MASIH segar dalam ingatan sebuah lanskap masa kecil saya, ada sebuah kebiasaan atau bisa disebut sebagai sebuah rutinitas hening di senja malam hari Kamis.
‘Mama’ sapaan akrab saya pada sosok seorang Ibu, dengan suara lembut tetapi tegas, selalu meminta untuk menjalankan sebuah tugas yang terasa sakral, yaitu: meletakkan segelas air putih di tengah meja kayu agak sedikit ke arah barat di ruang tamu kami.
Saya sadari sebagai anak kecil yang masih dibentuk oleh perintah dan kepatuhan, tindakan semacam itu adalah sebuah dogma. Saya juga tidak pernah bertanya “mengapa?”, “Bagaimana?”. Menurut saya gelas itu harus berada di sana sebelum langit menjadi malam sepenuhnya.
Seusai Shalat Magrib saya kembali ke rumah memandang gelas itu untuk beberapa saat, terasa gelas itu berdiri di antara kesunyian, memantulkan cahaya lampu tepat berada di atasnya.
Ketidaktahuan saya itu mulai tersibak ketika saya keluar di halaman rumah tak sengaja mata saya menangkap sebuah pola yang berulang, di rumah tetangga, di seberang jalan hingga ke ujung gang kampung kami, pemandangan serupa tersaji, di mana segelas air putih harus benar-benar berada di sana—disebuah ruangan tamu yang memiliki meja.
Saya merasa ada sebuah kesepakatan tak tertulis sebuah tindakan komunal yang mengatur setiap rumah memiliki pola yang sama dan di waktu yang sama pula. Kini, saya memandang praktik tersebut bukan sekadar kebiasaan atau rutinitas semu, tapi sebuah pernyataan kebudayaan yang kaya makna, ia (Air) adalah sebuah ‘artefak simbolis’ tentang sebuah hubungan kosmologis yang tak terelakan.
Sebuah tradisi akan menggambarkan perasaan manusia dalam kehidupan, ekspresinya adalah sebuah pernyataan kebudayaan bukan sekadar ritual tanpa makna. Clifford Geertz, dalam “The Interpretation of Cultures”, menyatakan bahwa kebudayaan adalah “jaringan-jaringan makna” (webs of significance) yang dipintal oleh manusia itu sendiri.
Oleh karena itulah setiap tradisi bukan ceremonial tapi sebuah teks budaya yang memuat goresan-goresan makna, nilai, norma dan gambaran kehidupan ideal manusia. Nilai dan makna dari sebuah tradisi, juga dapat dilihat pada ritual segelas Air putih di atas meja bagi orang Maluku Utara—tidak semua wilayah—yang meletakkan setiap malam Jumat.
Mungkin saja bagi orang luar, ini hanyalah sebuah kebiasaan takhayul dan tanpa makna. Namun dalam pandangan antropologi ini adalah pernyataan “teks budaya”, mengungkapkan hubungan kosmologi secara ritualistik, kehidupan sosial dan bagaimana cara pandang masyarakat tentang dunia yang mereka huni.
Dalam kajian mendalam kita akan dapati sebuah pemahaman tentang Air yang bukan sekadar Air, tetapi simbolisme, konsep ruang dan juga waktu sakral sebuah tradisi, menciptakan sebuah keadaan sosial-psikologis yang sarat nilai. Inilah yang ingin saya jelaskan kepada kita semua.
“Air” secara konsep, adalah medium paling penting bagi manusia, entah untuk kesucian atau untuk sebuah proses pemurnian. Dalam lokalitas, kita akan menemukan kosmologi ritualistik dari Air, sebagian masyarakat Maluku Utara percaya bahwa Air dapat menghubungkan berbagai alam, yang kasat maupun yang abstraksi, di balik sifatnya yang netral ada kekuatan untuk menyerap dan menyalurkan sebuah energi pada seseorang atau makhluk hidup yang lain. Tidak heran, berbagai ritual ke-Adat-an di Maluku Utara tidak bisa meniadakan Air sebagai kelengkapannya.
Penjelasan tentang “Air” juga dikemukakan oleh James J. Fox, ia menyatakan kesamaan pandangan tentang ‘Simbolisme Air dalam Masyarakat Austronesia’, bahwa Air seringkali dimaknai secara metafora oleh sebuah tradisi, Air adalah pelambangan dari kehidupan, keturunan dan sebuah berkah.
Itu artinya, meletakkan Air di atas meja pada malam tertentu bukan sekadar sirkulasi oksigen atau hidrogen dalam ilmu kimia, tapi ia adalah sebuah pernyataan simbol kebudayaan, sebuah gestur penghormatan. Kemurniannya diharapkan menjadi solusi dari kekuatan negatif yang mungkin saja menghampiri rumah. Anda akan menemukan sebuah organisasi sosial, yang digambarkan melalui penghayatan dan pernyataan simbolisme “Air” ini.
Dalam kepercayaan kuno “malam Jumat” atau Kamis malam, merupakan gerbang yang memungkinkan dua alam saling berhubungan secara harmonis, sehingga orang-orang dulu meyakini, bahwa waktu ideal melaksanakan sebuah ritual adalah di malam Jumat, ini bukan sebuah kebetulan, tapi sebuah keyakinan yang lebih tua dan lebih dahulu hidup di hampir seluruh penjuru Indonesia, termasuk Maluku Utara. Sebelum Islam, orang-orang dulu meyakini bahwa, letak peralihan waktu, seperti senja atau pada malam hari, adalah ‘gerbang’ di mana para roh sangat aktif dan sangat dekat dengan kehidupan manusia.
‘eh,.. so magrib capat masok rumah mau setang tangkap pa ngoni?’ ini adalah sebuah frasa kalimat dengan dialek Maluku Utara, yang seringkali dilontarkan oleh para orang tua untuk anak-anak mereka yang bermain hingga waktu senja.
Kalimat ini, sejatinya termuat makna paling klasik tentang sebuah perhelatan kosmologi, di mana seseorang harus benar-benar menghormati sebuah pergantian waktu dan ia harus meyakini, bahwa setiap pergantian waktu ada kekuatan supranatural yang berada di luar fungsi kontrol, datang dan mencoba masuk dalam dunia manusia.
Berbeda dengan konteks Islam: Malam Jumat dan juga hari Jumat, adalah waktu yang dimuliakan, umat Islam sangat dianjurkan pada waktu-waktu itu untuk memperbanyak zikir dan shalawat, sholat dan doa, karena umat Islam percaya dalam teks agama mereka, waktu-waktu itu pintu-pintu langit terbuka menghendaki setiap manusia untuk berhubungan langsung dengan Tuhannya.
Maka, biasanya malam Jumat sering digunakan untuk melakukan ritual keagamaan sebagai bentuk pengejawantahan spiritual. “Amal-amal manusia diperiksa di hadapan Allah dalam setiap pekan dua kali, yaitu pada hari Senin dan hari Kamis…” (Hr. Muslim).
Dasar inilah yang menjadikan umat Muslim menganggap, bahwa yang dimaksudkan Nabi Muhammad dengan hari Kamis adalah malam Jumat dalam hitungan Masehi, sebab pergantian waktu menurut kalender Hijriyah, waktu baru dimulai ketika Matahari terbenam!
Segelas Air, harusnya dipahami sebagai bentuk penghormatan atau suguhan dalam sebuah acara untuk makhluk astral tak kasat mata para arwah (dalam pandangan klasik Pra-Islam), atau sebagai pernyataan simbol anasir Air dalam penciptaan manusia (dalam pandangan mistisime Islam).
Menurut hemat penulis Air yang diletakkan di atas meja di malam Jumat itu adalah sebuah peringatan dan alarm bagi penghuni rumah untuk mengingat kembali tentang hakikat dirinya dan bagaimana dia harus melewati kehidupan di dunia dan kehidupan yang panjang setelah mati. Tradisi ini, merupakan tindakan sopan santun secara kosmis dalam kepercayaan sebagian orang Maluku Utara.
Pertanyaan kali ini, adalah mengapa harus di ruang tamu?
Antropolog seperti R.Z. Leirissa pernah menganalisis soal penggunaan ruang dalam ritual masyarakat Indonesia, lewat karyanya “Halmahera Timur dan Raja Jailolo: Pergolakan di Laut Maluku” tepatnya pada halaman 28-35 ia menggambarkan interaksi antara struktur formal dan kepercayaan lokal.
Meskipun Richard menulis karyanya dalam konteks sosial politik, ia seringkali mengaitkannya dengan kepercayaan lokal yang mendasari lahirnya tindakan kolektif. Dengan begitu, maka kita dapat memahami juga sebuah tindakan kolektif, bahwa ruang tamu adalah area semi-publik di dalam sebuah rumah, ia menyimpan nilai sosial dan spritual. Jika ditelaah, maka ‘Ruang Tamu’ adalah tepi batas antara dunia luar dan dunia dalam (privat/keluarga).
Maka meletakkan segelas Air di atas meja di ruang tamu, adalah gestur keramahtamahan, kalau dalam bahasa Antropologi, ini disebut ‘Hospitalitas’. Menyuguhkan Air, sama saja dengan cara kita menghormati sesama manusia atau lebih luas dalam kosmologi kita.
Itu artinya Air adalah ‘batas’ yang berfungsi sebagai ‘pagar gaib’ (dalam folk term), menyambut yang baik dan menetralisir yang negatif, menciptakan sebuah kondisi rumah yang tenang dan damai sehingga setiap penghuni rumah merasakan suatu kehadiran yang mampu mengontrol emosi dan meluapkan kegembiraan.
Akhirnya, kita akan menyadari, bahwa tradisi meletakkan segelas Air di malam Jumat di ‘Ruang Tamu’ bukanlah sebuah tindakan mistis tanpa makna. Sebaliknya, ia adalah sebuat pernyataan kosmologi masyarakat yang mewujud secara ekologis (memahami sentralitas Air), Sosial (menjaga harmoni dalam semua hubungan dengan semesta), dan ‘Ketegasan Budaya’ (suatu akulturasi antara Islam dan kepercayaan lokal yang telah ada sejak berabad-abad lalu).
Segelas Air yang hening di atas meja itu, adalah cerminan dari sebuah pandangan dunia yang kompleks, sebuah dialog tanpa kata antara manusia, Tuhan dan alam semesta.(*)