perhatian yang serius dalam bentuk program pemberdayaan masyarakat nelayan kepada suku Bajo Kepulauan Joronga, program pengadaan air bersih, progam pengadaan jaringan seluler telekomunikasi, dan program penyediaan alat transportasi perhubungan laut antar Kepulauan Joronga dengan Ibu Kota Kabupaten Halmahera Selatan.
Dalam proses pembentukan identitas keagamaan suku Bajo, lingkungan alamnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan keyakinan asli mereka. Sementara itu, suku Bajo Kepulauan Joronga telah memeluk Islam tidak lama setelah Islam masuk ke Nusantara ini.
Pergulatan yang terjadi pada identitas keagamaan suku Bajo Kepulauan Joronga antara lain berupa tantangan-tantangan yang terjadi pada keberagamaan orang Bajo, yang bisa dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu: pertama, tantangan dari keislaman dari darat kepada keislaman orang Bajo; kedua, tantangan dari Islam resmi versi pemerintah kepada Islam tradisional Bajo; dan ketiga, tantangan dari proses modernisasi dan globalisasi, terutama berupa komodifikasi terhadap ritual-ritual keagamaan suku Bajo.
Respons yang dilakukan oleh suku Bajo Kepulauan Joronga terhadap tantangan-tantangan tersebut adalah berupa politik identitas keagamaan, yaitu suatu mekanisme yang berperan untuk menentukan unsur-unsur esensial yang tidak bisa berubah dan unsur-unsur lainnya yang bisa berubah dalam identitas keagamaan suku Bajo, dalam proses pembentukannya yang terus-menerus sehingga lebih adaptif sesuai dengan perkembangan zaman.
Islam telah menjadi bagian penting dalam identitas budaya orang Bajo Kepulauan Joronga, karena dipengaruhi oleh orang Arab-keturunan Al-Baar yang pernah berdagang ke Kepulauan Joronga sekaligus mengajarkan tentang ajaran Islam kepada suku Bajo yang satu ini.
Maka, kemudian mereka sangat diwarnai oleh nilai-nilai ajaran Islam sebagai buah pikiran orang Bajo dalam melukiskan kehidupan mereka. Meskipun Islam telah diterima oleh masyarakat Bajo Kepulauan Joronga sebagai identitasnya, namun penerimaan ajaran Islam tersebut tentu tidak serta-merta. Sehingga, penerimaan Islam oleh masyarakat Bajo Kepulauan Joronga tentu melalui proses negosiasi dan perkembangan terus-menerus, dalam rangka proses pembentukan dan pembangunan identitas mereka.
Proses negosiasi ini yang terpenting adalah proses negosiasi antara penerimaan nilai-nilai Islam dengan kepercayaan tradisional (indigenous belief) mereka sebagai suku laut, dan proses interaksi dengan orang-orang darat. Oleh karena itu, perlu dilihat konteks sejarah kehidupan orang Islam Bajo Kepulauan Joronga, termasuk asal-usulnya, untuk mengantarkan kita akan mengetahui secara komprehensif proses pembentukan identitas suku Bajo Kepulauan Joronga.
Sebelum mendapatkan pengaruh ajaran Islam, maka masyarakat Bajo Kepulauan Joronga telah mempunyai keyakinan tradisional mereka sendiri (indigenous belief), yang ajaran-ajarannya tertuang dalam adat, tradisi, dan ritual-ritual tradisonal mereka. Bentuk tradisonal masyarakat Bajo ini antara lain adanya keyakinan spritual terhadap penguasa laut yang diistilahkan sebgai “Mbo Ma Dilao”. Sebelum pergi melaut, masyarakat Bajo Kepulauan Joronga umumnya diawali dengan membaca mantra-mantra tertentu untuk memohon keselamatan dan hasil laut yang banyak kepada Mbo Ma Dilao.
Selain itu, masyarakat Bajo Kepulauan Joronga juga melakukan ritual dan membaca mantra-mantra untuk memohon kepada Mbo Ma Dilao ketika ada anggota masyarakat Bajo yang sakit, dan juga mereka memohon perlindungan dan kesejahteraan kepada ‘Adipapuan’ yakni Allah Swt.
Hal ini, terlihat pada budaya pengobatan orang Islam Bajo Kepulauan Joronga kepada seseorang yang sedang sakit, model pengobatan dimaksud dinamakan dengan ‘disasaokan” sebuah ritual pengobatan yang diwujudkan dalam bentuk ‘ditibanan raki’ yang didalamnya diisi dengan unsur telur, nasi kuning, buah pinang-siri dan seterusnya, dan kemudian dihanyutkan ke lautan dengan maksud agar melalui washilah pengobatan ini orang yang sedang sakit dapat disembuhkan oleh ‘adipapuan’ yakni Allah Swt.
Walaupun orang Bajo Kepulauan Joronga mengidentifikasi diri sebagai orang laut, namun kehidupan mereka hari ini tidak bisa dipisahkan sama sekali dari kehidupan daratan. Karena, orang Islam Bajo Kepulauan Joronga tetap membutuhkan bahan makanan pokok, seperti beras, gula pasir, kopi-teh, sagu atau umbi-umbian, air tawar, dan kayu bakar, yang hanya bisa diperoleh dari daratan.
Sementara itu, orang darat tetap bisa hidup tanpa mengandalkan hasil-hasil laut yang menjadi hasil utama dan mata pencaharian orang Islam Bajo Kepulauan Joronga. Dengan keadaan seperti ini, maka posisi tawar orang Bajo menjadi lebih dha’if (lemah) dibandingkan dengan orang darat, karena bagaimana pun juga ketergantungan mereka kepada daratan lebih tinggi dibandingkan orang darat yang tidak terlalu bergantung kepada lautan.
Dengan demikian, dengan adanya peran lembaga pendidikan keagamaan yang ada di Kepulauan Joronga yaitu, Madrasah Ibtidaiyyah Al-Khairaat, Madrasah Tsanawaiyyah, dan Madrasah Aliyah Swasta saat ini.
Dan, yang paling besar pengaruhnya adalah eksistensi Madrasah Ibtidaiyyah Al-Khairaat di Kepulauan Joronga yang saat itu dipimpin oleh seorang Ustazd yang ‘alim bernama al-Ustazd Mochtar Yusuf (al-Marhum) atau sering dipanggil oleh orang Bajo dengan sebutan Mbo Wasalahu, beliau adalah orang asli Tidore yang menikah dengan seorang perempuan Bajo Kepulauan Joronga, sepanjang hidup beliau telah berhasil mengajarkan ilmu keislaman model Al-Khairaat atau Nahdlatul ‘Ulama (NU) yaitu, model Islam Ahlu Al-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja) kepada masyarakat Islam Kepulauan Joronga.
Dan, pada generasi selanjutnya, tampil putra Bajo Kepulauan Joronga yang sangat ‘alim bernama KH. Muhammad Said Abdullah (al-Marhum), beliau berhasil mengajarkan ajaran Islam Aswaja yang lebih komprehensif kepada suku Bajo Kepulauan Joronga dan kepada seluruh umat Islam yang ada di Provinsi Maluku Utara, beliau ini merupakan muridnya al-Habib ‘Idrus bin Salim Al-Jufri atau yang sering dipanggil oleh murid-muridnya dengan sebutan ‘Guru Tua’, beliau (Guru Tua) adalah pendiri utama Madrasah al-Khairaat di Palu Sulawesi Tengah.
Sosok Ustadz Muhammad Said Abdullah (al-Marhum) semasa hidupnya, beliau berjuang secara gigih tanpa mengenal lelah untuk kemudian melanjutkan perjuangan ‘Guru Tua’ dalam memajukan model pendidikan Madrasah Al-Khairaat di seluruh pelosok/kampung yang ada di Wilayah Provinsi Maluku Utara.
Maka, tradisi orang-orang Islam Bajo Kepulauan Joronga hari ni pada masalah sosial-kemasyarakatan sangat dipelihara dan diamalkan.
Semisal tradisi; Memutar biji Tasbih, membaca kata “Sayyidina” dalam Shalawat, berjabat tangan sesudah shalat fardhu, pujian, memutar Tarhem, adanya Bilal saat Shalat Jum’at, Khatib Jum’at, kulit binatang kurban untuk beduk Masjid, membaca shalawat ketika memandikan Jenazah.
Kemudian cara memikul dan memasukkan jenazah ke liang lahat, membaca talqien, melaksnakan Tahlil, memperingati Maulid Nabi Saw, membaca Barzanji dan Diba’ setiap malam jum’at, membaca surat Yasin, Azan anak lahir, Tawassul, Tadarrus Al-Qur’an, berjabat tangan laki-laki dan perempuan, mencium tangan, membaca Mantra-mantra, mengangkat pemimpin, Wali Nikah mewakilkan, dan menghormati kepada Pejabat.
Oleh karena itu, suku Islam Bajo Kepulauan Joronga hari ini, sudah memiliki Paradigma yang berkemajuan dalam segala bidang untuk membangun peradaban modern dengan sebuah gerakan ‘thalabul ‘ilmi’ (menuntut ilmu) agar mereka harus menuju kepada spirit peradaban daratan.
Sehingga, putra-putri suku Bajo Kepulauan Joronga sudah banyak yang khuruj (keluar) dari Kepulauan Joronga setelah tamat dari Madrasah Aliyah dan SMK untuk menuntut ilmu pengetahuan pada level Perguruan Tinggi baik, Negeri maupun Swasta di Provinsi Maluku Utara dan di luar Provinsi Maluku Utara dengan memilih jurusan umum maupun jurusan agama. Maka, hari ini ketersediaan sumber daya manusia suku Bajo Kepulauan Joronga berjumlah cukup banyak baik, lulusan S-1, S-2, dan lulusan S-3.
Hal ini, semakin menunjukkan angka yang signifikan pada setiap tahunnya, yang kemudian tidak kalah pentingnya dengan sumber daya manusia (SDM) bagi suku-suku yang lain di Kabupaten Halmahera Selatan dan di Provinsi Maluku Utara. Semoga bermanfaat tulisan ini. Wallahu ‘alam bisshawab.(*)